Peran sekolah sebagai institusi pembentukan karakter

Agar lebih memahami urgensi budaya positif di sekolah, kita perlu memahami peran sekolah sebagai institusi pembentukan karakter. Ketika kita berbicara sekolah sebagai institusi pembentukan karakter. Mari kita ingat kembali makna pendidikan sendiri dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara:

“Adapun maksud pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” 
(dikutip dari buku Ki Hajar Dewantara seri 1 pendidikan halaman 20)

Kutipan tersebut mengisyaratkan kita sebagai guru untuk membangun komunitas di sekolah untuk menyiapkan murid di masa depan agar menjadi manusia berdaya tidak hanya untuk pribadi tapi berdampak pada masyarakat.

Pertanyaannya sekarang adalah karakter seperti apa yang bisa menyiapkan murid menjadi manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan seperti tujuan pendidikan sendiri. Jika kita mengacu pada Profil Pelajar Pancasila, “Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.” Pelajar yang memiliki profil yang demikian itu adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.

Pelajar Indonesia

Pelajar Indonesia adalah pelajar yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaannya termanifestasi dalam akhlak yang mulia terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam, dan negaranya. Ia berpikir dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan sebagai panduan untuk memilah dan memilih yang baik dan benar, bersikap welas asih pada ciptaan-Nya, serta menjaga integritas dan menegakkan keadilan. 

Pelajar Indonesia senantiasa berpikir dan bersikap terbuka terhadap kemajemukan dan perbedaan, serta secara aktif berkontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan manusia sebagai bagian dari warga Indonesia dan dunia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Pelajar Indonesia memiliki identitas diri merepresentasikan budaya luhur bangsanya. Ia menghargai dan melestarikan budayanya sembari berinteraksi dengan berbagai budaya lainnya. Ia peduli pada lingkungannya dan menjadikan kemajemukan yang ada sebagai kekuatan untuk hidup bergotong royong. 

Pelajar Indonesia merupakan pelajar yang mandiri. Ia berinisiatif dan siap mempelajari hal-hal baru, serta gigih dalam mencapai tujuannya. Pelajar Indonesia gemar dan mampu bernalar secara kritis dan kreatif. Ia menganalisis masalah menggunakan kaidah berpikir saintifik dan mengaplikasikan alternatif solusi secara inovatif. Ia aktif mencari cara untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri dan bersikap reflektif agar dapat terus mengembangkan diri dan berkontribusi kepada bangsa, negara, dan dunia.

Tujuan utama dari pendidikan karakter juga bukan hanya mendorong murid untuk sukses secara moral maupun akademik di lingkungan sekolah, tetapi juga untuk menumbuhkan moral yang baik pada diri murid ketika sudah terlibat di dalam masyarakat.

Landasan Budaya Positif yang Berpihak Pada Murid

Budaya sekolah menurut Fullan (2007) adalah keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang terlihat dari bagaimana sekolah menjalankan aktivitas sehari-hari. Sedangkan Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai berbagai tradisi dan kebiasaan keseharian yang dibangun dalam jangka waktu yang lama oleh guru, murid, orang tua, dan staf administrasi yang bekerjasama dalam menghadapi berbagai krisis dan pencapaian. 

Dari kedua pengertian tersebut kita melihat bahwa budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada sikap keseharian seluruh komponen sekolah. Dalam kebanyakan sekolah di Indonesia, contoh budaya sekolah yang sudah berjalan dengan baik adalah budaya senyum, salam, dan sapa. Tentunya, budaya sekolah tersebut masih perlu dilaksanakan mengingat perannya yang dapat membuat sekolah menjadi lingkungan yang nyaman. 

Dalam modul ini, yang dimaksud dengan budaya positif di sekolah ialah  nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, selanjutnya, kita akan mempelajari dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.

Posisi Kontrol Guru

Penting bagi guru untuk memahami bagaimana guru harus memposisikan diri saat berhadapan dengan murid. Oleh karena itu, dalam sesi ini kita akan mempelajari lebih dalam dengan melakukan refleksi “Guru seperti apakah kita selama ini?”. Dalam komponen kelas, posisi guru dapat dikatakan sebagai penggerak utama. Hal ini mewujudkan juga adanya kontrol guru dalam proses belajar mengajar.

Untuk mengetahui lebih jelas hubungan guru dan murid berikut penjelasan posisi kontrol guru dalam video yang kita tonton sebelumnya.

Posisi kontrol manajer

Dalam menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinstik, guru perlu berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh, memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan kesalahan atau pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu  diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.

Disiplin dan Hukuman

Pada umumnya orang sering melihat ‘disiplin’ sebagai hal yang sama dengan ‘hukuman’, namun disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda. Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku  murid, disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari.

Tujuan akhir dari disiplin adalah agar murid memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain.

Hukuman dan konsekuensi

Kita mungkin menyimpan pertanyaan,  “jika tidak ada hukuman, maka  bagaimana menghadapi murid yang melakukan pelanggaran atau kesalahan?”  Mari kita menyamakan persepsi bahwa pelanggaran atau kesalahan adalah kesempatan anak untuk belajar. Jika ditangani dengan tepat, kesalahan dapat menjadi momen yang baik agar anak mengetahui hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan lagi di masa mendatang. Anak juga akan lebih bertanggung jawab serta mengetahui bagaimana memperbaiki situasi yang dihadapinya. Menurut Nelsen (2021), berikut adalah cara kita merespon kesalahan agar menjadi pembelajaran yang baik bagi anak.

  1. Merespon kesalahan dengan kasih sayang dan kebaikan dibanding menyalahkan, menuduh dan menceramahi. 
  2. Berikan pertanyaan yang bisa menimbulkan diskusi tentang konsekuensi yang mungkin terjadi dari tindakannya.
  3. Melihat kesempatan terjadinya kesalahan untuk didiskusikan bersama anak atau dengan teman-teman lain.

Jika diperhatikan dengan seksama, ketiga cara diatas lebih mengedepankan konsekuensi daripada hukuman. Mengapa konsekuensi lebih dipilih untuk mewujudkan budaya positif dibanding hukuman? Hukuman bersifat satu arah dari guru ke murid dan seringkali tidak berhubungan dengan kesalahan murid. Sedangkan menurut Nelsen (2021), prinsip konsekuensi fokus pada masalah dan solusi sehingga konsekuensi berhubungan dengan perilaku, penuh hormat kepada murid, bersifat masuk akal dan bertujuan untuk membantu murid belajar.

Disiplin Positif

Disiplin positif adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung (Nelsen, Lott & Glenn, 2000). Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat  dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan lainnya). Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial, emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.

A. Kriteria Utama Disiplin Positif

Untuk melakukan pendekatan disiplin positif, Bapak/Ibu Calon Guru Penggerak perlu menjadikan kriteria disiplin positif yang dikembangkan oleh Nelsen (2021) ini sebagai panduan dalam membangun hubungan dengan murid.

  1. Bersikap baik dan tegas di saat yang bersamaan (menunjukkan sikap hormat dan memberi semangat).
  2. Membantu murid merasa dihargai dan memiliki keterikatan antara dirinya dengan guru dan teman di kelasnya, sehingga ia merasa menjadi bagian dari kelas.
  3. Memiliki komitmen untuk mempertimbangkan efektivitas dan dampak jangka panjang bagi proses belajar murid dari tindakan yang diambil (misalnya; pemberian hukuman bersifat dapat menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, tetapi berpotensi memberikan dampak negatif dalam proses belajar pada anak yang bersifat jangka panjang). Dengan begitu, pendidik fokus pada perubahan dan peningkatan perilaku yang menetap, bukan hanya pada perilaku yang berhasil ditampakkan pada saat itu.
  4. Menerapkan disiplin positif berarti membekali murid dengan keterampilan sosial dan mendukung pertumbuhan karakter yang baik seperti rasa hormat, kepedulian terhadap orang lain, komunikasi yang efektif, pemecahan masalah, tanggung jawab kontribusi, kerja sama.
  5. Mengajak murid untuk menemukan bagaimana mereka mampu dan dapat menggunakan kekuatan diri mereka dengan cara yang membangun.

B. Penerapan Disiplin Positif di Sekolah dengan Pendekatan Holistik

Menerapkan pendekatan disiplin positif dapat membantu sekolah memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Murid cenderung menjadikan orang dewasa sebagai model; jika  murid melihat orang dewasa menggunakan kekerasan fisik atau psikologis, mereka akan belajar bahwa kekerasan dapat diterima sehingga ada kemungkinan mereka akan menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Sekolah memiliki peran penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan kepada  murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar perubahan berhasil, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan semua peran di komunitas sekolah. Sekolah perlu bekerja dengan orangtua untuk memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka dengan informasi dan alat untuk mempraktekkan disiplin positif di rumah.

Upaya Membangun Budaya Positif yang Berpihak pada Murid

Setelah mempelajari urgensi budaya positif di sekolah dan konsep budaya positif beserta hal-hal yang melandasinya, guru diharapkan dapat membangun budaya positif di sekolah Anda. Nah, pertanyaannya, “Apakah dalam membangun budaya positif hanya kita, sebagai guru, yang berperan mewujudkannya?” Tentunya semua komponen sekolah berperan penting dalam membangun budaya positif di sekolah.

Membuat Kesepakatan Kelas sebagai Langkah Awal dalam Membangun Budaya Positif yang Berpihak pada Murid

Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid diawali dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif  di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Seringkali permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik.

  Sebelum Anda mempelajari lebih mendalam mengenai kesepakatan kelas, renungkanlah dua pertanyaan berikut ini: Apakah selama ini Anda sudah menerapkan pemberian kesepakatan kelas di sekolah Anda? Siapa saja yang turut berperan dalam menentukan kesepakatan kelas?

Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.

Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 – 8 aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka. 

Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”. 

Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.

Menciptakan Visi Sekolah untuk Membangun Budaya Positif yang Berpihak pada Murid

Upaya berikutnya dalam membangun budaya positif yang berpihak pada murid adalah mengembangkan visi bersama tentang apa yang ingin dicapai sekolah. Daripada berfokus pada masalah dan perilaku buruk, ada baiknya Anda mulai dengan melihat hal-hal positif yang sudah berhasil di sekolah. Ini memberikan landasan untuk membangun visi bersama bagi komunitas sekolah yang berpusat pada diri murid dan pemberdayaannya.

Langkah untuk mendukung pemikiran dasar ini adalah memutuskan pihak yang dapat Anda ajak diskusi mengenai cara bagaimana sekolah dapat membawa visi tersebut menjadi kenyataan. Ingatlah kembali visi mengenai sekolah impian yang Anda ceritakan pada tahap Mulai dari Diri dalam modul 1.3. Di sana Anda sudah memiliki cita-cita mengenai kondisi sekolah ideal. Apakah visi tersebut sudah sejalan dengan pemahaman mengenai budaya positif yang kita pelajari dalam modul ini?

Visi yang dikembangkan harus mendukung hal-hal berikut ini:

  • Penciptaan lingkungan belajar yang ramah murid yaitu tempat yang di dalamnya baik murid, pendidik, maupun orang tua merasa dihargai dan didukung; serta tempat yang dapat membuat murid merasa bebas untuk mengekspresikan pandangan mereka dan didorong penuh untuk mencapai potensi yang mereka miliki.
  • Pengajaran dan penguatan positif yang bertujuan untuk membangun hubungan yang saling peduli dan menghormati.
  • Kebijakan dan strategi untuk mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima yang melibatkan semua pemangku kepentingan yaitu, pendidik, orang tua, murid dan manajemen sekolah.

Hal-hal di atas jelas memperlihatkan bahwa untuk membangun budaya positif, keterlibatan guru, murid, manajemen sekolah dan orang tua sangat diperlukan. Semuanya harus bahu membahu dalam membangun budaya positif di sekolah.

Sumber : Modul CGP

Watansoppeng, 26 Juni 2021


(Visited 9,488 times, 3 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.