Catatan Remeh Manini
(Pipiet Senja)
Masih dalam rangka Hari Kemerdekaan.
Kepingin berbagi cerita remeh Manini. Seputar urusan aksi demonstrasi.
Bukankah Adhie Massardi dalam puisinya bilang, kalau tidak berani revolusi turunlah aksi, demonstrasi!
Awal April 2016 pertama kali ikut aksi pasca Reformasi.
Diajak BGKI Barisan Ganyang PKI.
Komandonya Ustad Alfian Tanjung.
Putra beliau salah satu murid literasiku.
Ketika gelar Seminar Literasi di Melaka,
Iqbal Al Maududi.
Massa yang datang saat itu terbilang banyak sekitar seribuan.
Meskipun tak ada media Nasional yang menayangkan.
Massa terbesar pertama untuk aksi yang diikuti ummat Islam.
Kami melakukan longmarch dari Monas ke Istana Merdeka.
Mobil Komando di depan berisikan para Habaib dan Ulama.
Untuk pertama kalinya melihat langsung HRS sepanjang jalan Orasi, menyemangati.
Tepatnya mengingatkan agar rakyat waspada tentang Bahaya Laten Komunis.
Bahwa Komunis gaya baru sudah eksis dan menyusup ke mana mana.
Seperti pengakuan penulis buku: Aku Bangga Menjadi Anak PKI.
Bahwa neo Komunis sudah berjumlah 25 juta dan akan terus bertambah.
Kini dia koar koar di Senayan.
Kulihat wajah para petugas masih muda muda dan masihlah ramah.
Mereka melambaikan tangan bahkan ada yang menawarkan minuman.
Tiba saatnya di depan Istana Merdeka.
Habib dan Ulama bergantian Orasi.
UAT mendorongku agar ikut menyuarakan puisi.
Tema disesuaikan Ganyang PKI!
Kucermati sosok sosok aktivis
dan Ulama.
Mereka cikal bakal barisan 212.
Dengan semangat putri pejuang 45.
Aku pun naik ke mobil komando.
Membacakan entah puisi atau Orasi.
Pokoknya: Ganyang PKI!
Jujur saat lantang teriak teriak, semangatku menggelora sambil mengenang masa silam.
Kejayaan PKI di kampung halaman Sumedang Larang.
Rasanya lepas sudah segala kemarahan
masa kanak kanak.
Ketika dilempar anak anak pekai ke empang.
Kupergoki wajah dan burdah kakekku silempari kotoran manusia, sepulang dari Masjid.
Eeeeh, baru saja turun dari mobil komando, tiba tiba ada sosok berseragam menghampiri.
Ia langsung menyambar kertas yang kupegang.
“Sebagai bukti ya!” desisnya serasa mendesir di belakangku.
Sebelum aku bereaksi sosok itu sudah lenyap berbaur dengan massa.
Jangan jangan itu Intel, pikirku.
Bukannya ciut nyaliku seketika aku terbahak geli sekali.
Lah bagaimana tak geli, Sodara.
Kertas yang disambar itu bukan puisiku.
Melainkan pamflet kuliner menawarkan makanan.
Ternyata kejadian serupa terulang.
Ketika baru Orasi di Bawaslu.
Masih juga sosok berseragam merebut kertas kertas di tanganku. Tanya saja Irawati Moerid.
Woooooi, itu bukan puisiku!
Serius Onse gak ketulungan tuh orang!
Jakarta, 18 Agustus 2021