Pipiet Senja

Muhammad Rahman, mantan perwira handal dan pejuang empat lima tinggal bersama keluarga putra bungsunya di kota kecil Cimahi. Malam itu ia merasa terbangun dari mimpinya yang panjang dan melelahkan.

Sekaranglah tiba saatnya, teriaknya dalam hati. Aku harus ke sana menemui mereka. Teteh Ayum, Kang Jai, Emak dan Abah. Jangan tingalkan aku, jangan pernah lagi, ceracaunya di hati.

Ia bangkit dari tempat tidurnya di tingkat dua sebuah rumah di kawasan real-estate. Ke mana anak-anak nakal itu? Remaja sekarang, mengapa begitu gampang tersundut emosinya, ya? Ia yakin dengan daya pendengarannya tadi. Para remaja itu, teman si Boyke cucu kedua, punya agenda penting malam ini.

“Aneh sekali, gerakanku terasa ringan, sangat ringan. Mungkin perbawa semangat. Kalian akan sabar menunggu kedatanganku, bukan?”

Di tangga yang meliuk bagai ular ia berpapasan dengan Faiz, cucu pertama. Seorang aktivis rohis, mahasiswa cemerlang ITB. Masih mengenakan kemeja koko, mungkin ia baru kembali dari itikaf di Masjid Al-Wutsqo.

Cucu yang satu ini lain sekali dari semua cucunya. Alim, saleh dan pendiam. Anehnya, saudara-saudaranya malah mencapnya sebagai militan. Muslim garis keras.

Ugh, apa dunia ini sudah begitu kacau balaunya, ya? Kok penilaian bisa-bisanya dijungkir-balikkan. Si Franz, cucu ketiga dari menantu Swedia yang kebelet main melulu ke Bali, dan hobi mengoleksi cewek campuran itu, kok malah dipuji setinggi langit oleh para sepupu.

Faiz baru anak hebat, nggak gagap teknologi! Gaptek, apa itu?

“Mau ke mana, Opa?” tanya Faiz menatapnya keheranan. Sejak kapan Opa begitu semangat, ya? Apa itu pengaruh kajian zikirnya?
“Ke luar.”
“Malam-malam begini?”

“Penting. Harus pergi malam ini juga!” ujarnya tegas dan gegas menuruni tangga dengan amat lincahnya. Sang cucu terpelongoh. Ia sempat melihat ada sesuatu yang disembunyikan kakeknya.

“Saya antar, ya Opa?”
“Jangan, jangan ikut campur!” sang kakek menghardik hingga pemuda itu terkejut, surut menjauhinya secara refleks.

Ia mengawasi kelakuan kakeknya dari kejauhan. Siapa sih yang berani bangkang sama Opa? Opa itu pahlawan, satu-satunya lelaki yang pulang dalam keadaan selamat dari pertempuran hebat Bandung Selatan.

“Biar saya bukakan, Opa,” Faiz kali ini tak membiarkan lelaki sepuh itu menolaknya lagi.
“Sudah, kembali ke dalam sana. Jangan bilang siapa pun, Opa pergi malam ini, ya Faiz,” pesannya mewanti-wanti sebelum berlalu.

Di luar malam bertabur lampu hias. Ada pesta kembang api sebentar lagi, tepatnya tengah malam nanti. Karena ini malam ulang tahun kota Cimahi yang telah terbentuk setahun yang silam.
Cimahi, April, 1946.

Dingin malam merejam pepori kulit, lengang dan senyap. Seorang remaja 16-an mengendap-endap, langkahnya tegas memasuki perkampungan Tagog. Beberapa saat yang lalu ia baru diturunkan dari gerobak sapi di perempatan Cihanjuang.

“Hhh…, akhirnya sampai juga di sini,” katanya membatin.
Seketika dadanya digayuti rasa pedih maha. Kini perkampungan itu tinggal puing-puing berserakan. Tubuhnya yang pendek kekar hanya dibaluti celana panjang dan kemeja kedombrangan, bekas kakaknya yang sudah lebih dulu bergabung dengan para pejuang dan ikut bergerilya.

“Aku baru akan pulang kalau kita sudah merdeka!” sumpah Sujai kepadanya dalam keteguhan luar biasa. Suatu hari mereka mengumpulkan umbi-umbian di kebun Aki Juned.

Seperti kebanyakan rakyat Indonesia, mereka pun sudah lama harus mengalami kesulitan sandang dan pangan. Beras, gula dan kopi merupakan barang langka. Penduduk kota kembang harus sembunyi-sembunyi untuk mendapatkannya di pasar gelap. Atau dengan cara barter, diselundupkan oleh penduduk kampung yang nekat berniaga ke dalam kota.

“Apa kita bisa merdeka dari penjajah, Kang?”
“Insya Allah, pasti bisa. Kenapa tidak?” sahut kakaknya mantap. Ia selalu mengagumi kakak sulungnya yang banyak pengetahuan, gagah dan berani.

Di kalangan teman sebayanya pun nama Sujai sering jadi tolok ukur. Sujai lambang keberanian generasinya kala itu.
“Kita akan merdeka, ya Kang? Bagaimana rasanya merdeka itu?”
“Merdeka itu bebas dari penjajahan. Ya, merdeka dari anjing-anjing NICA, Sekutu, Belanda. Pokoknya, tidak ada lagi yang akan menjajah Indonesia!” sahut pelantun merdu ayat-ayat suci itu dengan penuh semangat jihad.

“Apa kita sanggup mengenyahkan para penjajah dari Cimahi?”
“Harus sanggup, harus…. Merdekaaa!” pekik Sujai tiba-tiba.
“Aduuh, si Akang ini bikin kaget saja!” gerutunya.

Sujai tertawa lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan anti nikotin. Ia baru saja berhasil mencabut singkong sebesar-besar paha orang dewasa. Krekeek, krieek…!

“Sudah, hei, jangan banyak-banyak. Nanti orang lain nggak kebagian. Mentang-mentang sudah dipersilakan sama yang empunya,” tegur Teteh Ayum, menghampiri mereka sambil membawa bakul berisi daun singkong dan kacang panjang.

“Waah, nanti kita makan besar, ya Teh Yum?” soraknya penuh harap.
“Bikin sambal terasi tomat yang banyak,” pesan Sujai.
“Abah juga pasti sudah banyak hasilnya mancing di Curug, ya Kang?”

“Hmm…, pepes beunteur, lalapan dan singkong bakar. Biarpun nggak ada nasi tetap sedaaap!” sambut Sujai sambil tertawa.
“Kalian ini kalau sudah ngomong soal makanan…,” gerutu Teh Ayum, mojang jelita desa Tagog berlagak cemberut.

“Kan sebelum kita berpisah, Dik,” sahut Sujai.
“Terus saja kalian berangan-angan!” Teteh Ayum berjalan cepat diikuti oleh kedua saudara lelakinya.

Itulah saat-saat terakhir mereka bisa bersama dalam keriangan. Dan angan itu terlaksana dengan sempurna. Mereka berkumpul di bale-bale. Abah, Emak, Teh Ayum, Aa Sujai dan dirinya.

Sebuah keluarga yang selalu rukun, taat mengamalkan syariat Islam. Malam itulah keluarganya bisa menikmati makan bersama dengan nikmat dan nyaman. Suatu hal yang takkan pernah lagi mereka alami di hari-hari mendatang.

“Aku harus menemukannya, haruuus!” Lagi lelaki itu meracau.
Seperti saat dulu ia akhirnya berhasil menemukan reruntuhan rumah t.c keluarganya. Beberapa kenalan yang ditemuinya malam itu mengabarkan tragedi yang menimpa penduduk Tagog.

“Anjing-anjing NICA itu melakukan razia. Semuanya tak ada yang lolos.”
“Mereka brutal, ganas, biadaaab!”
“Kakek-kakek, nenek-nenek dibariskan, dijemur di terik matahari.

Dipaksa mengaku, mengatakan tempat sembunyi para pejuang kita.”
“Bagaimana dengan Abah, Emak, Teh Ayum?” cecarnya tak sabar.
“Orang tuamu termasuk dalam daftar mereka. Karena punya dua anak yang menjadi pejuang. Mereka dihabisi seperti lainnya.”

Teteh Ayum lebih malang lagi. Karena sebelum dihabisi, ia sempat mengalami penistaan lahir dan batin, dilecehkan secara keji. Sejak saat itu ia bersumpah menjalani hidupnya dengan jihad.


“Aku harus menemukan anak itu!”
Tapi di mana tempat mereka akan bertempur? Bilyar, diskotik, kafe apa namanya? Kalau tak salah di sinilah dulu pertempuran itu dimulai. Pertempurannya yang pertama adalah menyerbu tangsi Belanda.

Mereka belum lama menerima kabar tentang pertempuran dahsyat di Blitar. Sujai termasuk dalam barisan mujahid yang gugur saat itu.

“Aku sudah tak punya keluarga lagi, tak seorang pun,” lirihnya malam menjelang keberangkatan pasukan hizbullah pimpinan Ustad Dahlan.

“Jangan begitu, kami inilah keluarga besarmu, saudara seiman,” kata putra pemilik pesantren di Cimindi. “Kalau kau merasa sakit, maka kami pun ikut sakit.”

“Baiklah, sudah siap berjihad malam ini?” seru Ustad Dahlan di hadapan barisan jamaahnya.
“Siaaaap!”
“Kita serbu tangsi kaum kafir itu…. Allahu Akbaaar!”
“Allahu Akbaaar!”

Pertempuran itu sesungguhnya tak seberapa sengit. Tentu saja, bila dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran lain yang pernah dihadapinya sepanjang hidupnya.

Namun, bagi Rahman remaja itulah pertempuran yang paling mengesankan. Mencekam dan menumbuhkan nuansa jihad terbesar dalam jiwanya. Dan lokasinya di sini!
Greeeng, bruuum…!

Barisan motor RX menderu-deru memasuki gang Lurah, memutar menuju kawasan tangsi. Bukan, sekarang tangsi-tangsi itu sudah dilebur menjadi kawasan pusdik militer.

Biasanya tak pernah ada yang berani memasuki kawasan itu dengan cara liar begini. Apa karena malam ini istimewa bagi Cimahi? Hingga semua peraturan boleh dilanggar?

Dihampirinya para tukang becak dan ojek yang sudah berdiri di tepi jalan.
“Ada apa, Jang?”
“Anak-anak orang kaya, biasaaa!”
“Balap motor atuh, Aki, memang mau adu delman apa?”

Gustiii…. Inilah agenda penting itu!
“Ada taruhannya nih, Ki! Yang kalah harus harakiri, nabrakkin dirinya ke motor pemenang!”
Astaghfirulah al adzim, begitu murahnya nilai nyawa sekarang? Dan cucunya, si Boyke, anak anggota dewan itu ada di antara mereka!

Deru barisan motor itu bagai mengapungkan asa dalam dada tuanya. Bersamaan dengan semburat merah di langit, pesta kembang api telah diawali.

Puncaknya ada api unggun di depan kantor walikota, tempat putra bungsunya mendapat kehormatan luar biasa. Ini akan dicatat dalam sejarah kotanya, sebab dia adalah salah seorang anggota dewan angkatan pertama.

“Akiiii… hee! Mau ke manaaa? Jangan ke sana, buahayaa!”
“Aku harus menghentikan balap motor sableng ini. Haruuus!”

Ia berlari, berlari terus melesat, menuju kawasan pusdik militer. Lempang, lurus dan itu akan lebih cepat sampai daripada memutar.

Harus mendahului para pembalap di pusdik terdekat. Harus ada yang lebih mengguncang para tentara itu. Agar terbangun dari tidur lelap, istirah atau apanyalah.

Faiz berhasil melihat kembali sosok itu. Meskipun agak terlambat, matanya bisa menangkap bayangan itu bergerak cepat memasuki pintu gerbang sebuah pusdik.

Seketika Faiz merasakan tubuhnya mengejang kaku. Kenapa ia baru menyadari benda yang disembunyikan kakeknya saat berpapasan di tangga rumah itu? Benda itu, ya, ia ingat kembali kini.

“Ini bom rakitan yang memiliki daya ledak luar biasa. Hasil rakitan kami dulu. Suatu kali, kami ingin menarik perhatian Jenderal Besar. Biar jangan kesusu, semakin tiran.”

Sampai tiga kali ganti pemerintahan, Faiz tahu, kakeknya tak pernah memanfaatkan bom rakitan itu.
“Opaaa! Jangaaan lakukaaan…!”

Telanjur, bayangan itu telah menarik picu bom di tangannya.
Dan, bluuaar, buuum!

Malam semakin mencekam menjelang dinihari. Semburat merah di langit Cimahi telah lenyap. Namun, kehebohan di kawasan Pusdik masih menyisakan banyak kisah.

Satu kisah adalah tentang dukacita keluarga seorang anggota dewan. Karena malam itu mereka bukan saja kehilangan seorang kakek, tapi diikuti seorang cucu.

Balap motor memang urung di tengah jalan, sebab salah satu pembalap jejadian terkena pecahan bom nyasar; Boyke! (Pipiet Senja, anak pejuang ‘45)


(Visited 29 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

One thought on “Langit Membara di Kota Tentara”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: