Pipiet Senja                                                                                                                                                                                               Antologi karya santri putri Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan-Madura, sebagai persembahan dari program Kelas Menulis bersama Pipiet Senja. Terdiri dari puisi-puisi ringkas, kisah inspirasi, cerita fiksi, resensi dan artikel. Disunting oleh Mentor yang suka disebut Manini oleh para cucu Kyai, dengan bahasa komunikatif, bernas dan lugas. Sungguh layak dicermati dan dimiliki, kemudian diambil hikmah dan diikat maknanya. Selamat menikmati: Pesantren Idaman!                                                              

Kelas Menulis Pontren Putri

Telah beberapa kali singgah dan memberi pelatihan menulis di pondok pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan-Madura, kali ini diminta buka kelas menulis agak lama. Targetnya mencetak para penulis Islami langsung dari basisnya. Dengan senang hati saya menerima undangan Hj. Salma, pimpinan pondok pesantren putri Darul Ulum. Terhitung sejak 20 September-27 September 2014, kelas menulis bersama saya berlangsung.

Mengambil tempat di ruang perpustakaan, jadwalnya diambil tiga kali pertemuan pada awalnya; pagi bada subuh, sore bada ashar dan malam bada isya. Namun melihat banyak yang kelelahan dan mengantuk, boring, terutama saat bada isya akhirnya ditiadakan. Digeser dan waktunya ditambahkan satu jam ke kelas sore hari.

Materi yang saya berikan sudah disiapkan, spesial modul menulis yang pernah saya dan tim lakukan di beberapa tempat. Mulai dari motivasi mereka menjadi seorang penulis, mengatur waktu, menangkap ide dan mengeksplorasinya menjadi sebuah tulisan memikat, hingga berurusan dengan media, mencermati surat perjanjian, aktif menjual karya yang telah diterbitkan sebagai buku.

Absensi Bergeming

Hari pertama di ruang perpustakaan, tanpa bangku dan kursi alias santri duduk lesehan sementara saya di depan dengan bangku dan laptop serta perangkat LCD. Peserta  tercatat 52 santriwati setingkat Aliyah. Dua orang panitia, Mbak Uul dan Mbak Iil, demikian saya diperbolehkan memanggil nama kedua akhwat ini, siap dan cekatan sekali membantu jika diperlukan. Ditambah Mbak Ifa, putri KH. Muhammad Syamsul Arifin, pimpinan pesantren.

“Nanti juga akan terseleksi sendiri. Mana saja yang bisa bertahan dan siapa saja yang akan mundur. Tidak tahan dengan gaya saya, mungkin,” kataku berseloroh.

“Insha Allah, semoga tetap istiqomah, Teteh,” ujar Mbak Uul, terdengar penuh harap.

Hari kedua yang hadir berkurang 10, hari ketiga pun berkurang belasan, bahkan hari ketiga hatiku langcung menciut. Tinggal dua baris saja.

Artinya tidak lebih dari belasan peserta!

“Nah, lihat kan, Mbak Uul, Mbak Iil, apa kata Teteh waktu itu?” ujarku menahan perasaan tidak enak dalam hati.

“Tenang saja, Teteh. Hari ini kebetulan ada ulangan, mungkin anak-anak ingin fokus. Nanti sore mudah-mudahan mereka sudah bisa atur waktu,” kata Mbak Iil menenangkan.

Syukurlah, ternyata pernyataan Mbak Iil ini ada benarnya. Kelas menulis bersama saya sampai sesi terakhir, tetap dihadiri oleh peserta yang tak bergeser jauh dari hari pertama.

Serunya Lintas Alam Malam

Untuk menyemangati dan mengarahkan para santri putri dalam hal menemukan ide, menggalinya langsung dari orang atau lingkungan mereka, saya ajak mereka lintas alam. Waktunya diambil malam Jumat, karena esok hari mereka libur.

“Asyiiiik! Aku di depan, di depan, aaah!” seru Sarah, cucu Kyai, semangat sekali.

“Aku juga mau di depan,” kata Khadijah, sepupunya, tak mau kalah semangat.

“Aku di mana, Manini Teteh?” cetus Amatullah, putri Neng Salma.

Tiga cucu Kyai ini memang paling semangat dan kompak sekali. Biasanya mereka lebih dahulu menyerahkan tugas berupa tulisan; puisi, resensi, cerpen.

Malam Jumat itu terasa semarak, barisan kader penulis, para calon mujahid pena pontren putri berderap. Barisan bergerak menyusuri jalanan di seputra pondok pesantren. Tiba di lapangan terbuka di bawah cahaya lampu, saya meminta mereka berhenti.

“Silakan, anak-anak cantik dan solehah, tuliskan apa saja yang kalian lihat sepanjang jalan tadi,” pinta saya yang segera disambut mereka dengan semangat.

Baru beberapa menit mereka menulis tiba-tiba; preeeet!

“Yaaaa, mati lampunya!” seru para santri.

“Tidak apa, ayo kita geser ke sebelah sana,” ajak Mbak Iil dan Mbak Uul  segera memompakan semangat. Dalam sekejap barisan calon mujahid pena pun bergerak ke depan gedung Tsanawiyah.

Hening beberapa saat lamanya, semua konsentrasi menulis di buku harian masing-masing. Saya wajibkan mereka membawa catatan setiap kali mengikuti kelas menulis. Hingga saat ini pun penulis sepuh begini masih juga selalu membawa catatan harian. Penting untuk seorang penulis untuk segera menuangkan ide yang berseliweran di sekitar kita.

Keakraban Mengharu Biru

Hari demi hari berlalu, kelas menulis pun terus berlangsung. Terasa keakraban di antara peserta dengan saya kian mengental. Pernah satu sesi lintas alam kedua, lima peserta tidak bisa ikut karena bentrok dengan kegiatan lain.

Salah seorang santri putri sedih sekali, seraya menggelendot manja di lengan berbisik kepadaku:”Tapi hatiku tetap bersama Bunda,” lirihnya mengharukan hati.

“Halaaaah, lebaaaay!” teman-teman meledeknya, ia tersenyum manis.

Dari hari ke hari tugas-tugas rutin mulai terkumpul, bersama Mbak Uul dan Mbak Iil, kami menyeleksi naskah-naskah yang mburudul. Ada tugas akhir yang sejak hari pertama diwartakan, yakni; menulis kisah inspirasi seputar sukaduka selama tinggal di pontren putri 

Darul Ulum Banyuanyar.

Satu demi satu tugas akhir pun disetorkan, langsung saya cermati sebelum tidur. Semakin rapi, tertata apik dengan bahasa yang bagus, ada karakter, penglataran dan dialog-dialog nyambung.

“Bagaimana, Teteh, sudah terjaring siapa saja yang berpotensi menjadi penulis?” tanya Hj. Salma pada hari kelima. Artinya telah lebih dari 10 pertemuan kelas menulis berlangsung.

Putri sulung Kyai inilah yang punya gagasan kelas menulis, mencetak kader-kader penulis yang selanjutnya akan menjadi ujung tombak, menyebarkan virus menulis di kalangan santriwati.

Dari diskusi rutin kami ada banyak gagasan yang diharapkan bisa terwujud satu demi satu. Mencetak SDM dari kalangan santriwati, memberdayakan mereka yang memiliki potensi masing-masing.

Saya mencoba untuk membantu dan akan terus memantau hasil kelas menulis, minimal mempertahankan dan menguatkan para santri yang ingin menjadi seorang penulis profesional. Terutama santri yang bercita-cita menjadi seorang mujahid pena, melahirkan karya-karya Islami yang mencerahkan. 

“Konsultasi menulis Online, mari, tetap berlangsung,” himbau saya yang segera disambut hangat oleh Hj. Salma.

Diberi Judul Pesantren Idaman

Setelah kembali dari Banyuanyar, baru beberapa hari saja sudah terasa kerinduan menggelitik hati ini. Ingin merasakan senantiasa nuansa pondok pesantren putri. Sensasi, ghirah menuntut ilmu yang menguar dari pelosok pondok, sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Maka, segeralah saya menyunting kumpulan naskah yang dikirimkan oleh Mbak Uul dan Mbak Iil. Dengan menambah nuansa dan pelataran serta dialog segar, tanpa mengurangi esensi naskah aslinya, saya menyelesaikan naskah ini.

Pesantren Idaman, akhirnya saya mengajukan judul yang diambil dari salah satu tulisan karya Mila El-Mans, sebelum dipertimbangkan oleh Hj.Salma yang selalu terhubung dengan saya melalui telepon jarak jauh.

Boleh jadi buku ini masih belum bisa disebut sempurna, tetapi bila mengingat bahwa Yang Sempurna hanya milih Allah Swt. semata. Kiranya buku ini patut diapresiasi, baik oleh warga Darul Ulum pada khususnya, maupun masyarakat literasi dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tahniah, Pesantren Idaman!

Daftar Isi;

i.  Sekapur Sirih: Baca dan Menulislah! – Hj. Salma Syamsul Arifin

ii.  Prolog: Pesantren Idaman –  Pipiet Senja

1. Berkas Cahaya – Amatullah Zaini

2. Celoteh Penulis Cilik – Sarah Hasbunalla

3. Assalamu’alaikum Manini – Khadijah Hannan

4. Catatan Mini Anak Kecil – Sumayyah Zaini

5. Pesantren Idaman – Mila El-Mans

6. Makna Kehidupan – Zhopie

7. Cinta Bersemi di Tanah Suci – Someone

8. Engkau Harapan – Insan Addaif

9. Satu Kisah Menanti – As Syarief bintu Sholeh

10. Allah Maha Pengasih – Amatullah Zaini

11. Siapa Bilang Aku Idiot – Ray Star

12. Menoreh Asa – Ayrha Pasir

13. How To Ustad Your Habits: Felix Y. Siauw – Kaifa Shams

14. Lintas Malam Jumat – Sobah Hasbullah

15. Benteng Suci Darul Ulum –  Olivia Syahrozy

16. Pencarian – Chemry

17. Hening Itu Indah – Imroatul Mufida

18. Inilah Ceritaku – Ruqoyyah

19. Karena Cahaya Ilahi – Kaifa Shams

20. Cinta Anak Rohis – Kaifa Shams

21. Menanti Restu – Kaifa Shams

22. Suara Hati Santri – Maiyah Arrosyid & Kartini

23. Pemuda Tonggak Kebangkitan – Kaifa Shams

24. Perlu Beristighfar – Kaifa Shams

25. Sebuah Eksistensi Dinanti – Kaifa Shams

iv. Biodata Para Penulis

v. Album Kelas Menulis

(Visited 30 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: