Pipiet Senja 

Anno, 2004

Sepekan yang lalu, ada SMS yang nyelonong dengan lagunya Ariel. Aku tertegun, ini hanya karena untuk konsultasi kepenulisan, ditanya berapa fee-nya?

Konsultasi, sekadar jumpa dan membahas sebuah program televisi. Intinya demikianlah. Tapi aku baru sekali ini mendengar pertanyaan di atas, to the point, tanpa basa-basi.

Tidak seperti yang selama ini prolog panitia begini bunyinya; Maaf ya, Teh, budgetnya tak ada, ini kan demi dakwah, en soon. Itulah pengalaman buruk tahun-tahun yang lalu.

Pas aku jalan, sudah mengisi acara yang ternyata segedung penuh, pesertanya sekitar 300-an, dan acaranya (daku cuap-cuap kepenulisan itu) dijual.

Aku hanya diberi ucapan sekadar tengkiyu dan sebuah plakat di kertas. Bahkan transportasi pun harus merogo kocek sendiri. Mending kalau dekat lokasinya, ini tak jarang di luar kota, bahkan di luar pulau Jawa.

Alamak, cucian deh daku ini!

Kembali kepada orang yang menanyakan feeku itu. Sebelum kupenuhi, ku-SMS HTR dan adiknya, Asma Nadia.

Asma bilang; “Hitung saja taksi Teteh pp ditambah berapa Teteh mau dibayar untuk konsultasi.”

Asma memang keren, orangnya serba relistis, aku salut dia.

HTR bilang; “Terserah Teteh, berapa Teteh mau dibayar untuk sebuah konsultasi,” kira-kira demikian.

Jadi, intinya kedua adikku itu memang setuju dengan fee.

Butet lain lagi responnya; “Naaah, ini baru orangnya profesional, Mom! Bener tuh, sumpe, bagus dia! Bilang saja, sejeti gitu. Trus, entar traktiran Butet ye, ocreeeh Mom sayang!” cerocosnya kayak bunyi petasan orang Betawi kawinan.

Maka, aku pun pergi menemui orang tersebut. Seorang produser yang menawariku bikin skenario untuk sebuah program televisi. Sekilas bisa terbaca memang profesional, dia langsung menawariku penulisan skenario berdurasi 30 menit. 

Pendek cerita, aku menyanggupinya, minggu depan akan kuserahkan sinopsis atau treatment-nya dulu. Pikirku, kalau skenario utuh harus puguh dulu kontraknya.

Karena aku sudah pengalaman dengan beberapa broadcast, dunia industri persinetronan kita itu seperti mafia saja!

Seminggu kemudian, aku serahkan profil tokoh dan treatment. Kami jumpa lagi di Margocity. Dia menyatakan senang dengan isi treatment yang kubuat.

“Mbak Pipiet punya rekening Bank Mandiri?”

“Mmm… ada sih, punya Haekal…”

Saat itu juga, detik itupun langsung dibayar sebagai uang muka dari 13 episode yang direncanakan.

Ya Allah…alhamdulillah… Mohon doa rekan agar program ini berjalan lancar.

Di jalan tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Ternyata benar juga, ada yang profesional begini, meskipun dia seorang seniman dan; nonmuslim!

Apa karena belum beruntung saja, barangkali, daku selama ini lebih sering dikecewakan kalau boleh dibilang “dizalimi” oleh panitia yang suka mengatasnamakan; demi dakwah, demi ummat?

Ah, aku tak ingin terlalu bersuuzon. Lagian, biarlah selama inipun segalanya yang mengecewakan itu segera kuiikhlaskan. Biasanya, begitu aku mengucap ikhlas, pintu lain segera terbuka dan memberiku dengan kelebihannya.

Allah Maha Adil dan tak pernah tidur. 

Punten, semoga tidak ada yang tersinggung, ini sekadar curhatan saja. Salam cinta dan bahagia.

(Visited 16 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: