Pipiet Senja

Anno, 20011

Jika bicara urusan makan, kuliner di negerinya si Jackie Chan, kita memang harus sangat hati-hati. Terutama bagi yang tidak memakan makanan halal mulai dari daging babi, ular, otak monyet, buaya sampai sop bayi.

Biasanya kalau tidak penting-penting nian, umpamanya diajak teman makan di resto yang memang sudah terjamin kehalalannya, saya lebih suka tidak makan di luar saja. Meskipun demikian, ini ada beberapa tempat yang bisa saya rekomendasikan. Sudah terjamin kehalalannya di Hongkong.

Di kawasan Mesjid Ammar Wanchai di lantai 5, ada resto Muslim punya orang (kalau tak salah!) Mesir. Di sini kita bisa memesan menu Yam Cha untuk hidangan setiap pagi. Spesial hari Jumat ada diskon gede-gedean.

Tataran jam pagi adalah dimulai pukul 11.00. Jika lewat pukul 15.00, kita bisa saja ditolak mentah-mentah. Dengan alasan;”Sudah tak ada orangnya yang akan meladeni. Nanti dilanjutkan makan malam,” kilahnya tegas.

Harga di resto Wanchai cukup terjangkau. Lah, iyalah, jika dibandingkan dengan harga di kafe-kafe atau resto di Margocity. Sungguh, malah mahalan yang di kawasan Depok sana. Aneh bin ajaib, memang!

Masih di kawasan pasar Wanchai, ada restoran pemiliknya mualaf China Muslim. Bebek Peking. Anda harus mencobanya, sungguh rasanya menendang di lidah. Cuma saran saya, jangan makan di tempat, mendingan bawa pulang sajalah.

Mengapa? Karena di kanan-kiri kita, ndilalah, didominasi oleh masyarakat Hongkong yang sedang makan dengan menu favoritnya; daging babi!

Di kawasan Causeway Bay ada rumah makan Bakso Malang, milik orang Jawa yang telah puluhan tahun bermukim di Hongkong. Suami-istri pemiliknya telah berhaji. Kekurangannya di sini; harganya lumayan mahal, dan nyaris tak berasa apapun alias kurang garam, kurang gula, tanpa penyedap.

Di seberang Victoria Park ada resto Indonesia. Hanya satu kali saya singgah di sini. Menunya oke-oke juga. Ada segala macam kremes dan penyet-penyet, bahkan cendol.

Namun, untuk segelas es cendol dan sepiring gado-gado yang ketupatnya serasa basi itu, berapa coba harganya? Seratus dollar HK, meeen!

Rasanya kepingin dimuntahkan lagi mengingat harga dan barang yang sungguh tidak sepadan itu. Heeekkk, aaargh! Tak jauh dari Causeway Bay, ada resto bernama Aladin, ini konon milik orang Timur Tengah. Makanannya lumayan enak, cukup berasa garam, gula dan penyedap. Hanya sekali juga saya berani makan di sini.

Masalah yang saya hadapi adalah tingkah polah si penjaganya, eh, pelayan ceweknya. Sudah bajunya hotpants yang merecet alias superketat sampai tampak jelas tali CD-nya, nah, gerakannya dan kasarnya itu, Ce Ce, ampuuun! Braaaang, breeeng, brooooong!

Demikianlah suara piring dan gelas bunyinya keras gak ketulungan. Itu piring bagaikan berseliweran, nyaris saja menghantam pelipisku. Hadeuh, syeeyeeeeem, ngapa si Moi Moi amuk-amukan geto yeeeh!

Jadi, tinimbang jantungku kumat dan bisa stroke tiba-tiba, melihat yang amuk-amukan begitu, yah, mendingan jauh-jauh sajalah.

Di perbatasan antara Sau Mau Ping dengan Causeway Bay, saya lupa nama tepatnya. Ada restoran milik pribumi, mualaf China Muslim. Menu makanannya enak-enak dan lezat, berikut pelayanannya yang santun. Terima kasih Hajjah Neneng Saribanon yang telah menraktirku.

Ketika ke Shenzhen dan Guangzhou, pemandu wisata kami membawa rombongan ke resto Muslim. Konon, satu-satunya di Shenzhen dan Guangzhou. Jadi, harus berwaspada jualah, jika Anda mau makan makanan yang halal di kawasan China Selatan.

Ada satu toko bubur kacang, dong soy, soy, intinya bubur-buburan dam wedang jahe, begitulah. Ini letaknya tak jauh dari apartemen yang saya tinggali, Haven Street. Kami menyebutnya bubur kacang Jackie Chan. Karena ada poster si Jackie Chan terpampang gede-gede di salah satu dindingnya.

Termasuk makanan favorit saya, hampir tiap malam sepulang dari shelter, sengaja mampir dan menyantapnya di situ atau membawanya ke rumah.

Di North Point di kawasan pasarnya, ada Toko Gaul, ini milik perempuan keturunan Kalimantan-Muangthai. Pemiliknya ramah dan fasih berbahasa Indonesia. Kita bisa betah berlama-lama di sini. Banyak kisah inspirasi yang dituturkannya dengan riang oleh pemiliknya yang juga seorang intel Wanchai itu.

Ada rumah makan yang diberi nama Toko Wonosoba di sebuah apartemen di Koowlon Road, pemiliknya perempuan asli Wonosobo yang menikah dengan orang Mesir. Mengambil lokasi di apartemennya sendiri, pemiliknya memasak dan menyiapkannya sendiri.

Saat ini, hanya jamaah holaqoh yang beredar di sekitar Kowloon Park kiranya yang mengetahuinya. Menunya khas Indonesia; tempe penyet, tahu penyet, ayam goreng kremes, semacam ikan gurami yang gede-gede dan segar. Soto-sotoan dan sambal terasi, sambal tomat. Hmmm, lezaaat!

Hampir lupa, masih di kawasan Causeway Bay, sesungguhnya ada resto bernama rumah makan Padang. Satu kali saya dan anak shelter jalan melintasinya. Dari jauh mataku sudah mengincar menunya.

Nah, setelah dicermati, ternyata di antara menu rendang, ayam goreng kremes dan gulai ikan, eh, ndilalah, itu daging babi bergantungan!

Menurut guruku, kita tidak bisa makan di tempat yang juga menghidangkan makanan tidak halal. Karena ketika memasaknya tetaplah akan bercampur. Intinya, makruh dan diragukan, jadi; no way!

Kami mendekati rumah makan Padang itu, bahkan nyaris memasukinya. Begitu melirik kanan-kiri, benar saja, para pengunjungnya sedang melahap nasi dengan daging babi.

Mataku sempat melihat sosok itu, kuingat dia seorang Ustadz yang diundang oleh satu komunitas BMI. Sosok yang (mengakunya!) Ustadz itu tampaklah sedang menyantap makanannya, lahap dan nikmat sekali.

“Neng, kamu kenal dia kan. Tolong, bilang dia, makanannya gak halal, begitu,” pintaku kepada anak shelter yang selalu setia menemaniku.

“Ya, siap, Teteh!” Anak shelter itu kemudian menghampirinya dan berkata, masih bisa terdengar oleh kupingku:”Ustadz, maaf, ya, makanan di sini kan gak halal….”

Lelaki yang tempohari kulihat memberikan ceramah di taklim di Kowloon Park itu sekejap berhenti, menatap sekilas ke arah anak shelter.

Namun, tanpa dinyana dia berkata begini:”Oh, ya wis, ini sudah telanjur!”

Kemudian tanpa peduli sekitarnya, dia sungguh melanjutkan makannya, masih dengan kelahapan dan kenikmatannya yang sama. Astaghfirulahal adziiiim!

Kugaet tangan anak shelter yang terperangah hebat itu, “Buruan, Nduk, kabooor!” (Causeway Bay-HK)

(Visited 14 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

2 thoughts on “Kuliner Hongkong”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: