(Butet Siregar)

Anno, Hongkong-2011

Gadis itu berdiri dengan linangan airmata di depan pintu. Nyaris setengah hari ia berdiri di sana, bimbang hendak ke mana. Kami menemukannya dengan membawa kresek plastik berisi mangkok dan roti yang sudah setengah basi.

“Aku sudah nggak kuat lagi, Mbak.” Tangisnya meledak kala ia menunjukkan memar-memar hitam di kedua lengan dan wajahnya.

Para volunteer Dompet Dhuafa meski sudah bertahun-tahun di Hongkong, mengaku langka berhadapan dengan masalah separah ini. Kulihat seketika mereka pun terkesiap berjamaah. Aku baru dua bulan bersama tim advokasi Dompet Dhuafa, hanya menatap sekilas sambil mengangguk.

Dengan sigap kuminta ia untuk menunjukkan sisa memar lainnya, mengemas barang-barang dan segera mengikutiku ke Kantor Polisi. Aku bersiap sambil memutar otak, langkah hukum apa yang bisa kulakukan untuk kasus ini.

Teman-teman volunteer memandangiku kaget. Seakan-akan aku orang yang tidak punya perasaan, meminta orang yang tengah menangis terisak-isak itu untuk segera berkemas ke Kantor Polisi.

Kadang aku merasa orang-orang ini menganggapku seperti orang sadis. Tidak punya perasaan. Apalagi menghadapi BMI yang menangis. Seringkali salah tingkah dan bingung harus bagaimana. Menenangkan dengan satu atau dua kalimat, lalu terdiam.

Sebenarnya aku jauh lebih memahami para korban dibanding mereka. Aku percaya mereka yang pernah mengalami hal yang sama, tahu bagaimana harus bersikap. Kami memiliki luka yang sama. Aku punya kekosongan yang cukup besar untuk bisa merasakan sakit mereka.

Mungkin karena aku tahu rasanya dipukuli, rasanya dikuasai ketakutan, maka aku tak berkata apapun. Karena aku tahu, kata-kata hiburan takkan berpengaruh.

“Kamu yakin bisa sendiri?” tanya Puji, kolega kerjaku dengan cemas.

Aku merasa punya harga diri besar menengadah penuh percaya diri.

“Ya jelas beranilah, aku kan sudah dua bulan di sini.”

Inilah awal dari tersesatnya kami.Posisi kami di kawasan Causeway Bay membuatku cukup percaya diri untuk membawanya ke Kantor Polisi terdekat, yaitu Admiralty Police Station. Setelah mengantri nyaris satu jam, berbarengan dengan ditangkapnya para remaja yang mabuk-mabukan, officer justru menyuruh kami ke Ma On Shan.

Aku melirik peta dan seketika tubuhku serasa membeku, serasa ingin pingsan. Letaknya di mataku serasa ujung dunia. Tepatnya di jalur dengan empat kali transit MTR.

“Can you just take her statement now and transfer the case to Ma On Shan Police Station?” tanyaku nyaris terbenam frustasi.

Aku melirik Mbak-yang-aku-belum-tahu-siapa-namanya, masih terisak sejak pertama menginjakkan kaki ke kantor Dompet Dhuafa. Tidak peduli apapun yang kukatakan untuk menghiburnya, ia masih terus ketakutan.

Kesabaranku mulai menipis. Darah Batak yang mengalir di tubuhku memang hanya menyediakan sedikit sekali persediaan kesabaran atas kecengengan.

Polisi itu menggeleng malas.“Gimana ini Mbak? Aku baru dua minggu di sini. Masih potongan. Nanti kalo agen tuntut saya 21 ribu dollar, gimana? Saya mana punya uang, Mbak.”

Dengan kepanikan yang kentara sekali, gadis itu mulai menggigiti kukunya.“Sabar, ya Mbak. Itu jangan dipikirkan dulu. Masalah dengan agen bisa diselesaikan tanpa perlu bayar-bayar segala.”

“Nanti saya bisa kerja gak? Bisa cari majikan lagi gak? Aduh, gimana ini, ibu-bapakku, nanti gak punya uang kalo lama-lama nggak kerja.” Ia terus memberondongku meski aku yakin ia tahu, menerorku dengan seribu kata ‘gimana’ takkan menyelesaikan masalah.

Aku menarik napas berusaha menenangkan. Tepatnya menenangkan diriku sendir. Mulanya kau memang ingin tahu apa yang terjadi, masalah apa yang mereka hadapi, kehidupan apa yang membebani mereka, segala kepedihan, air mata, dukalara. Namun, tidak lama kemudian kau akan berhenti bertanya. Terlalu banyak beban yang bisa dibagi di sana.

Kata-kata kehilangan jiwanya ketika ia tiba di ambang mulutku. Kata-kata tidak lagi mampu menyentuh kepedihan yang mereka rasakan: karena sudah terlalu dalam.

“Sudah yang sabar ya, Mbak. Nanti kita bantu untuk proses menggugat gaji dan hak-hak Mbak ke Labour Tribunal,” gumamku tanpa arah. Terlontar begitu saja tanpa makna, begitu kecil, begitu tidak membantu, begitu tidak berarti.

Sepanjang jalan, aku terus mengajaknya berbicara. Hanya sekedar mencegah ia untuk terus menangis. Selain aku bingung harus bagaimana menghadapinya, aku juga malu, orang-orang Hongkong melihatiku terus, demikian kurasakan.

Bagaimana jika disangkanya akulah yang telah membuatnya menangis sepanjang jalan? Hadeuh!

“Padahal aku sudah dapet kerjaan enak lho Mbak di perusahaan sawit.” Tutur gadis itu, yang belakangan sekali akhirnya kuketahui bernama Dwi Rahayu.

Kemudian ia memperlihatkan foto dirinya bersama seorang pria, yang sesuai dugaanku adalah calon suaminya.

“Aku sudah mau nikah. Tapi sama calon aku disuruh ke Hongkong, kalo aku cinta dia. Katanya untuk biaya nikah kami nanti.” Dwi melipat kembali foto itu ke dalam dompetnya.

Aku menahan diri untuk tidak mencabik-cabik foto itu, membanting meja, bahkan nyaris menyemburkan api dari mulut saking pengen ngamuknya. Lelaki setan sangat dia itu. Gheeerrr!

Bagaimana mungkin ada cowok sejahat itu di dunia ini? Mengirimkan calon istrinya ke Hongkong jadi pembantu cuma demi biaya kawin. Bukannya cari sendiri saja!

“Umur Mbak berapa?” ujarku, mengharapkan jawaban 28 atau 30 dari mulutnya.

Jelas aku terkesima ketika ia menjawab 21. Umurnya ternyata sama persis dengan umurku. Aku sudah membuka mulut hendak bicara, tapi sudah saatnya kami transit. Kami pun keluar dari MTR dan mencari MTR jurusan Wu Kai Sha. Woalah, ternyata tempat tinggal majikan Dwi sungguh di kampung-kampung.

Nah, dari stasiun Ma On Shan kami pun keluar. Mulanya dengan gagah berani. Semakin jauh kami berjalan, semakin ciut nyali kami. Aku mencoba menghubungi kantor polisinya untuk cari tahu harus lewat mana. Petugasnya setelah mengajakku ngobrol muter-muter dengan bahasa Inggris acak-acakan, akhirnya malah meminta kami untuk bertanya kepada orang.

Cuaca dingin bulan Desember membuat Dwi gemetaran. Tangan-tangannya yang bengkak dan penuh luka karena kedinginan itu terlihat semakin membiru. Aku melirik sendal jepitnya dan nyaris menangis.

Dengan sok tegar, aku menawarkan sepatu bootsku. Ia menggeleng bersikeras tidak mau merepotkan lebih lanjut. Satu sifat yang sungguh menjengkelkan dari tipikal orang Jawa: kesopanan tingkat tingginya!

Dwi mulai terisak setelah kami berjalan lebih dari satu jam berputar-putar. Berbeda dengan Causeway Bay atau daerah Central, di sini tidak banyak orang yang bisa ditanyai. Seandainya ada orang pun mereka tidak bisa bahasa Inggris. Isakan Dwi makin lama makin kencang.

Pipiku kebas dan mataku perih karena begadang semalam. Kantor polisi tidak bisa dihubungi. Seluruh penduduk dunia seakan bersembunyi tidak mau kami tanyai: gerimis turun dengan suhu 9˚ Celcius dan di hadapanku terhampar jalanan yang kosong melompong.

Google Maps tidak bisa diandalkan karena aku tidak bisa internetan. Aku sungguh sudah kehabisan strategi. Ingin rasanya bergelung dan tidur, tidak memedulikan Dwi yang menangis makin keras. Lalu tiba-tiba, seakan dikirim dari langit, seorang gadis Indonesia mendekat. Berusaha terlihat tenang, meski dalam hati aku sudah ingin berlari-lari menyambutnya sambil menangis bahagia.

Aku tersenyum dan menyapanya dengan sangat ramah.“Maaf Mbak, boleh tanya? Ma On Shan Police Station di mana, ya Mbak?” tanyaku pada gadis berjilbab itu.

“Oh, saya nggak tahu tuh, Mbak…”

Dan runtuhlah sudah. Dwi berjongkok di bawah, kedinginan setengah mati. Aku menarik napas menguatkan diri.

“Ada temen Mbak nggak yang kira-kira tahu, gitu?” tanyaku, masih penuh harap.

“Bisa, bisa, saya telepon dulu ya!” Ia mengeluarkan telepon genggamnya yang terlihat mahal dan menghubungi beberapa temannya. Seketika itu juga, ia membawaku berjalan melewati berbagai rintangan.

Aku berusaha menghiraukan bunyi keruyukan perutku dan perut Dwi, ketika kami melewati restoran mie. Jauh sekali dan berkelok-kelok ternyata, saudara-saudara!

Sambil bertanya beberapa kali, gadis yang kemudian kuketahui namanya Dian itu pun akhirnya mengantarkan kami tepat di depan sebuah kantor polisi dambaan semua.

Tiba di depan Ma On Shan Police Station, aku nyaris berlutut di lantai dan mencium tanah penuh syukur. Dwi langsung ditangani dan diminta mengantarkan polisi ke rumah majikannya, agar polisi bisa segera menginvestigasi kasusnya.

Aku melirik jam, sudah pukul 8 malam. Aku dan Dian menunggu di kantor polisi. Mengobrol selama nyaris setengah jam, aku mendapati cerita hidupnya. Berusia 21 tahun juga sama seperti aku dan Dwi. Satu lagi persamaannya: kami bertiga sama-sama sudah mau menikah.

Dian sudah dua tahun di Hongkong. Kini ia berniat selamanya tinggal di Hongkong, demikian tekadnya, karena hidupnya sudah terlalu berat di daerah asalnya. Ia bercerita bahwa sekarang orang tuanya entah di mana. Ia tidak tahu dan memang tidak mau tahu.

Ada bagian dari diriku yang memahami betapa ia ingin lari dari kehidupan lamanya. Aku juga kasihan kepada orang tuanya. Polisi kemudian memanggilku, meminta bantuan untuk menjadi penerjemah antara polisi dan Dwi. Setelah itu polisi memanggil ambulans untuk membawa Dwi ke Rumah Sakit Sha Tin, diambil visum dan diobati.

Dia memohon diri untuk pergi dulu. Aku dan Dwi berterima kasih teramat sangat, mengingat tanpa ia mungkin kami sudah jadi es serut di luar sana.

“Sampai jumpa, ya Mbak Zhizhi. Lain kali kita jumpa di temat yang lebih nyaman, hehehe,” ujarnya meninggalkan sebuah renungan tersendiri.

Apakah dia hanya berbasa-basi, seriuskah kepingin ketemu lagi, dan disusahkan kembali? Halah, hebatnya sosok BMI ini, tulus mengulurkan bantuan terhadap orang yang baru dikenal sekalipun. Tanpa pamrih!

Ini pertama kalinya aku naik ambulans sebagus itu. Sempat terlintas di pikiranku, nanti kalau sudah jadi orang kaya aku nggak mau beli Alphard, cukup beli ambulans seperti ini saja. Serius!

“Are you her lawyer?” tanya seorang paramedic ganteng ke arahku sambil memeriksa luka dan bilur di tubuh Dwi.

Aku mengangguk sok tegar. Padahal aku sendiri tidak tahu apa yang akan kuhadapi nanti.

“You are still too young, why don’t you find a better job with a better money? I mean, anyone can do whatever you do now, right?” ujarnya setengah bercanda.

Aku sadar ia berkata seperti itu karena di Hongkong pengacara sangat dihargai, dan memberikan banyak sekali pemasukan. Aku terdiam untuk sesaat. Bahkan di Indonesia pun, banyak teman-temanku yang bertanya tentang hal ini. Apalagi sejak awal judul skripsiku sudah beda sendiri dengan yang biasanya hadir di jurusan Hukum Bisnis.

Aku malah membicarakan masalah Asuransi TKI. Biasanya orang-orang terperangah sebentar sebelum kemudian terbahak. “Okay, lucu juga. Serius nih, jadi apa judul skripsi lo?”

Namun, kali ini, ditanyai oleh orang yang entah siapa, membuatku berpikir. Apa yang kulakukan di sini? Apa aku telah membuang seluruh potensiku, waktuku, kesempatanku dengan perusahaan-perusahaan bergaji besar lainnya? Aduh, sudahlah, fokus saja bantu Dwi!

Inilah Prince Edward Hospital, daerah Sha Tin, Dwi ditangani dengan cepat. Aku yang selama ini terbiasa dengan penantian berjam-jam di RSCM, tertakjub-takjub menyaksikan segala fasilitas dan obat yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah Hongkong.

Mataku berkaca-kaca, membayangkan Mama dirawat di tempat ini. Dengan segala fasilitas serba canggih. Tidak perlu ditempatkan di lorong hanya karena tidak punya uang, tidak perlu aku tidur di lantai ICU, menanti Mama disiksa pengaruh obat. Ingin sekali aku memboyong Mama ke tempat ini, saat ini juga, supaya ditransfusi di sini.

Sepanjang proses mengantri dokter dan mengantri obat, Dwi terus bercerita. Sementara aku terus bertanya, mencegah ia untuk tidak menangis lagi. Sejujurnya sulit bagiku untuk mendengarkan kisah hidup mereka. Seringkali mereka membuatku teringat akan segala kehilanganku, membuatku kerap membandingkan yang hilang dariku dengan yang telah terenggut dari mereka.

Selalu, rasa kehilanganku bagaikan buih di lautan. Sekeras apapun upayaku dalam membentengi diri, menjadi batu di balik tawa, di balik kecuekan akan airmata mereka. Mustahil untuk membendung segala hal yang kulihat, yang kudengar.

Meskipun aku akhirnya berhenti mendengarkan, rasa sakit mereka akan melesak jauh ke dalam, menelusup ke sela-sela sel tubuhku: menjadikan airmata mereka mengalir di dalam darahku.

Aku tidak tahu mengapa takdir membawaku ke Hongkong. Bertemu dengan orang-orang ini. Menolong mereka, satu-satunya hal yang memang kuinginkan, justru menjadi pekerjaan.

Aku jatuh cinta pada pekerjaanku. Aku jatuh cinta pada setiap airmata yang mereka teteskan saat mereka sakit, karena aku tahu airmata itu akan kugantikan dengan senyuman ketika kasus mereka selesai dengan akhir yang menyenangkan.

Butuh waktu untuk kemudian sadar bahwa aku sudah jatuh cinta pada proses menyakitkan dan membosankan bernama advokasi ini. Di mana aku dipaksa menunggu sambil mendengarkan BMI bermasalah sibuk bertanya dan menangis di Kantor Polisi, Labour Department, penjara, Labour Tribunal, kegiatan-kegiatan yang dianggap merepotkan oleh orang lain.

Tidak selalu menyenangkan tentu saja. Memang akan selalu ada orang menyebalkan dan bodoh di dunia ini yang membuatmu sedih, sakit hati, kesal, tidak menghargai kerja kerasmu, dan lain sebagainya. Tentunya ada omongan-omongan miring.

“Lulusan UI kok malah jadi babunya babu. Gaji lebih kecil dari babu pula.”

Apa yang kupikirkan setiap malam sebelum aku menutup mata hanya satu: terima kasih, ya Allah. Hari ini aku berguna lagi bagi orang lain. Bukankah ini tujuan hidup setiap orang? Bukankah ini dulu tujuanku waktu SMA ketika memilih FHUI sebagai kampusku?

Aku mencoba untuk ikhlas. Aku merasa begitu kosong. Hidup telah menguras diriku sedemikian rupa, hingga aku terus merasa seperti kantung pasir dengan bagian bawah berlubang. Tanpa keinginan untuk apapun. Tanpa kesenangan, kesedihan, tanpa emosi apapun yang berlebihan yang bisa membuatku lebih berwarna.

Kini gadis di hadapanku menangis. Mengiba. Memohon. “Aku mohon Mbak.”

Matanya terus terpaku kepadaku, meski ia tidak tahu apa yang ia mohon dariku. Meski aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan padanya.

Di mana kau ketika usiamu 21?

Aku di Hongkong. Dia pun di Hongkong. Gadis bernama Dwi ini juga di Hongkong. Takdir membawa kami dengan cara berbeda, dengan status berbeda, dengan akhir yang aku yakin pun pasti berbeda.

Kami saling menatap bayangan masing-masing di depan kaca kantor polisi Ma On Shan. Tatapanku mencari-cari tatapan mereka. Meminta maaf karena nasibku jauh lebih baik dengan rasa syukur yang jauh lebih buruk. Sebuah percakapan di mana hanya kami yang tahu.

“Terima kasih ya, Mbak. Terima kasih.” Gadis itu memelukku sambil menangis. Tangisan bahagia kali ini.

Untuk sesaat, satu detik paling menyenangkan dalam hidupku terjadi: kekosonganku terisi. Rasa sepi yang terus menggelayutiku bagai tirai, membatasi diriku dengan dunia nyata bergeser sedikit. Seperti saat aku pertama kali mengenakan kacamata, segalanya terlihat lebih tajam: lebih berwarna.

Dan aku bertanya-tanya mengapa aku tidak melakukan hal ini sejak dulu. Sebuah kesadaran mengguyurku: aku tidak menolongnya. Ia yang menolongku, menjulurkan tangan ke arahku yang sempat lupa rasanya hakikat peduli. Sulit untuk bisa menulis di tempat ini.

Aku seakan mengalami yang biasa mereka sebut sebagai kebuntuan. Sulit sekali untuk bisa berkonsentrasi bila setiap detik orang berteriak memanggilmu: untuk bantuan hukum, untuk mengajak makan pagi, makan siang, makan malam (di sini seakan kami makan setiap saat).

Bahkan kalau aku punya waktu untuk akhirnya bisa di depan laptop untuk mengetik sesuatu, anggaplah satu kalimat, akan selalu ada orang-orang yang terlalu peduli yang ingin tahu urusan orang. Ingin tahu setiap huruf yang kau ketik di laptop mungilmu.

Inilah kebuntuan yang bisa membuatku berteriak di tengah lapangan. Kata-kata ada di sini, di dalam otakku. Berputar-putar tanpa akhir, tanpa bisa dikeluarkan.

Yang aku tahu, umurku 21 tahun. Dan kini lebih dari apapun, aku tahu jelas apa yang kuinginkan dalam hidupku. Aku akan tiba di Indonesia sebentar lagi. Aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa ada dunia nyata di luar sana: Jakarta yang keras.

Aku sadar bila aku terlalu nyaman di satu tempat, terlalu bahagia, aku akan kehilangan semua sensasi ini. Maka di sinilah aku. Di atas langit, menatap awan-awan Hongkong, melewati angkasa. Tidak ada hal yang pasti menantiku di ujung sana, tapi setidaknya mataku sudah terbuka.

Hatiku sudah terisi sedikit.Aku tidak dengan naif berpikir bahwa dalam beberapa minggu, hitamku berubah menjadi pelangi. Tetapi aku tidak lagi sekosong dulu: ada semburat lembayung di malam gelapku. Sama dengan airmata mereka, kini senyuman para korban pun mengalir di dalam darahku.

Kusimpan dalam kotak di sudut sana yang hangatnya akan kubuka kelak bila ada yang bertanya, “Apa yang sudah kau lakukan ketika umurmu 21 tahun?”

Emkosai, Hongkong. See you soon.

“Do not let your difficulties fill you with anxiety: after all, it is only in the darkest nights that the stars shine more brilliantly.” – Ali bin Abi Thalib“The truth is somewhere along the story.” (Causeway Bay-Hongkong

(Visited 19 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: