Pipiet Senja

@RomansaDuaBenua

Tahun-tahun berikutnya bagi Soli adalah keseharian yang sarat dengan perjuangan keras. Detik demi detik berpacu bersama semangat dan optmisme, menit ke menit dipenuhi dengan ambisi dan target bisnis.

Namun, di sisi lain ia pun tak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Setelah Nuwa junior berumur dua tahun, ia berturut-turut melahirkan Beatrice dan Martin. Setiap kali menanti kelahiran bayinya, keluarga besar Hartland melimpahinya dengan semangat dan kemanjaan.

Soli bisa merasakan ketenangan, bahkan sanggup membenahi himpitan dari masalah sesulit apapun. Ia pun bisa mengekspresikan enerji dan hobinya, merancang busana ke sekolah mode bergengsi di Inggris. Begitu pula saat mengandung si bungsu Martin, ia berhasil membenahi krisis manajemen yang melanda bisnis milik kakak iparnya.

“Nah, kalau sudah begini semuanya sudah bukan urusanku lagi. Bisnis ini sejak sekarang resmi milikmu, Soli Van Hartland,” ujar Pieter di tahun ketiga. Soli mengucurkan dana untuk pemekaran bisnisnya di Kanada.

Pada musim semi berikutnya, toko yang diberi nama Nuwa Otomotif telah diperluas. Ditambah satu gedung lantai tiga yang terletak beberapa blok dari kantor pusat. Jan Hartland yang diserahi memegang jabatan kepala kantor, kemudian merekrut beberapa pegawai.

Pada perkembangan selanjutnya Jan hanya formalitas atau semacam simbol saja di toko tersebut. Ia selalu merasa dirinya tak layak terlibat langsung dengan bisnis raksasa,demikian istlah Jan Van Hartland. Dengan segala rasa iba dan sayang, biasanya Soli akanmengecup pipi-pipi lelaki rendah diri itu.

Tentang cinta. Seiring waktu dan menikmati kebersamaannya dngan lelaki model  Jan Van Hartland, Soli pun memutuskan sikap. Ia lebih melihat ketulusan dan kesederhanaan cara berpikir Jan, terutama dukungan dan pengabdiannya terhadap seak terjang istri di belantara bisnis Eroa. Ia dengan kebersamaan mereka, Jan, Nuwa, dan kedua adiknya. Cukuplah cinta mereka untuknya, tak sudi melihat cinta lainnya.

Ah, apa sesungguhnya itu cinta?

Soli ta ingin memikirkannya, apalagi terlibat kembali dengan perasaan mengharu-biru seperti dulu. Sekali dalam hidupnya terlibat cinta, ternyata hanya membuahkan kepiluan tak tepermanai.

Suatu hari di musim panas, tahun kelima keberadaannya di benua Eropa. Ia punya urusan bisnis di Paris. Sepintas lalu matanya sempat melihat sosok tinggi besar,berkulit gelap, berambut keriting kecil-kecil. Penglihatannya sama sekali tak keliru. Mereka adalah Nuwa bersama Mei Hwa agaknya baru belanja, keluar dari toko perhiasan terkenal, Cartier.

Soli harus menekan gelora rasa yang mendadak berkecamuk dalam dadanya. Namun, rasa penasaran menggiringnya untuk memperhatikan pasangan mesra itu untuk beberapa saat. Diam-diam ia terus mengawasi kelakuan mereka yang atraktif. Beberapa kali mereka berciuman tanpa rasa malu.

“Apa yang mereka lakukan di Paris?” tanyanya dalam hati.

Segala kepedihan yang harus dilaluinya akibat kepengecutan lelaki itu, seketika melembayang di tampuk matanya. Ia pun cepat-cepat menghindarai tempat itu. Berusaha keras melupakan pertemuan tak sengaja itu, dan meleburkan dirinya ke lautan kesibukan.

Itulah pertemuan kebetulan pertama dengan lelaki bernama Nuwa. Tahun-tahun selanjutnya dihabiskan demi pemekaran bisnisnya. Setidaknya untuk sementara. Sebab apabila ia terbebas dari kesibukan, bersantai menenangkan enerji yang dimilikinya.

Oh, Tuhan!

Serpihan demi serpihan kenangan pahit di masa silam, berbelas tahun kemudian masih membakar kedamaiannya. Sehingga dirinya terkadang merasa nyaris gila. Mimpi-mimpi buruk berseliweran tak berkesudah.

“Pergilah ke psikiater, Mom,” saran Nuwa ketika memergokinya bertingkah aneh di dua pertiga malam.

Soli mondar-mandir di  pinggir kolam dengan gaun tidur alakadarnya. Adakalanya seperti hendak menceburkan dirinya ke dasar kolam yang sedang dikosongkan. Saat dinasehati putranya itulah, Soli baru menyadari. Bahwa sulungnya telah menjadi seorang lelaki dewasa. Umurnya sudah tujuhbelas, belum lama Soli menghadiahinya Ferrari.

Yeaaah, tahun-tahun berlalu begitu cepat, pikirnya.

Di mana ibunya ketika anak ini berjuang keras meraih jatidiri di fase kehidupan remajanya? Ibunya lebih sibuk dengan bisnisnya, nyaris tak punya waktu lagi bersama anak-anak. Ketiga anaknya lebih dekat dengan Jan.

Meskipun Soli tahu juga, Nuwa tak pernah bisa lebih dekat lagi dengan Jan sejak mengetahui statusnya. Ia hanya anak adopsi, bukan anak kandung Jan Van Hartland. Soli tak pernah mengusutnya, entah sapa yang telah memicu kepenasaran Nuwa tentang ayah kandungnya.

Tahu-tahu Nuwa menjaga arak dengan lelaki naif yang sangat mengagumi ibunya ini. Sehingga ia rela melakukan apapun demi menyenangkan hati sang istri. Akhirnya terbalik posisi mereka. Soli sebagai pencari nafkah. Sedangkan Jan mengurus rumah.

“Maafan Mom, ya Cinta.”

“Mom tak punya salah apa-apa kepadaku,” sahut anak muda yang dilihatnya terlalu cepat matang ini.

Nuwa membawanya duduk di kursi taman belakang. Kemudian bergegas membuatkan minuman hangat untuk ibunya.

“Terima kasih, Cinta,” lirih Soli, segera menyeruput teh jahe kesukaannya.

“Mom harus sehat. Banyak yang sangat membutuhkan Mom,” kata Nuwa menasehati ibunya.

“Iya, Cinta….”

Soli memandang wajahnya lekat-lekat. Wajah yang unik, spesial, perpaduan antara keperkasaan Amungme dengan ketimuran Hindustan. Kehalusan kulitnya diwarisi  dari ibunya. Ketampanannya tentu saja dari ayah kandungnya. Jika sudah menginginkan sesuatu, ia akan mencapainya bagaimanapun caranya.

Nuwa telah menamatkan pendidikan dengan sangat baik. Nilai-nilainya selalu memuaskan. Ia mewarisi kecemerlangan otak ibu-bapaknya. Ia selau berusaha  menarik perhatian, pengagumman dari ibunya dengan prestasi-prestasi gemilang. Sejak kecil sudah memperlhatkan kejeniusannya. Tak mau mengalah dari adik-adiknya. Ia selalu ingin tampil sebagai Sang Pemenang.

Di mata Soli, Nuwa adalah potret anak muda yang sempurna. Ya, inilah sosok muda enerjik, memilik banyak talenta dan segudang ambisi. Siapa tak kenal Nuwa Van Hartland yang pernah menjuarai racing-racing di seluruh daratan Eropa? Pembalap fotmula pendatang yang pernah menyingkirkan para pembalap dunia di babak penyisihan.

Namun, tiba-tba Nuwa berbalik arah, mengikuti jejak ibunya sebagai pebisnis. Dalam hal keputusannya ini, Soli tak pernah mengusut alasannya. Baginya sangat menyenangkan bila ada anaknya yang mengikuti jejaknya. Tanpa banyak pertimbangan lagi ia menyerahkan bisnisnya di Amsteram ke tangan putra sulungnya.

Beberapa tahun terakhir Soli lebih suka menggeluti dunia mode dan rancang busana. Terutama sejak Paula menjual rumah modenya di Huizen. Ia segera membelinya dengan seluruh simpanan pribadinya.

“Mom, apa yang dirasakan?” usik Nuwa.

“Sudahlah, Nak, jangan cemas begitu. Aku hanya merasa sedikit nervous,” kilah Soli, menenangkan sulungnya yang lama menatapnya cemas.

“Mom harus menemui dokter Jansen,” desaknya seraya menyodorkan kartu nama seorang psikiater terkenal di Amsterdam.

“Baiklah, nanti akan kucoba mengatur jadwal….”

“Sudah kuatur, Mom. Besok pukul tiga sore. Aku antar, ya Mom.” Tegas Nuwa tak bisa diprotes lagi.

Sambung

(Visited 27 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: