Pipiet Senja

#RomansaDuaBenua

Laila membiarkan Soli Van Hartland meluahkan seluruh kisah hidupnya. Tiba-tiba telepon berdering, ia bergegas bangkit dan menganhkatnya.”Untuk Anda, Oma.”

“Tidak, kau saja yang terima,” elak Soli, masih merasa-rasai kelegaan tak tepermanai yang membasuh sisi-sisi kalbunya. Curah hati kepada gadis muda ini ternyata sungguh ajaib, pikirnya.

Sebagian besar beban hatinya seakan terangkat. Ia menemukan muara resah-pasah jiwanya mulai lapang.

“Tapi ini dari cucu Oma.” Laila menghampirinya sambil tetap membawa telepon untuk Soli.

“Oh, Tuhan, sini berikan kepadaku!” Soli seketika berjingkrak sukacita, hingga nyaris terjatuh dari kursi rodanya.

“Ya Allah, hati-hati, Oma!”seru Laila.

“Uh, uh! Seharusnya aku segera membuang kursi roda ini!” sungutnya sambil tertawa getir.

“Sebentar lagi Oma akan menyimpan benda ini di gudang, insya Allah,” kata Laila meyakinkannya.

Beberapa saat kemudian Laila melihat Soli asyik berbincang dengan cucu tersayang. Berbasa-basi sejenak, wajahnya tampak berseri-seri. Sampai suatu saat tiba-tiba wajah yang masih cantik itu menegang dan mendung.

“Tidak, tidak mungkin!” protesnya menahan tangis. “Mengapa harus begitu, Cinta? Kau tak bisa mampir ke rumah, sebentar saja, please…. Di mana? Bandara Schipool? Apa? Kau akan kembali ke Indonesia begitu? Minta Oma menyusulmu ke sana? Oma harus sembuh total dululah, Cinta. Iya, Faizal Islam…. Oma menyerah, takkan pernah memanggilmu lagi dengan nama lain kecuali Faiz…, oh!”

Gagang telepon pun terlempar dari tangan yan terkulai lesu di sisi kursi rodanya. Laila segera sibuk menenangkannya. Perempuan malang itu untuk beberapa saat menangis tersedu-sedan.

“Peluklah aku, Laila,” pintanya dengan suara parau.

Laila memeluknya erat-erat. Soli  tak ubahnya seorang bocah yang baru kehilangan mainannya.

“Tenangkanlah hatimu, Oma,” bisik Laila lembut, memeluk kepala majikanannya yang terkulai lemah di haribaannya.

Air mata Soli buncah sebagian membasahi jilbabnya.

“Bagaimana Oma cepat sehat kalau baper begini?”

“Apa itu baper?” reaksi Soli ingin tahu.

“Bawa perasaan, Oma. Harus tabah menghadapi situasi apapun. Agar cepat sehat, segar-bugar seperti sediakala. Bukankah Oma ingin menyusul cucu ke Indonesia? Menengok kembali kampung kelahiran Oma di Gunung Halu?” Laila terus menyemangatinya.

Seketika kepala itu terdongak. Dipandanginya wajah Laila lekat-lekat. Jari-jemarinya yang keriput terangkat, perlahan mengais air mata d pipi-pipinya. Seleret senyum tabah tersungging di bibirnya.

“Apakah aku sanggup melakukan semuanya itu, Nak?”

“Insya Allah dengan izin Allah Swt, Oma akan sanggup,” tegas Laila.

Sepasang mata yang semula meredup perlahan berbinar indah. Secercah cahaya mulai menyepuh bening matanya, merambah parat ke dada dan kisi-kisi hatinya. Maka, diraihnya wajah oval rupawan di hadapannya. Dielusnya pipi-pipi yang lembut dan jilbab biru yang senanatiasa menyembunyikan mahkota di kepalanya.

“Tahukah kamu, seumur hidup aku tak pernah secara khusus belajar mengenal Penciptaku. Padahal kusadari karena kasih-Nya juga, aku si Soli anak haram jadah dari Gunung Halu, sekarang bisa begini….”

Laila menanti dalam debar-debar harap.

“Ya Allah, masuklah, basuhlah kalbunya saat ini juga. Jangan tunda lagi, ya Robb,” jeritnya dalam hati mengawang langit.

“Baiklah, Nak. Sekarang aku sungguh ingin mengenal Penciptaku. Melalui keyakinan cucuku dan keyakainanmu juga,” desis Soli terdengar pasrah, gemetar.

“Subhanallah….”

“Laila, maukah engkau mengajariku menjadi seorang Muslim….”

“Muslimah, Oma,” ralat Laila.

“Ya, seorang Muslimah seperti dirimu…. Ajarilah aku agar seiman dengan cucuku, seiman denganmu.”

Laila menyambutnya terharu, berulang kali menyebut kebesaran Ilahi.

“Bila sudah satu iman, kurasa Faiz takkan pernah menolak neneknya yang tak tahu diri ini. Bukankah begitu, Laila?” lirihnya seraya menatap wajah gadis di hadapannya. Wajah yang basah oleh air  mata haru.

Sejak itulah Soli secara serius menyimak ayat-ayat suci yang digemakan oleh Laila. Secara serius pula mempelajari agama Islam, tanpa kenal lelah. Sebagian dibacakan oleh Laila.. Sebagian lagi membacanya sendiri dengan segala kesungguhan hatinya.

Cahaya Islam telah merasuki hati dan jiwanya. Soli mulai bisa mendirikan sholat lima waktu. Bersamaan dengan itu secara ajaib kesehatannya pun membaik, membaik dan semakin membaik.

“Lihatlah, Laila, aku sudah bisa berjalan kembali!” seru Soli pada sepertiga malam itu.

Laila yang sedang bermunajat tak jauh dari tempat tidurnya, serentak menoleh.

Benar saja, Sang Dewi dari Timur telah kokoh berdiri. Melangkah satu-satu dengan kuat, menuju kamar mandi tanpa dibimbing siapapun lagi.

“Allahu Akbar,” gumam Laila.

Ketika Soli berada di kamar mandi, gadis itu segera menelepon seseorang. Ustadz Habiburahman, aktivis Islamic Centre, pembimbing spiritual Faiz yang juga tak lain adalah kakak kandungnya.

“Ya, Dek, ada apa dengan nenek Faizal Islam?”

“Alhamulillah, Abang, beliau sudah sehat dan bisa berjalan kembali.”

“Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah…. Tak sia-sia kami mengirimmu ke situ.”

“Bagaimana sekarang rencananya, Abang?”

“Nanti kusampaikan kepada Faizal. Dia sudah berada di pedalaman Papua.”

“Sudah jumpakah dengan orang-orang yang dicarinya, Bang?”

“Beberapa sudah, katanya, tetapi kakeknya belum….”

“Sudah dulu, ya Bang. Oma sudah selesai ambil wudhu. Kami mau lail. Assalamu alaikum….”

Soli baru keluar dari kamar mandi. “Telepon dengan siapa, Laila?”

“Abangku, Oma, menanyakan kondisimu….”

“Oh, iya, kau punya abang di Islamic Centre. Bagaimana kalau besok kita menemuinya?”

“Baiklah, Oma, jika itu keinginanmu,” kata Laila menyetujui permintaannya.

Semangat hijrah itu luar biasa melumuri hati dan jiwa Soli Van Hartland.

Sambung

(Visited 29 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: