Pipiet Senja
#SketsaRasa
Arie satu-satunya di perusahaan itu yang mengetahui Rahmania baru melangsungkan pernikahan, menyambutnya dengan sebuah bingkisan.
“Kalian pasti membutuhkan benda ini,” katanya sambil lalu, melintas di meja kerjanya.
“Kira-kira apaan nih isinya, Bu?” Rahmania penasaran, tangannya meraba-raba bungkusan besar yang terbalut kertas kado itu.
“Kalau disebutkan bukan kejutan lagi dong,” elak Arie sambil mengajak ke ruangannya di sebelah.
Saat ini Rahmania belum menjadi sekretaris pribadinya, jabatannya adalah sekretaris umum Direksi. Hubungan mereka bukan sekadar antara atasan dengan karyawan, melainkan lebih dari itu, seperti sahabat karib. Rahmania bisa menumpahkan segala resah-pasahnya kepadanya. Demikian pula sebaliknya, Arie tak sungkan membagi permasalahan bisnisnya kepada Rahmania.
Sesungguhnya dari perempuan satu inilah Rahmania banyak belajar tentang bisnis dan managmen perusahaan.
“Apa yang kamu cemaskan?” telisik Arie, menatap tajam wajah Rahmania.
“Hmm, begini, kami kan tidak mengundang-undang teman kantor. Bagaimana kalau nanti tahu-tahu aku hamil?”
“Maksudmu bagaimana?” balik bertanya dengan mengerutkan sepasang alisnya yang bagus.
“Ya, itu tadi, Bu. Bagaimana nanti kalau aku hamil?” Rahmania mengulang. “Bisa-bisa mereka menuduhku macam-macam. Bagaimana kalau aku bikin selamatan pernikahan di kantor saja, ya, Bu Arie?”
Arie, perempuan modern dengan segala wawasan dan sikap hidupnya yang serba praktis dan moderat. Ia banyak tinggal di luar negeri bersama keluarganya. Demi mendengar perkataan Rahmania seketika ia tertawa gelak.
“Malah tertawa, ah, Bu.” Rahmania memberengut.
“Eh, sorry, sorry,” diusap-usapnya pergelangan tangan Rahmania dengan tatapan simpati.”Sama sekali tidak bermaksud menyinggung hatimu, Sayang. Aku hanya heran saja dengan rencana resepsi pernikahan di sini….”
“Bukan resepsi, ini sekadar selamatan saja,” ralat Rahmania.
“Nah itu dia!” tukas Arie, masih menahan tawa. “Buat apa harus selamatan segala, maksudku di kantor? Kalau mau selamatan mending di panti asuhan saja, Rahmania. Atau alihkan dananya buat orang-orang miskin. MInta didoakan sama mereka, biar pernikahan kalian diberkahi Tuhan,” cerocosnya membuat Rahmania terpelongoh.
Ini orang luarnya saja tampil modern, tapi urusan sedekah ternyata tidak luput dari keyakinannya, pikir Rahmania salut dan kagum. Bahwa sedekah itu sama sekali tidak akan merugi, sebaliknya akan melahirkan keberkahan.
Satu pelajaran berharga lagi yang diperolehnya dari sosok pebisnis perempuan ini. Luar biasa!
Arie mengajak beberapa karyawan untuk makan siang di restoran mahal. Saat itulah ia mengumumkan kepada mereka tentang pernikahan Rahmania dengan Rahman.
Sambil bercanda dan tawa, Arie bilang:”Nah, sejak sekarang kita sudah tahu status Rahmania. Sudah menjadi Nyonya Fahrul Rahman. Jadi, nanti kalau perutnya tiba-tiba buncit, tralalalala!”
Suasana makan siang yang dihadiri sekitar dua puluh orang itu terasa hangat dengan tawa dan canda. Rahmania sangat berterima kasih dan bersyukur memiliki atasan sebaik Arie.
Segala gundah-gulana dalam sebulan terakhir, sejak lamaran yang bersilih menjadi pemutusan hubungan itu, seketika raib dalam sekejap.
“Terima kasih, Bu,” bisiknya terharu, saat mereka kembali ke kantor.
Rahmania diajak Arie dengan kendaraan pribadi. Sedangkan yang lain diangkut dengan kendaraan kantor.
“Jangan cengeng, ah,” kata Arie, menyelipkan tisu ke telapak tangan Rahmania yang merasa semakin mengharu-biru. Sehingga air bening tanpa disadari merebak dari sudut-sudut matanya.
“Iya, terima kasih, Saudariku,” ulang Rahmania lirih, menyusut air bening yang menitik.”Saat-saat begini aku sangat membutuhkan dukungan sahabat.”
“Kalau ada apa-apa katakan saja kepadaku, ya Say. Eh, jadi tiap malam suamimu itu tidak pulang?”
Rahmania mengangguk.”Subuh baru pulang, sebentar saja, kemudian pergi lagi ke kantornya. Dari kantor dia langsung menuju rumah sakit.”
Memang demikianlah yang terjadi. Sejak menempati rumah kontrakan baru Rahman tidak pernah pulang malam. Tiap malam ia menjaga ibunya di rumah sakit. Menjelang subuh baru diganti oleh ayahnya atau pembantu mereka.
“Aku percaya, kamu memiliki kesabaran luar biasa. Kalau memang sudah jodoh, lihatlah. Kalian tetap bersatu meskipun ditentang oleh ibu dan keluarga besarnya.”
Rahmania menghabiskan sisa sorenya di panti yatim-piatu tak jauh dari rumahnya. Ia menyisihkan sebagian tabungannya untuk berbagi dengan anak-anak malang yang tidak memiliki orang tua itu. Menitik kembali air matanya tatkala melihat wajah-wajah penuh harapan, wajah-wajah polos tanpa dosa. Mereka menggantungkan masa depan dari belas kasih orang.
“Semoga Tante semakin banyak rezekinya, dimudahkan segala urusan dan dikuatkan hatinya,” doa salah seorang anak paling besar, mewakili teman-temannya.
Rahmania pulang ke rumah kontrakannya dengan hati lapang dan tekad kuat untuk menghadapi segala rintangan peri kehidupan. Kalau ia terus bertahan dengan situasi seperti itu, kondisi yang tidak normal, tidak seperti pernikahan lainnya, bukan hanya karena dirinya memiliki tabungan kesabaran belaka. Ini juga berkat kepercayaannya terhadap kesetiaan, kejujuran dan kepribadian Rahman.
“Susah memang kalau orang sudah cinta mati,” sindir Arie sambil tertawa, ketika mereka jumpa keesokan harinya.”Jadi kalaupun suamimu tidak balik-balik, tetap cinta mati sama dia?”
“Bukan sekadar cinta biasa,” balas Rahmania.
“Apapun istilahnya, aku mendukung dan memberikan keleluasan untukmu,” kata Arie memungkas percakapan.
Rahmania segera mengalihkan perhatiannya untuk pekerjaan. Rahmania bukan perempuan yang memegang pepatah;[1]suwargo-katut-neroko-nunut.
Rahman juga membebaskannya untuk bergerak leluasa. Sejak awal mereka telah menggariskan komitmen; untuk maju bersama, tidak saling menghambat karier masing-masing.
Malam-malam pun bersilih dengan minggu, kemudian bulan demi bulan berlalu, tanpa terasa tiga bulan sudah pernikahan mereka. Tiga bulan pula telah berlalu bagi Rahmania, tanpa suami jika malam tiba, baru berjumpa menjelang subuh, berbincang beberapa jenak melepaskan kerinduan.
Siang itu di kantornya, tiba-tiba Rahmania merasa ada yang aneh dengan perutnya. Beberapa kali ia harus setengah berlari menuju toilet, ingin muntah, tetapi tak ada yang keluar. Ia mengira mungkin ini akibat terlalu banyak makan pedas.
Sehari sebelumnya ia membuat mie goreng istimewa, lengkap dengan acar dan telur balado untuk Rahman. Ternyata suami tidak pulang bahkan sampai subuh tiba. Ia pun melahap semua sisa mie goreng pada pagi harinya, nyaris dengan perasaan kesal dan kecewa.
Inilah dampaknya, sungutnya menyesali dirinya sendiri.
“Seingatku sejak tadi pagi perutku terasa aneh,” keluhnya kepada Arie yang menanyai kondisinya.
“Maksudmu, mual pagi hari?”
“Iya, kepingin muntah tapi tidak bisa.”
“Sudah diperiksa belum?”
“Periksa apanya?”
“Mual-mual pagi hari bisa saja morning-sick, pertanda hamil.”
Mata Rahmania terbelalak dengan mulut berbentuk:”Ooooo!”
“Minta tolong Bang Obe, belikan testpack,” kali ini suara atasannya bernada perintah dan tegas. “Nanti sore pergilah ke dokter kandungan.”
Rahmania tidak banyak bicara lagi, menanti alat hasil tes kehamilan rasanya lama sekali. Ia ingin segera mengetahui garis nasib yang telah ditentukan Tuhan untuk dirinya. Kehamilan berarti ia harus mengatur kembali rencana dan langkah-langkah ke depan. Setidaknya untuk beberapa bulan mendatang, ia harus menyesuaikan kondisinya, perut buncitnya dengan kegiatan rutinnya.
“Beli dua macam, kata Ibu Arie. Yang ini murah harganya, satu lagi paling bagus,” kata anak muda, pelayan kantor yang biasa dipanggil Bang Obe itu.
“Terima kasih, Bang Obe.”
Rahmania pun bergegas menuju toilet. Ia berkali-kali membaca aturan pakainya sebelum mengambil sedikit air seninya, beberapa saat kemudian;”Ya Tuhan, ini tandanya positif,” lirihnya bergetar.
Ia baru menyadari bahwa saat malam pertama dirinya sedang dalam masa subur. Jadi tidak ada masa lowong dulu langsung berisi. Untuk beberapa saat lamanya ia hanya tercenung-cenung seorang diri di ruang kerjanya.
Mengapa aku sampai tidak menyadari kalau dalam tiga bulan ini tak haid berarti hamil, gumamnya membatin.
“Jadi positif nih, Say?” sapa Arie, menyalaminya.
“Sepertinya begitulah.”
“Aku antar ke klinik kandungan di Menteng. Dia spesialis kandungan kenalanku.”
“Wah, rumah sakit Menteng? Mahal dong, Bu Arie.”
Rahmania tak bisa membayangkan berapa dana yang harus dikeluarkan. Apabila dirinya setiap kali periksa kandungan harus ke rumah sakit mahal.
“Tidak mahal, tenang saja, semua biaya masuk ke kantor,” ujar Arie menenangkannya.
“Masuk ke kantor bagaimana?” Rahmania belum paham.
“Ya ampun, Rahmania, memangnya tidak tahu kalau perusahaan menanggung biaya sakit karyawannya?”
“Tahu sih, Bu, tapi itu kan kalau sakit. Sedangkan ini bukan termasuk sakitlah. Hamil begitu loh, pada dasarnya aku sehat-sehat saja.” Rahmania tertawa, mulai menebak kira-kira dalih apa saja yang akan ditawarkan atasannya demi menenangkan dirinya.
“Kalau begitu, spesial untukmu biar aku yang akan menjaminnya,” janjinya dalam nada serius sekali.
“Wow, serius nih?”
“Kapan pernah aku main-main untuk urusan begini? Ini anak pertamamu, orang yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri. Jadi anakmu itu adalah keponakanku.”
Demi Tuhan, gumam Rahmania dalam hati, sungguh nikmat-Mu mana lagi yang engkau dustakan? Engkau sangat Maha Pemurah, diturunkan-Nya sahabat sebaik ini untuk hamba-Mu yang lemah.
Arie yang bersuamikan lelaki Jepang itu sungguh tidak pernah sekadar basa-basi, mengumbar janji. Tidak, ia mewujudkan setiap janjinya dengan kenyataan.
Mulai dari mengantarnya, memperkenalkannya kepada dokter Helga, spesialis kandungan langganannya, membayar semua tagihannya, hingga membelikan berbagai keperluan bayi.
Acapkali perempuan berhati mulia itu mampir ke rumah kontrakannya, membawa serta tiga anaknya, dua laki-laki dan satu perempuan. Adakalanya ditemani suaminya yang keturunan Jepang itu. Ayah suaminya adalah seorang tentara Jepang yang membelot, bergabung dengan para pejuang Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Waduh, ini semua diperlukan seorang bayi?” seru Rahmania, tercengang-cengang.
Ia mendapat kiriman peralatan mandi, boks kecil dengan kelambu merah muda dan sebuah kereta dorong.
“Pastinya begitu. Jangan kuatir, semuanya baru, bukan bekas anak-anakku yang sudah gede. Hehe,” kata Arie.
Ia menjawil pipi putrinya yang sudah duduk di bangku TK.
”Sayang, dulu kamu seperti dede kecil loh.”
“Semoga anakku juga perempuan dan secantik Putri Giok ini,” harap Rahmania dengan takzim.”Kelak, kalau anak-anakku perempuan, harus disekolahkan tinggi ke luar negeri!”
“Amiiiiin!” sambut atasannya, tak kalah takzimnya.
“Kalau sekolahnya di Jepang, jangan lupa harus tinggal di rumah kami,” cetus Mayoko-San yang suka menemani istri dan anak-anak singgah ke kontrakan Rahmania.
“Wah, terima kasih…. Arigato gozaimasu,” kata Rahmania.
“Belum tentu kami tinggal di Jepang. Hehe,” lanjut lelaki bermata sipit yang memiliki senyum manis itu. Bahasa Indonesia Mayoko-San tentu saja sangat bagus.
“Oya? Boleh tahu, negara mana yang Anda sukai di dunia ini selain Jepang dan Indonesia?” tanya Rahmania ingin tahu.
Ternyata yang menjawab bukan hanya seorang, melainkan lima orang, yakni; Mayoko-San, Arie dan tiga anak mereka. Secara kompak pula mereka menyahut, tepatnya menyatakan pilihan:”Australia!”
Kelak di kemudian hari, cita-cita mereka terwujud, bermukim di Negeri Kanguru.
@@@
[1] ke surga ikut, ke neraka turut