Pipiet Senja

#9000Bintang

Hawa dingin serasa menjalari ujung-ujung kaki, parat terus ke ujung rambutnya. Lubenah mulai gemetar. Ya Allah, jangan biarkan, jangan biarkan itu terjadi, pekik hatinya.

“Cepat hubungi Pak Toni!” teriak dara itu kepada Faisal, Sie Keamanan.

Pak Toni Malela, guru olah raga yang dipercayai sebagai koordinator keamanan orientasi tahun ini. Rumahnya hanya beberapa blok dari sekolah mereka.

“Beliau lagi menuju TKP!” sahut Faisal.

“Anak-anak Xiper itu kebangetan!”

“Anak-anak Pasmer juga sami mawon!”

“Iya, sama-sama kebelet tawuran!”

“Yeeeh… kagak sabaran banget! Agenda tawuran kan Agustus!”

“Amankan anak-anak ke mushola!” teriak Lubenah yang segera disambut barisan Rohis.

Sementara Raja baru saja berhasil memukul balik serangan Josef yang diarahkan kembali kepada Dikdik. Haps!

Josef menggeram marah. Dia melancarkan tendangan memutar ke arah kepala Raja.

“Ups, tak kenalah itu, wheeei!” ejek Raja berkelit.

Entah dari mana keberanian, enerji dan hasrat yang bergulung-gulung itu datangnya. Semua telah menyatu dalam jiwa dan raganya.

Awalnya Raja sukses melumpuhkan Josef, sosok megar itu membentur tembok, berguling-guling di lantai. Disusul sebuah tendangan mendadak di perut Edward. Pukulan di rahang Niel. Terakhir gaplokan kuat di pipi Edo.

“Nah, selesai, puas sekarang, oke?”  dengusnya, kemudian buru-buru ngeloyor menuju toilet.

Lubenah dan kawan-kawan melongo hebat.

Ketika sosok Toni Malela muncul, semuanya telah berakhir. Situasinya kembali aman dan terkendali, seolah-olah tak pernah ada insiden seheboh itu. Semua anak masih lengkap. Kecuali anak-anak Xiper yang diam-diam mengundurkan diri. Mereka tak pernah muncul lagi, bahkan sampai selesai acara masa orientasi.

Raja baru mengetahui bahwa Laloan ternyata pelajar di sekolah yang sama. Seharusnya kelas tiga, tapi dia tak naik kelas. Setelah melalui pertengkaran hebat dengan maminya, Laloan nekad minggat ke Jakarta. Ditemukan tantenya di balik sel Polsek Menteng terjaring operasi yustisia di sebuah kafe.

“Seharusnya elo juga berakhir di sel penjara!” ejeknya kepada Raja, ketika melihat tampang anak itu memar-memar.

Raja tak menggubrisnya. Ia juga tak pernah menghiraukan apapun yang dicemoohkan gadis itu. Di depan teman-teman sekolah, Raja berusaha menyembunyikan kaitan antara dirinya dengan Laloan.

Untuk sementara keinginannya terpenuhi. Laloan nyaris tak punya waktu untuk mentakalinya, apabila mereka berada di sekolah. Dia merasa terlalu angkuh dan terhormat untuk bersinggungan dengan anak seorang pecundang.

Laloan memang terlalu sibuk dengan pengagumnya. Terutama anak-anak geng Xiper yang dikomandai Edo.

Laloan tak pernah merasa bahwa dirinya sudah dikendalikan anak-anak yang tak tahu tata krama itu. Mereka hanya bermain-main, memanfaatkan kelebihan keuangan dan fasilitas yang dimiliknya.

Laloan malah tampak bangga dengan statusnya itu. Ke mana pun langkahnya berayun, selalu diiringi oleh geng Xiper. Tak pernah ada yang berani mengusiknya.

Anak-anak menjulukinya si Cepeng, cewek penggoda. Hampir tak ada cowok yang pernah dilewatkan oleh Laloan. Meskipun begitu, Laloan lebih suka kalau mereka mengaitkannya dengan Edo.

“Kenapa kamu lebih suka aku daripada anak-anak lainnya?” usik Edo suatu kali, merajuk.

“Ada sajalah!” sahut Laloan manja.

Yang terlintas di benaknya adalah kharisma yang dimiliki keluarga besar Edo. Ya, biarpun kelihatan hobinya hura-hura melulu, tapi cewek satu ini sering memikirkan masa depan keluarganya.

“Hm, seberapa besar kekuatan itu kalau digabungkan?” pikirnya.

Laloan selalu berpikir bahwa perusahaan orang tuanya pasti akan jatuh ke tangannya. Suatu hari nanti, harus, haruuus!

Jangan kelamaan berada di tangan perempuan itu, sungutnya sebal, setiap kali mengingat kelakuan tantenya.

Namun, kelihatannya untuk sementara dia harus bisa untuk menahan diri. Setidaknya sampai dia betul-betul berhasil memikat hati orang tua Edo.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan bulan pun berbilang.

Kenyataannya sanggup dilakoni Raja dalam semangat dan kompetitif. Pembuktian jati diri, biar Mama merasa bangga berputrakan dirinya. Adakalanya dibumbui tekanan yang menjerumuskan dirinya ke dalam kesalahkaprahan.

Apapun itu, Raja masih sanggup mengantisipasinya, memilah-milah mana yang benar dan salah. Sebuah perjuangan keras!

Akhirnya membuahkan hasil, tanpa terasa setahun pun berlalu sudah.

Di mushola yang hening setelah hiruk-pikuk hari perpisahan: parade band, kreasi seni, ngedance gila-gilaan, busana aneh-aneh dan seronok, teater musikal ala Smansa, tragedi Firaun dengan selir-selirnya yang membariskan para cowok berbencong ria, bla,bla, bla.

Pecah tawa, canda bahkan air mata.

Entah sejak kapan para senior dari berbagai Ekskul itu, seketika saling berebut menarik keberadaan Raja. Mungkin sejak hari terakhir masa orientasi. Mungkin juga sejak Raja menyabet beberapa prestasi, khususnya dari dojo, lomba pidato bahasa Inggris dan esay lingkungan hidup se- Nasional.

Yeah, itulah prestasi terbaiknya. Sesuatu yang selalu ingin dipersembahkannya untuk Mama tercinta.

Sayang sekali, sejauh ini Mama masih bertahan tinggal di Cimahi. Mama ternyata tak mau menggugat cerai, terus saja membiarkan Papa bersama perempuan sialan itu.

Mama, ah, Mama. Hidup menderita dengan status yang tak jelas!

“Mulai tahun ini diberlakukan uji mutu dari SMP bukan NEM lagi,” cetus seorang seniornya telah membuyarkan lamunan Raja.

Raja mencoba fokus, maka dipandanginya wajah Dikdik.

“Angkatan kalian itu angkatan terakhir yang pake sistem NEM,” Dikdik sambil mengipaskan badannya yang berpeluh dengan kipas peninggalan Roni, salah satu selir Firaun dalam pagelaran teater kocak mereka.

“Memangnya ada apa dengan angkatan baru nanti?” Raja masih belum paham dengan inti pembicaraan mereka.

“Sistem itu membuka peluang sogok-sogokan semakin parah. Nanti  bangku di sekolah ini dijual setinggi langit sama orang-orang kaya yang sok gengsi. Kepingin anak-anaknya sekolah di sini, tanpa memedulikan kemampuan si anak. Aku yakin, entar sekolah ini ada kelas khusus!” cerocos anak mantan petinggi Depdikbud di zaman Orba itu, tanpa ada yang meminta.

“Begitu ya?” Raja merenungkan informasinya.

“Dengerin tuh, Batak! Tadi ada wasiat pamungkas Mang Kabayan!” timpah Roni dari pojoknya.

Raja mesem melihat tampang Roni yang selalu mengaku sebagai mutan Batak-Jawa itu. Hari ini dia malah mirip Beti Bencong.

“Yeee…elo tuh bukannya mikir! Malah cengengesan!” sergah Roni berlagak galak. Bukannya serem tampangnya malah tampak makin  kenes, kemayu!

Gheeer, pecah tawa!

Lubenah dan teman-teman yang juga berada di sekitar situ serentak menoleh ke arah mereka.

“Boleh ikutan ketawa nih?” seru Yeyen meskipun sempat dipelototi Lubenah.

“Kenapa gak? Ini kan hari perpisahan, kita boleh kangen-kangenan sepuasnya!” Yudi seperti terkompori.

“Wah, kalau begitu diralat sajalah, sori!” Lubenah berusaha menarik kembali gengnya.

Tapi Yeyen dan Andra sudah bangkit, meninggalkan mushola, diikuti teman-teman lainnya.

“Biar leluasa, mending di luar,” bisik Yeyen mendesir di kuping Andra.

Tinggal Lubenah sibuk mengemasi kotak-kotak bekas makanan, mengotori hampir di semua sudut mushola.

Siapa yang mau peduli? Hari ini semuanya tampak euphoria, serba berlebihan. Anak-anak berbaur dari semua angkatan. Membuka kesempatan dating-dating bisa melanjutkan acara di luar, ke mana pun mereka kehendaki.

“Biar kubantu, ya Mbak Luluk.” Raja tak menghiraukan ajakan anak-anak Pasmer yang menguntit Yeyen dan kawan-kawan.

“Boleh. Eh, jangan ikutan anak-anak panggil Luluk begitu, ya. Namaku Lubenah! Kamu tahu itu!” sergahnya galak.

Raja tertawa kecil. Gadis Indramayu ini kalau ngambek tampak makin maniiis!

“Bukannya jadi keren kan, Mbak? Kedengarannya kayak Lulu Kamal, begitu?” seloroh Raja.

“Pokoknya kalau mau temenan sama Mbak jangan panggil begitu. Titik!” tuntut anak peraih NEM tertinggi dari IPA itu.

“Oke, okeee!” Raja sigap mengangkuti tumpukan kotak makanan keluar mushola. Selesai sudah!

“Tak bareng Laloan?” cetus Lubenah tiba-tiba.

“Ngng…” Wajah Raja memerah.

“Jangan kaget. Aku tahu kok kalian masih ada hubungan famili?”

Raja mendegut ludahnya. Hingga detik ini, Laloan tak pernah merasa puas melecehkannya di rumah. Tapi di sekolah biasanya dia berlagak tak mengenalnya. Kelihatannya betul-betul malu kalau dikaitkan dengan anak pecundang, lelaki pengeretan.

Di mata Laloan, bapak anak ini sungguh sumber masalah dalam keluarga besar Somba.

“Gimana Mbak tahu?” Raja menatapnya muram.

“Tempo hari kulihat yang ambil rapor kalian orangnya sama. Cantik, kaya seleb, pake mobil mewah. Itu tantemu apa kakakmu sih?”

“Ibu tiriku!” celetuk Raja spontan.

Lubenah sesaat termenung-menung, seolah menyerap sesuatu.

 “Jadi di pantai itu… Anak kecil itu, mm, adik tirimu kan?”

“Ehhh!” Jantung Raja mendadak berdetak kencang

Gadis itu kelihatannya telah menyimpulkan sesuatu. Setelah berbulan-bulan berlalu, eh, tidak, ini sudah lewat setahun!

“Aha! Memang ada niat mau mencelakai adik tirimu ke laut, ya?” ujarnya pula menohok dada Raja dengan telak.

Sebelum Raja tersadar dari syoknya, sosok tinggi kurus itu sudah berlalu dari hadapannya. Saat Raja mengejarnya keluar, betapa cepat sosok itu meloncat ke sebuah metromini yang melintas di halte dekat sekolah. Hanya ujung jilbabnya yang tampak berkibar sekilas.

Raja termangu-mangu. Bimbang mengambil keputusan. Langsung pulang atau menguntit Lubenah? Kenapa keakraban mereka baru muncul pada saat-saat menjelang perpisahan? Padahal, Raja suka sekali dengan kedekatan mereka.

“Pondok Indah… Pondok Indaaah!” kernet berteriak-teriak.

Seketika kembali terbayang wajah ibu dan adiknya.

Yaaap!

Mengapa aku gak nengok mereka di Cimahi, pikirnya.

(Visited 28 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: