Pipiet Senja

#9000Bintang

Dia akan memerlihatkan rapornya, nilai-nilai gemilang, dan piagam penghargaan kepada Mama. Dia  akan memamerkannya, harus di-scan dan mengimelkannya kepada kakaknya di Perancis.

Woooi! Inilah Raja (bukan Jeger lagi!) yang sudah berhasil meraih peringkat tiga besar di sekolah favorit.

Coba siapa yang pernah mengira? Anak yang selalu kelihatan seenaknya, bahkan kerap bangkang. Nah, sekarang; peringkat tiga.

Ketika sampai di rumah ibu tirinya, ia memergoki Laloan sedang bermesraan dengan Edo di kolam renang. Rumah memang sedang sunyi. Para pelayan lagi mudik. Keke dibawa Tante Maria sejak dua hari lalu mengunjungi ayahnya di Anyer.

“Heeei …, anak udiiiik! Mau ikutan kecipak kecibuuung?” teriak Edo terdengar sinis.

Serasa ada yang menghunjam dada Raja.

“Pengecuuut!” Laloan menjerit histeris di belakang punggungnya.

“Betul kata elo, ya La. Bapak dan anaknya sama saja; pecundang!” Edo ikut memaki-maki.

Raja tak menghiraukan ejekan pasangan kasmaran itu. Bergegas ia membalikkan badannya, urung memasuki kamarnya. Dengan perasaan muak ia meninggalkan rumah mewah itu, tanpa membawa apapun selain baju yang melekat di badannya.

Raja pergi menuju Cimahi. Di rumah ibunya pun Raja merasa gerah.

“Abang tak sayang kami! Baru juga sehari, belum ngobrol sama Mama. Kok sudah mau pergi lagi sih?” gugat Butet yang ternyata masih betah dipanggil dengan sebutan kesayangan ayah mereka.

“Ini bukan soal sayang menyayang. Abang cuma tak habis pikir dengan kekeraskepalaan Mama. Ngapain coba bertahan hidup kayak begini? Padahal, Mama bisa mengubahnya kalau mau!”

“Mama punya alasan kuat,” bela ABG itu dengan suara lembut, tapi terdengar bijak.

“Apa alasannya coba?”

“Mama tak mau gugat cerai. Tak mau ambil langkah ke situ. Biar Papa yang melakukannya, katanya, Bang…”

“Tahu tidak sih? Manusia itu sudah tak punya hati dan nurani lagi! Matanya beneran sudah buta! Dia tidak bakalan melepas Mama! Di sana dia senang-senang, membiarkan kalian hidup sengsara. Seharusnya Mama bertindak tegas! Menuntutnya ke pengadilan!”

Tiba-tiba Raja terdiam. Ia merasakan sesak dalam dadanya. Terpeta di benaknya kesenangan yang dinikmati ayahnya bersama keluarga barunya yang snobish di Jakarta.

Resor di Anyer. Mobil mewah, kemanjaan berlimpah.

Hhhhh, ampuuun!

Maria Francisca semakin kuat mencengkeramkan buku-buku beracunnya ke aliran darah lelaki itu!

“Mending kita tak usah ikut campur urusan mereka, Bang,” lembut sekali suara itu.

Mulut Raja menganga lebar. Betulkah yang ngomong demikian ini adik kecilnya?

“Begini sajalah, Bang. Biarin mereka dengan urusannya. Tak perlu tambah masalah yang sudah ada. Bener yang dibilang Teteh itu, kita kudu tawakal dan istiqomah….”

Sekarang bukan cuma mulutnya yang mangap, matanya juga ikutan melotot lebar!

Wow, serius nih yang ngomong ini adik kecilku?  Setahun, cepat sekali anak ini berubah menjadi sok tua? Sok menggurui, sok bijak bestari.

Fheeew!

“Terus, sekarang Abang mau ke mana?” buru Butet keheranan melihatnya sudah berkemas.

Raja membawa serta ranselnya, hanya berisi beberapa baju baru yang dibelikan ibunya. Siap berangkat lagi!

“Mau cari jawaban di luar sana,” sahutnya sekenanya.

“Haaa? Ngawuuur!”

 “Iya, di sini tak ada jawabannya. Malah jadi banyak pertanyaan. Mama tenang-tenang saja dengan aktivitas barunya. Pesantren budayalah, seminarlah, virus menulislah, talkshow, promosi buku, keliling Indonesia. Huuuh! Mentang-mentang sudah sehat lagi! Kok jadi asyik sendiri!” ceracaunya bersungut-sungut.

Ada kemarahan yang terganjal!

“Bagusan juga begitu kan, Bang? Yeah, daripada kita lihat Mama diopname,” cetus adiknya.

Ops, masih juga kalem?

Raja terdiam. Hmmm!

Ada benarnya juga omongan adiknya. Dipandanginya lekat-lekat wajah tomboy itu. Baru diterima di SMP, perawakan Butet bongsor, hampir sebahunya kini.

Setahun, ah, rasanya tak bisa dipercayai, begitu singkat!

Tapi sudah banyak mengubah anak kecil ini menjadi sosok ABG. Lincah, mandiri bahkan pintar petatah-petitih. Inikah hasil bolak-bolik Sanlat?

“Kenapa lihat-lihat melulu?” Butet tersipu-sipu.

“Eeeh, baru nyadar…. Sekarang kamu sudah pake jilbab, ya, Dek?”

“Hehehe…., iyalah, insya Allah akan begini terus.”

“Amiiin….” Raja mengamininya dengan takzim.

Beberapa saat tak ada yang berkata-kata. Butet mencoba memanjakan abangnya, menyuguhinya macam-macam penganan bikinan Mama. Kebiasaan Mama masih belum hilang agaknya. Setiap kali hendak bepergian, Mama selalu meninggalkan banyak penganan untuk anak-anak. Meskipun kini tinggal satu anaknya yang berada di dekatnya.

Raja baru menyadari betapa senyapnya rumah besar itu. Tante Aminah pindah ke Sumedang, dipercayai seorang pengusaha mengelola toko grosir waralaba. Om Eka sudah tetap menjadi PNS di Depag.

“Oma ke mana sih? Apa rumah ini selalu begini?”

“Oma lagi betah di Subang….”

Di Subang ada seorang adik Mama.

“Kamu tak takut sendirian?”

Butet menggeleng tegar.

Bagus, pekik hati Raja, dia mewarisi ketegaran hati Mama. Keren!

“Nah! Kenapa Abang tidak main ke Subang saja? Tante Riri suka nanyain tuh. Amin dan Isti kangen sama Abang. Kayak apa Bang Raja sekarang, kata mereka….”

Raja menggeleng hampa. Keluarga tantenya yang satu itu juga punya masalah besar. Gosipnya sudah meluas di keluarga besar ibunya. Om Didi hobi selingkuh. Tante Riri suatu kali pernah memergoki mereka berduaan di salon terselubung. Selingkuhan suaminya menyerang Tante Riri, hingga nyaris jadi urusan polisi.

Anehnya, Tante Riri selalu menutup-nutupi. Ia akan dengan mudah menerima penyesalan dan permintaan maaf suaminya, kemudian kembali melakoni hidup berkeluarga. Seakan-akan tak pernah terjadi apapun yang memercikan aib dan nista.

Apa semua perempuan di keluarga Mama punya kesetiaan luar biasa?

Dari tujuh anak perempuan Oma, menantunya hanya Om Eka yang benar-benar lelaki sejati. Lainnya error dan kacau semua!

Raja memutuskan kembali ke Jakarta. Meskipun Butet sudah berusaha keras menahannya barang beberapa hari lagi.

Tidak, hati Raja diliputi rasa kecewa yang mendalam. Situasi yang semula diangankannya selama berbulan-bulan itu; ternyata tidak terwujud. Sungguh, tak ada perubahan sama sekali kecuali kondisi ibunya. Bahkan Mama tak punya waktu lagi untuk sekadar mendengar curahan hatinya? Keras, kokoh setegar karang di lautan? Ataukah telah menjadi gunung salju? Hingga tak merasai lagi rasa pedih dalam dada?

Raja tahu rumah-rumah kontrakan milik ayahnya kini sudah diambil-alih oleh ibu tirinya. Dengan alasan demi keamananlah, demi kesinambungan kinerjalah, biar gampanglah kalau direnovasi.

Seribu satu dalih yang intinya sangat merugikan pihak Mama dan anak-anak. Hhh, ya, semuanya sudah beralih ke tangan perempuan itu.

Sikap Mama yang selalu mengalah itu, sungguh merugikan.

“Hati-hati di jalan, ya Bang,” pesan Butet dalam nada pilu.

“Yeah…” Raja mendengus, berlagak acuh tak acuh.

Padahal di lubuk hatinya menyimpan sejuta rasa. Kesal, kecewa, marah, tanda tanya, ikut terzalimi demi Mama.

Huh, pokoknya campur aduk!

(Visited 38 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: