Selepas puas menggeranyangi negeri belingkar dengan buasnya, akhirnya kumpulan hujan undur diri, digantikan oleh kerlipan bintang-bintang yang beloncatan ke tanah belingkar. Jingga bersama konco-konconya bercengkrama dibawah guyuran cahaya bintang, mereka mengupas definisi kebahagiaan melalui The Art of Happinessnya Dalai Lama.

Kebahagiaan sesungguhnya berhulu dari terbebasnya manusia dari segala belenggu penderitaan, hal yang menjadi pondasinya adalah bagaimana mengkultivasi pikiran untuk memaknai dunia dari segala silang sengkarut permasalahan dunia.

Jingga melanjutkan muntahan buku bercover budha itu “metodenya teramat sederhana, kenali pikiran yang berorientasi positif dan negatif, pikiran positif misalnya memelihara cinta kasih, kemurahan hati dan kepedulian terhadap sesama. Sebaliknya kebencian, kemarahan maupun kecemburuan adalah tabir menuju pemikiran negarif”.

Lagi-lagi Jingga melanjutkan orasinya “maka peristiwa esok pagi, raibnya ragaku dari pelupuk mata kalian. Jikalah kalian ilhami dengan kesedihan maka kalian akan dikungkung energi negatif. Namun, jika perginya aku adalah sebagai pelecut semangat bagi perbaikan kehidupan kelak, maka dengan kepala tegak kalian akan melepas perjalanan ini”.


Pagi buta Jingga sudah terjaga dari lelapnya, ditemani Ayahanda Jingga berdiri ditepi labuh menunggu mobil pick up yang membawanya ke terminal. Dilayang pandangan ke rumah tempat berteduhnya, disana ada ibunda melambai rindu. Jingga berlari ke pangkuan ibunda, sembari memeluk Jingga berbisik mesra “Ibunda terima kasih atas cinta yang besar terhadap anak mu”.

Mobil pick up berjalan dengan gontai, didekat gedung lama peninggalan Belanda, terlihat seorang gadis dengan sapu lidinya, menyeka dedaunan yang berguguran. Yah… Perempuan kuning langsat menyambut pagi, Jingga melekatkan tatapannya ke perempuan itu, dia ingin meneriakkan perpisahan namun urung dilakukan, “Hari ini bukan masanya, kelak aku pasti datang lagi membawa maaf” Jingga membathin. Jingga berpaling kehamparan sawah yang mulai menguning, tanpa diketahui perempuan kuning langsat menoleh kearahnya.

“Ayahanda, aku pamit” sembari memeluk ayahanda. Dengan memproklamirkan ketegaran, ayahanda menepuk-nepuk punggungnya. ” Baik anak ku, berjalan peliharalah kaki, berkata peliharalah lidah”.

Jingga menapaki tangga bus reot yang mulai dimakan usia, dia mendapat jatah pada kursi tengah-tengah sebelah kiri ditepi kaca. Tepat dikursi belakang sopir jingga melihat buku Kahlil Gibran tergeletak menunggu tuannya. Jingga bergumam dalam hatinya Sayap-sayap patah aku tau penggalannya.

Jingga menghenyakkan badannya ke kursi tempat duduknya, dia memandang keluar jendela, tak ada lagi sosok ayahanda terlihat. Jingga mencari, matanya berkaca namun sosok itu sepertinya telah berlalu menuju lembu-lembu di sabana gembalaan.

Bus sudah mulai berjalan, ayahanda sudah tak nampak lagi. Dibelakang gerobak penjual rokok, ayahanda bersembunyi sembari menghirup asap rokok cengkehnya dalam-dalam, dia melihat kegundahan mahkotanya, air matanya berteriak Jingga, tapi dibekap tangan ayahanda agar tak bersuara.

Kosong, pikiran Jingga hening dibawa kerasnya desiran mesin bus reot. Matanya kembali menuju kursi belakang sopir, mencari tuan si Sayap-sayap Patah. Dari belakang terlihat rambut panjang bak mayang terurai, “hhhmmm… Siapa gerangan? Setidaknya aku dapat berkawan dalam perjalanan empat hari tiga malam ini”.

Matanya tak lepas-lepas dari kursi belakang sopir, tapi tak kunjung tau siapa pemilik buku. Akhirnya Jingga hanya berbasa-basi dengan bapak tua berbadan besar disebelahnya.

“kenapa juga menghabiskan waktu disekolah jika harus berdagang juga ke Ibukota” Parau suara bapak tua menyerang Jingga, rokok nipahnya tak pernah putus dari mulutnya.

“Rencana mau berdagang apa anak muda? Apakah ada sanak saudara yang kau turut?” Bapak tua membabi buta mencecar Jingga dengan pertanyaan.

“Maaf bapak, selepas sekolah saya hanya ingin melihat-lihat ibukota, jika ada untung dikandung badan, Insya Allah saya ingin menuntut ilmu di ibukota” santun Jingga membalas bapak tua.

“Nak! Ibukota keras, lunak sedikit kau bisa terlindas. Alangkah baiknya kau belajar dikampung saja, setidaknya bapak mu tak perlu mengeluarkan banyak biaya” Jelas bapak tua menyuguh ragu.

“Ayo makan dulu, kau pasti lapar” Kata bapak tua tatkala bus sudah berhenti di perbatasan provinsi.

Jingga segera mengalih pandangan ke kursi belakang sopir, temaram terlihat seorang gadis membekap buku bacaannya berniat turun.

Dibawah pohon belimbing gadis itu melanjutkan membaca buku sembari mengudap roti tawar buatan ibu. Jingga mendatangi sembari membuka kata :
“Hidupku dalam keadaan koma, kosong seperti hidup Adam di Surga, ketika aku melihat Selma berdiri di hadapanku seperti berkas cahaya. Perempuan itu adalah Hawa hatiku yang memenuhinya dengan rahasia dan keajaiban dan membuatku paham akan makna hidup, Romantis namun tragis” Ujar Jingga mengakhiri.

” Wow… Tampaknya kau sudah menuntaskannya” Ucap gadis itu sembari menghadiahi Jingga dengan seulas senyum. Jingga lantas menjulurkan tangannya “Jingga” Ucapnya pendek.

Gadis itu membalas salam perkenalan Jingga “Shea.. lengkapnya Sheanada Maharani” balasnya dengan senyum kedua.
.
.
.
(Bersambung)

(Visited 80 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Je Osland

"Maka bermimpilah hingga gugusan antariksa terakhir dari bumi ini, setidaknya separuh dari planet ini akan terkunjungi"

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: