Pipiet Senja

#JejakCintaSevilla

Dua tahun kemudian.

Petang jatuh di jantung kota Jeddah. Udara di penghujung April terasa panas. Para peziarah tampak sedang menggenapkan hasrat belanja, berfoto-foto dan mengumpulkan berbagai hal sebagai kenangan, dan buah tangan sebelum kembali ke Tanah Air.

Pemandangan di kawasan Mesjid Terapung ini sungguh indah. Air di bawah mesjid tertimpa matahari, warnanya memerah sehingga terkenal dengan sebutan Laut Merah.

Dari tempatnya berdiri, Garsini bisa melihat hampir semua tingkah rombongan umroh keluarga besarnya. Pengantin baru Andre dan Haliza, keduanya seakan tak pernah jemu untuk meminta orang lain mengabadikan mereka. Butet menguntit terus di belakang Ucok yang baru menikah dengan Najwa, perempuan cantik keturunan Hadramaut.

”Pergilah! Kamu hanya mengganggu ketenangan kami berdua!” Ucok tak tahan lagi berlagak marah dan mengusirnya.

”Pssst, ingatlah Bang, kita masih di Jeddah!” Butet tertawa geli. ”Nanti pahala umrohmu hilang karena marah-marah.”

”Siapa yang marah-marah?” sanggah Ucok memelototinya. ”Kamu ini memang seperti tak ada kerjaan lain; mengganggu kami berdua!”

”Iiih, jangan ge-er ya! Bukan kalian saja yang kuusik. Bang Andre dan Kak Haliza juga baru kulepaskan beberapa menit yang lalu. Terus, Bibi Kelima kita yang baru merit kemarin… Alooow, Bibi Kelima! Paman Ariel! Baik-baik sajakah kalian berdua?” serunya seraya melambai-lambaikan kamera ke arah orang-orang yang diteriakinya.

Andre dan Haliza seperti merasa sedang dibicarakan. Keduanya melambai-lambai ke arah mereka bertiga. Demikian pula pasangan Rosmaya dan Ariel, seorang mutawif alumni sebuah universitas di Yaman.

”Butet, plis deh….” Ucok geleng-geleng kepala, gemas. ”Kamu ini macam anak kecil saja! Sudah jadi mahasiswi Nanyang juga…. ampunlah, aaarrrgh!

Kalau tak segera diingatkan oleh istrinya, kemungkinan sekali abang-adik itu masih akan terus berbantahan.

”Ini lagi serius bikin karya tulis tema; pasangan-pasangan yang menikah ketika umroh….” Butet masih mencoba mendekati abang dan kakak iparnya.

”Kalau tidak pergi juga, awas ya! Abang bakal batalkan acara peluncuran buku kita di NTU….”

”Walah, jangan! Maafkan lahir batin atas segala tingkah dan ucapan adikmu ini, ya? Peace, peace!” Butet sampai menyembah-nyembah, sebelum kemudian terbirit-birit, meninggalkan sejoli yang sedang bulan madu itu.

Garsini tak bisa menahan tawanya melihat kelakuan si bungsu. 

”Senja di Laut Merah selalu tampak memesona, ya?” suara bariton mendesir di sebelahnya.

Garsini menoleh dan tersenyum lembut ke arah si bariton tercinta. ”Ya, rasanya belum lama kita bersitegang di sini, pagi buta setelah dipaksa menikah. Bukankah begitu, Aa?”

Sosok tinggi atletis dengan wajah berseri-seri membalas senyumannya.

”Yang kukhawatirkan saat itu hanyalah perasaanmu, Cinta. Sungguh ketahuilah, aku tak pernah merasa terpaksa menikahimu. Sebaliknya bersyukur sekali.”

Garsini terdiam dan hanya memandanginya sepenuh sayang. Gamis yang dikenakan suaminya serba putih, dipadu dengan selendang kecil buatan Turki. Melihat penampilannya saat ini, seketika ia melayangkan pandangannya ke arah pantai. Tampaklah ayahnya menuntun seorang anak laki-laki yang sedang belajar berjalan. Baju yang dikenakan Monang, ayahnya itu, memang sama persis dengan baju suaminya. Karena dialah yang membelikannya di Madinah.

Tampak pula ibunya sedang mengajak berbincang Carmilla, seorang anak perempuan berumur lima belas tahun, tetapi perilakunya tak ubahnya Balita.

”Kelihatannya ayahku berhasil dijinakkan oleh jagoan kita, ya Aa?”

”Istilahmu itu…. dijinakkan, apa itu?”

”Kurang lebih begitulah.” Garsini tersenyum. ”Ze lebih lengket dengan Ompung daripada kita. Sementara Mama menjadikan Mila sebagai sumber inspirasi karya-karyanya belakangan ini.”

Raihan mengangguk. ”Kehadiran kedua anak itu ternyata telah mengikat tali pernikahan mereka yang nyaris putus. Mamamu sungguh pemaaf, tetap memberi kesempatan berubah kepada ayahmu.”

”Alhamdulillah…. semoga selamanya demikian.”

”Amin ya Robbal alamin.”

Beberapa saat mereka terdiam. Seketika keduanya bagaikan tersedot kembali ke masa-masa menyedihkan di awal pernikahan. Pekan-pekan pertama sampai dua bulan mereka dipaksa Carolina tinggal di Tasmania.

Raihan dan Garsini mendapat perlakuan diskriminatif, cemoohan dan penghinaan yang nyaris tak tertahankan. Terutama dari keluarga besar ibu Carolina yang menganggap bahwa putrinya adalah korban poligami. Istri yang terzalimi, sehingga harus menanggung sakit yang tak tersembuhkan.

Satu bulan selanjutnya Carolina memaksa mereka tinggal serumah di apartemen Raihan, Jakarta. Di sini pun tak ada waktu yang terlewatkan dari kezaliman Carolina terhadap Garsini.

Mulai dari melakukan pekerjaan rumah siang dan malam, diejek habis-habisan, dijambak, dipukuli sampai dilempari barang pecah-belah.

”Awas, ya! Kalau kau berani mengadu kepada siapapun, aku habisi kau!” demikian ancaman Carolina yang sering menuduhnya telah mengguna-gunai dirinya.

Tiga bulan waktu yang singkat, tetapi serasa bak tiga abad lamanya. Lebih cepat dari perkiraan dokter, Carolina menghembuskan napasnya yang terakhir. Seorang diri di kamarnya yang luas dan selalu dikuncinya dari dalam.Ia pergi selamanya, tanpa sempat meminta maaf kepada siapapun, terutama orang-orang yang telah dizaliminya.

”Kita harus mengikhlaskannya dan memaafkan semua perbuatannya terhadap kita, ya Dek?” cetus Raihan tiba-tiba, sehingga Garsini tercerabut dari lamunannya.

”Insya Allah, Aa, di hatiku tak ada dendam untuk siapapun. Tentang Mami Milla, kurasa aku malah harus bersyukur.”

”Loh malah bersyukur? Padahal, semua tahu kau begitu menderita saat dia bersama kita….”

”Pssst, jangan bicara begitu!” tukas Garsini. ”Aa harus tahu, dulu begitu banyak obsesi dan keangkuhan dalam diriku. Kepada Mama pernah kukatakan bahwa istri yang bertahan dengan suami yang suka berselingkuh; bodoh, dungu tak terampunkan!”

”Apa kata Mama Sartika?”

”Mama bilang, dalam sebuah pernikahan yang telah berjalan puluhan tahun, bukan hanya cinta dan benci yang dipersoalkan, melainkan banyak hal. Terutama kembali pada niat awalnya, demi ibadah dan ingin meraih ridha Allah Swt semata. Melalui Mami Milla aku jadi banyak belajar tentang hakikat hidup, terutama kesabaran dan keikhlasan.”

Raihan menggenggam tangan istrinya dan bertanya serius. ”Itukah yang ada di hatimu saat menerima tawaran dari dia?”

”Insya Allah demikian,” sahut Garsini tersenyum ikhlas. ”Lagipula, yakinlah, aku selalu mencintaimu sampai kapan pun. Tak pernah terlintas di benakku untuk menikah dengan pria lain kecuali dirimu.”

”Aha! Karena itulah kau jomblo sampai kita bertemu kembali!” balik Raihan menggodanya.

”Ini lebih karena Allah sayang kepadaku, kemudian mengingatkanku bahwa aku telah bersalah kepada Aa. Waktu di Jepang aku sudah menolak pinangan Aa.”

Karena tak ada reaksi dari suaminya, Garsini mencari mata lelaki itu, kemudian menatapnya lekat-lekat.

”Apakah Aa tak mau mengatakan sesuatu lagi?”

”Hmm…. Andaikan kita menikah di Jepang tentu akan lain ceritanya, ya kan Cinta?”

”Entahlah, kok jadi andaikan, andaikan si Aa ini!”

”Eh, eh, kan tadi….”Raihan berhentimerasai pergelangan tangannya dicubit. ”Sudah ,iya, sudah, tak ada yang mau kukatakan lagi.”

”Baiklah. Kalau begitu kita bergabung dengan lainnya?”

”Silakan,Cintaku!”

Petang telah beranjak mengelam meskipun cahaya keemasan belum memudar sepenuhnya. Orang-orang sebagian mulai bergerak meninggalkan Mesjid Terapung menuju kendaraan masing-masing. Namun, ada juga yang sengaja menanti saatnya Maghrib, dan akan sholat berjamaah di sini.

”Sebentar, tentu saja ada,” tukas Raihan tiba-tiba menahan langkahnya. ”Kau masih ingat saat kita mengamen di KRL Depok-Kota?”

”Bagaimana aku bisa melupakan kejadian yang nyaris membuat kita celaka itu?”

”Dan itu karena kedunguanku, eh, tepatnya aku cemburu dan marah….”

”Cemburu dan marah bisa disatukan, ya?” goda Garsini.

”Aku marah kepada preman-preman yang sudah mengataimu; cewek ceking, narkoba…. Haha!”

”Selama ini Aa tak pernah mengatakannya kepadaku.”

”Karena malu saat itu harus mengakui bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu  pada pandangan pertama.”

”Sama dong, Aa, perasan kita,” lirih Garsini dengan wajah merona.

”Alhamdulillah….”

”Semoga Allah Swt senantiasa memberkahi cinta kita, perkawinan kita, dan keluarga besar kita, ya Cintaku?”

”Amin ya Robbal alamin….”

Gema azan dari arah Mesjid Terapung menghentikan semua kenangan masa lalu mereka. Genggaman pada tangan keduanya serasa melembut sekaligus menguat.

Mereka bertatapan di bawah cahaya keemasan yang jatuh secara sempurna di kawasan itu. Jejak cinta yang dulu mereka temukan kembali di hotel Sevilla, sebelumnya telah mereka usung ke mana-mana, mengelilingi hampir separuh dunia.

Ternyata di sinilah, jejak cinta itu semakin menguat dan memintal. Sehingga takkan ada kekuatan apapun yang mampu memisahkan mereka kecuali maut dan Takdir. (Depok, 15 Dzulhijjah 1429 Hijriyah)

Selesai

Note; Novelnya bisa dipesan melalui WA 08111581956

Tebal 445 halaman

(Visited 20 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: