Pipiet Senja

#KalamKalamLangit

Anisa terduduk di meja belajarnya, membaca dengan sepenuh hati surat dari Jafar.

“Juga untuk Azizah,” surat Jafar melanjutkan.

Anisa menitikan air mata, membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan sebuah surat dari Jafar yang pernah dititipkan kepadanya oleh Said. Ia merasa berdosa tak pernah memberikan surat itu kepada Azizah.

Seketika Anisa meremas kertas surat itu. “Maafkan aku, Mas,” bisik Anisa bersender ke tembok kamarnya sambil berusaha mengatur napasnya.

Sejenak ia tampak berpikir panjang. Terbayang olehnya sebuah kenangan di masa kecil mereka. Jafar kecil termenung di atas pohon, wajahnya tampak cemberut. Anisa muncul dengan sebungkus kue koci di tangannya lalu menyodorkan kepada Jafar.

“Ini buat sang juara,” ujar Anisa kecil.

Jafar menoleh ke Anisa sejenak termenung dan melemparkan serpihan kecil piala ke Anisa.

“Sepertinya aku gak jadi mondok…” Gerutu Jafar sambil masih ngambek di atas pohon.

Anisa memungut serpihan kecil piala itu menimangnya sebentar lalu memasukkan ke sakunya.

Jafar turun dari pohon, Anisa menyodorkan bungkusan kue kocinya. Jafar tersenyum kecil dan menerima kue itu. Mereka berjalan menuju pantai.

“Kamu pasti bisa meneruskan ke pondok. Aku akan bilang orang tuaku,” kata Anisa menghibur Jafar sambil menepuk-nepuk kepalanya.

Anisa seperti terhenyak membayangkan masa kecilnya bersama Jafar. Ia berdiri dan keluar dari kamarnya dengan membawa surat Jafar untuk Azizah.

Jafar menyeberang jalan, tampak Kodir, seorang lelaki setengah baya dan berperawakan sedang menunggunya sambil tersenyum. Jafar langsung memeluk mencium tangan pria itu.

“Assalamu’alaikum, Paman.”

Kodir, Paman Jafar memeluknya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak menyangka Jafar sudah tumbuh dewasa.

“Apa kabar, Far? Bagaimana Lombok? Sudah tidak seperti dulu waktu kamu masih di sini kan?” tanyanya ramah.

Jafar tersenyum, mengangguk mengiyakan pendapat pamannya. Jafar pernah tinggal di Lombok sejak kecil sampai usia 9 tahun. Sebelum keluarga mereka akhirnya pindah ke Cirebon. Dengan perbedaan usia yang tidak terlalu jauh, Kodir praktis menjadi paman sekaligus teman bermainnya sewaktu kecil.

“Kalau Paman bagaimana? Sudah ada yang berubah?”

Kodir mengernyitkan keningnya seperti tak mengerti maksud Jafar dengan pertanyaannya.

“Ya sudah ada calon istri, belum? Hehehe,” kata Jafar menggoda pamannya.

Kodir tertawa kecil, lalu mengajak Jafar untuk berjalan menyusuri jalanan menuju sebuah tempat parkir.

“Ooh calon banyaaaaak…” Kodir membusungkan dada.

“Terus?”

“Ya itu calon banyak, tapi yang mau sama saya belum ada, hahaha.”

Jafar tertawa mendengar kelakar pamannya.

“Lah kamu sendiri bagaimana? Sudah ganteng begini, calon Ustaz. Sudah punya calonkah? Atau jangan-jangan, kamu pulang ke Lombok untuk meminta kesediaanku melamarkan calonmu?” balik tanya Kodir.

Kini giliran Jafar yang tertawa lebar sambil menggelengkan kepalanya. Kodir membukakan pintu mobil truk bertuliskan jasa pengiriman Pandu Logistics.

Ia kemudian menyilakan Jafar masuk dan menutup pintunya. Mata Jafar seperti menerawang jauh.

Anisa mendatangi rumah Kyai Khumaedi, melangkah cepat menuju halaman rumahnya. Tampak Kyai Khumaedi, Ummi Aminah dan Azizah duduk di teras bersama Syatori, Ustaz Salman dan Kyai Soleh.

Sejenak Anisa ragu untuk memanggil Azizah karena sepertinya mereka sedang berbicara serius. Anisa kemudian berbalik lagi tapi langkahnya terhenti ketika Ummi Aminah memanggilnya.

“Anisa! Kebetulan, mari ikut ke sini,” ajak Ummi Aminah.

Anisa berbalik menoleh ke Ummi Aminah dan tersenyum, ia lalu berjalan menghampiri Ummi Aminah dan duduk di sebelahnya. Sementara Azizah tampak tertunduk pasrah.

“Temanmu ini, Azizah, sudah dilamar oleh Ustaz Syatori,” kata Ummi Aminah dengan bangga.

Anisa terbelalak kaget, menatap wajah Azizah yang balas tersenyum sendu. Gadis itu menunduk pasrah, tampak ada ketidaksukaan mengorak di wajahnya yang cantik.

Ustaz Syatori tersenyum penuh kemenangan. Kyai Soleh dan Ustaz Salman hanya mengangguk-anggukan kepala. Sementara Kyai Khumaedi hanya terdiam di tempat duduknya.

“Tentunya sudah menjadi peraturan agama, untuk pantang menolak lamaran yang datang dari pria baik-baik untuk anaknya,” sambung Ummi Aminah sambil melirik ke arah suaminya, Kyai Khumaedi.

Kyai Khumaedi hanya bisa tertunduk pasrah diingatkan oleh istrinya tentang hadits tersebut. “Nanti kamu bantu Ummi memasak di dapur. Buat syukuran,” ujar Ummi Aminah lagi.

Anisa mengangguk hormat pada Ummi Aminah, tangannya yang memegang surat dari Jafar dengan sembunyi-sembunyi diselipkan ke tangan Azizah.

Ia melirik Azizah dan memberi isyarat dengan matanya. Azizah mengernyitkan kening, tapi cepat menggenggam surat itu.

Tiba-tiba Anisa menarik tangan Azizah untuk pergi dari ruangan itu. Azizah sedikit menolak tapi Anisa memaksanya. Mereka berdua berdiri dan keluar dari ruangan itu. Bahkan Anisa dan Azizah lupa untuk pamitan terlebih dahulu. Semua yang hadir agak kaget, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Ummi Aminah mencoba menetralkan suasana. “Ah, biasa itu anak gadis, pasti sedikit canggung. Namanya saja baru dilamar calon qori kondang. Mari diminum tehnya,” ucap Ummi Aminah.

Semua yang hadir tersenyum mengiyakan dan minum teh bersama. Hanya Kyai Khumaedi yang masih terdiam. Benaknya masih menyayangkan informasi terakhir yang ia terima dari MurTazo tentang kepergian Jafar ke Lombok.

Bahkan kata-kata Jafar yang sepertinya tidak berniat untuk kembali ke pondok pesantren, sedikit banyak mengecewakan Kyai Khumaedi. Berapa banyak orang yang mengalami kehilangan yang sama? Dengan kondisi yang jauh lebih susah dari Jafar? Apakah Kyai Khumaedi kali ini salah menilai karakter orang? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di benak Kyai Khumaedi.

Anisah berlari bersama Azizah, lalu berhenti di pematang sawah di dekat dangau yang biasa digunakan anak-anak pondok untuk memancing ikan.

“Nisa, ada apa sih?” tanya Azizah akhirnya sambil melepaskan tangan.

“Kamu terima lamaran Ustaz Syatori? Kamu tega dengan Kang Jafar?” Tuntut Anisa.

Azizah makin tak mengerti maksud sahabatnya itu.

“Kang Jafar?” tanyanya bingung.

“Kang Jafar itu menyukaimu dari dulu. Dia itu lebih mencintaimu daripada….” Anisa berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan lirih, ”Mencintaiku….”

“Tapi aku….” Azizah bimbang.

“Sekarang Kang Jafar pergi, Zah. Cuma kamu yang bisa membuat dia kembali ke pondok,” kata Anisa sambil meletakkan surat dari Jafar untuk mereka berdua.

Anisa meninggalkan Azizah yang berdiri termenung di tengah pematang dengan dua surat di tangannya. Ia duduk di dangau dan membaca kedua surat.

Tak berapa lama, Azizah menangis tersedu-sedu sambil menggenggam erat kedua surat itu di dadanya.

(Visited 10 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: