Pipiet Senja
#3Jam3,5Milyar
#MemoarGeriBusye
#KisahFatastisAnakJambi
Tirai malam turun dibarengi hujan lebat sekali, bagaikan semesta pilu para malaikat demi menyaksikan nestapa anak-anak manusia. Hawa serasa dingin menggigit hingga ke tulang sumsum.
Nun di sebuah rumah panggung khas Kerinci, tampaklah Bara bersaudara berkumpul. Mereka mengerumuni Mamak yang belum lama digotong orang pulang ke rumah. Ada yang memijiti kakinya, memberikan secangkir teh hangat. Raut wajah mereka menyimpan dukalara yang teramat sangat.
Semua anak, sepuluh orang berkumpul malam ini. Mereka memenuhi permintaan Mamak yang menginginkannya demikian.
“Bagaimana rasanya, Mamak, sudah enakan?” suara Ety, si sulung memecah keheningan.
“Iya, Mamak sehat, tidak apa-apa, hanya lelah saja,” kata Mamak seraya bangkit, duduk dengan punggungnya disangga segera oleh Ety.
”Nak, ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Mamak.”
Anak-anak terdiam, mencoba menyimak dengan seksama sebelum Mamak melanjutkannya.
“Sementara waktu kita harus bercerai berai dulu…”
Blaaaar!
Bagi Bara kalimat Mamak serasa bagaikan petir, tak ubahnya dengan bunyi yang menggelegar di langit sana. Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak menyela.
“Meta, Netta dan Zety ikutlah dengan Ety di Lumpur, kalian harus tetap sekolah. Tinggallah bersama kakak kalian, pandai-pandailah membawa diri…”
“Ezy, Mamak titipkan kepada Tante Inun di Batam…”
“Sementara Zola, Edi dan Bara lanjutkan usaha mebel Bapak. Walaupun tidak ada yang percaya kita, biarlah tetap tawakal dan bersabar. Mamak yakin, Allah Swt tidak akan pernah berhenti memberi rezeki kepada kita semua. Insya Allah!”
Bara terdiam dengan bibir terasa membeku. Diliriknya saudara-saudaranya yang berjumlah sembilan. Tidak ada yang tak menangis, semua wajah bersimbah air mata.
“Ya Tuhan,” desahnya dalam hati. “Aku pun tak tahan lagi, kepingin menangis dan menjerit sejadi-jadinya.”
Bara berusaha sekuat daya untuk menyembunyikan dukalaranya, meskipun tetap saja merembes dari sudut-sudut matanya. Tidak demikian dengan Mamak. Perempuan perkasa yang sangat disayanginya ini tampak begitu tegar.
“Mama hendak pergi dari rumah ini….”
“Mengapa, Mamak, mengapa harus pergi?” tanya Bara tak tahan lagi menyuarakan ketaksetujuannya.
“Iya, jangan takutlah, Mamak. Kita tidak bersalah,” sambung Zola.
”Bukan masalah takut atau salah. Inilah satu-satunya jalan yang terbaik untuk kita. Besok pagi-pagi sekali Mamak berangkat ke ladang Nenek di Kayu Aro. Jangan takut kelaparan, insya Allah seminggu sekali Mamak kirimkan sayuran, kentang, cabe, beras dan apa sajalah. Mamak mau kerja di ladang. Uni kalian mungin bisa tetap bantu jatah beras dan menyisihkan gajinya. Iya kan Ety?”
“Insya Allah, Mak,” sahut Ety sambil mengusap-usap tangan Mamak.
Zeta, Zety, Meta dan Ezy seketika memeluk Mamak. Mereka menangis, meratap dengan pedih sekali.
”Berhentilah menangis,” sergah Mamak terdengar galak dan tegas sekali. “Kali ini Mamak memaafkan kalian, tapi dengarlah! Mamak tidak rela lihat kalian menangisi kepahitan hidup. Masalah itu untuk dihadapi, bukan untuk ditangisi. Janji ya, anak-anak, janji.”
Ety mengisyaratkan adik-adiknya agar berhenti menangis. Seketika semua anak terdiam, bungkam dan kelu.
“Iya, Mak, iya kami janji.” Ety mewakili adik-adiknya.
“Bersyukurlah, kita masih bisa bernapas dan sehat wal afiat. Mari, kita jadikan kesulitan ini sebagai ujian dari Allah. Semoga ada hikmahnya, menjadikan kita tangguh menghadapi hidup.”
“Iya, Mamak, kami janji,” akhirnya semuanya menyahut dengan kompak.
Pertemuan bubar dengan sendirinya, masing-masing kemudian mencari sudut untuk merehatkan diri. Ketika semua telah tertidur lelap, Bara masih tak bisa memicingkan mata. Ada satu perasaan yang sangat melukai jauh di lubuk hatinya yang terdalam.
Sejak saat itulah di rumah hanya tinggal Bara, Zola dan Edi. Acapkali Bara memikirkan adiknya yang paling lemah, Ezy. Membayangkan Ezy tinggal di rumah Tante Inun di Batam, hatinya terasa sakit sekali.
Dua kakak perempuan, Meta dan Netta bertahan kuliah dengan biaya sendiri. Belakangan Netta kurang sanggup menanggung beban, kuliahnya sempat mandek dan mengalami depresi.
Bara hanya bisa berusaha untuk bertahan, cari makan setidaknya tidak merepotkan Mamak dan kakaknya. Apabila sedang seorang diri di rumah, hujan turun lebat, Bara seketika merasa dunia bagaikan runtuh.
Namun, ia segera tersadarkan kembali dengan bayangan ibunya tercinta. Mamak di tengah ladang sana, tetap berjuang keras, melakukan segalanya dengan sabar, ikhlas dan tawakal padahal hasilnya tak ia nikmati sendiri.
Ya, Mamak, sosok perkasa yang rela melakukan apapun demi anak-anaknya.
Pagi itu sosok perkasa sudah meninggalkan rumah menuju ladang di Kayu Aro. Hatinya telah membaja, takkan membiarkan anak-anak kelaparan. Mereka harus cukup makan, harus tetap sekolah demi masa depan yang lebih baik.
@@@