Pipiet Senja

#JalanPanjangMenujuPulang

Anno, November 2015.

Pesawat KLM yang membawa Fatin dan anaknya dari Bandara Schiphol akhirnya mendarat di Bandara Sukarno-Hatta.

“Setelah sepuluh tahun, akhirnya!” gumam Fatin sesaat mengucap hamdalah, dibukanya sabuk pengamannya, melirik anaknya yang duduk di sebelahnya.

“Sudah sampai Jakarta, ya Mama?” tanya anak laki-laki yang kini berumur 12 tahun, suaranya mulai berubah dari suara kanak-kanak.

“Mama baru menyadari suaramu berbeda,” gumam Fatin, menunduk dan mencium sekilas pipi Ridho.

“Ah, Mama, lupa,” elak Ridho, balas mencium pipi ibunya sekilas. “Enak, harum, kalau dicium Mama. Hehe!”

“Husy!”

Fatin merasa kedekatannya dengan putranya adalah nikmat tersendiri. Teman-teman di pengajian pun sering memujinya. Mereka bilang, semakin langka anak laki-laki yang bisa dekat sekali dengan ibunya.

Sebaliknya ia dengan Ridho tak pernah berubah sejak kanak-kanak, bahkan semakin dekat dan lebih mudah untuk saling curah hati. Ia menganggapya bukan sekadar anak, melainkan juga sebagai teman berbincang, teman diskusi, sahabat yang dari pemikirannya bisa diperoleh pelajaran serta hikmah.

Mereka baru menginjakkan kaki kembali di bumi Pertiwi, ketika tiba-tiba dilihatnya gerakan spontan anaknya. “Heeei, apa yang kamu lakukan?” tanya Fatin.

Ridho yang tingginya sudah melebihi tinggi ibunya itu tak menggubris pertanyaan petugas Bandara. Ia tetap berjongkok, kemudian bersujud beberapa saat lamanya mencium bumi yang dipijaknya.

“Aku mengerti, terima kasih diingatkan, Nak.” Fatin pun mengikuti jejak anaknya di sebelahnya.

Maka, lihatlah!

Untuk beberapa saat ada pemandangan yang dianggap aneh-nyeleneh oleh penumpang bule. Ibu dan anak mencium tanah dekat pesawat KLM mendarat di Bandara Sukarno-Hatta.

“Kalian ini ibu dan anak yang aneh,” komentar seorang penumpang bule, mengejek mereka.

Fatin dan Ridho sedang antri di Imigrasi, ketika terjadi keributan di bagian depan mereka.

“Orang berjenggot itu mencurigakan!”

“Dari mana dia?”

“Katanya dari Syria.”

“Jangan-jangan teroris!”

Ridho menatap ibunya, bertanya-tanya dan mulai cemas. “Mama, ada apa?”

Fatin menggeleng dan sama merasa mulai cemas. Dari pemberitaan di media sosial, belum lama ini telah terjadi insiden penembakan di Paris dan sekitarnya. Semua seketika menuding bahwa itu dilakukan oleh ISIS, identik dengan Islam. Namun, kemudian segera diketahui bahwa para pelaku kecuali seorang, selebihnya ternyata warganegara Perancis.

Sekilas Fatin bisa melihat seorang lelaki bererawakan tinggi kurus, mengenakan gamis putih gombrang dengan celana cingkrang. Sekilas ia pun bisa melihat wajahnya, hanya sekilas, tetapi baginya hal itu sudah lebh dari cukup. Meskipun kini dengan jenggotnya, tetap saja, sepasang matanya, hidungnya dan keningnya, sosok itu takkan pernah terlupakan seumur hidupnya. Frankie!

“Mama, hei,  hei! Mama apa sakit?” Ridho kini jadi mencemaskan ibunya yang tampak terhuyung limbung seperti mau pingsan.

Ia segera menyangga tubuh ibunya kuat-kuat, kemudian mengajaknya keluar dari antrian, duduk rehat di selasar menjauh dari loket Imigrasi. Beberapa saat lamanya tak ada yang bicara. Ridho bisa merasakan benar, bagaimana aura cemas dan takut itu begitu melembayang di mata ibunya.

“Apa Mama lihat sesuatu yang menakutkan?” bisiknya seraya menggenggam tangan ibunya erat-erat.

Fatin tak bisa membohonginya. Ridho merupakan saksi sekaligus korban peristiwa mengerikan sepuluh tahun silam. Ia harus jujur dan tak boleh ada sesuatu pun yang disembunyikannya.

“Dia itu, dia itu….” Fatin mendadak seperti orang linglung, telunjuknya mengarah keluar Imigrasi, ke arah sosok yang kini digiring oleh dua petugas

“Orang jahat itukah?” Ridho pun seketika gemetar.

Ia masih berumur dua tahunan ketika peristiwa itu terjadi. Traumatis jiwanya telah dinyatakan sembuh oleh Marian, psikolog cantik yang belakangan dikabarkan bergabung dengan organisasi kemanusiaan internasional.

“Aku tidak ingat apa-apa, tetapi cerita Mama….” Ridho menelan ludahnya yang terasa kesat. Ia pernah menguping ibunya bercerita tentang masa-masa mengerikan itu kepada Oma Lience Hartland.

“Bukan, bukan dia. Mama hanya berhalusinasi,” seketika Fatin menyadari wajah anaknya begitu pucat pasi.

Rasa takut yang sempat menghajar telak kisi-kisi batinnya dalam sekejap sirna, tersilih oleh rasa cemas akan keselamatan anak. Sekejap itu pula hasrat melindungi, naluri keibuannya bergemuruh, bangkit dan harus melawan!

“Ayo, Nak, semuanya akan baik-baik saja,” ajaknya seraya bangkit, mengulurkan tangan, agar mereka bisa bergandengan dan melanjutkan perjalanan.

Tak ada kendala apapun di Imigrasi, selain sebuah pertanyaan dari petugas ber-tagname Suyono. “Tidak pernah pulang selama sepuluh tahun, ya Bu?”

“Iya, Pak, maklum sibuk membesarkan anak.”

Jawabannya sudah dianggap memadai agaknya. Mereka dipersilakan melanjutkan perjalanan.

Fatin baru saja hendak menghubungi Aish yang telah menikah dan diboyong suaminya ke Banten, ketika matanya kembali bersirobok dengan sosok itu. Kali ini ia yakin dengan daya penglihatannya.

Dia memang Frankie, desisnya seketika gemetar. Meskipun sudah berubah penampilannya, sosok itu tetap dikenalnya, tetap terpatri lekat-lekat di benaknya. Sosok itu sedang menunggu kopernya di bagasi.

“Jangan ke sana, tetaplah di sini, Nak,” pinta Fatin seraya menahan tangan anaknya, agar tidak melanjutkan langkahnya menuju tempat pengambilan barang.

“Kita mau ambil koper kan, Ma?” Ridho menatapnya terheran-heran.

“Iya, nanti saja,” tukas Fatin seraya menghela tangan anaknya menuju rumah makan. “Ada baiknya kita makan dulu.”

“Tetapi, Ma….” Ridho tidak melanjutkan saat menyadari telapak tangan ibunya dalam genggamannya terasa dingin sekali. Bahkan kemudian ada getar-getar mencurigakan yang membuat hatinya sendiri mendadak cemas.

Ridho menatap wajah ibunya dari samping. Wajah yang senantiasa cantik dan tangguh di matanya itu terkesan tegang, menahan sejuta rasa yang berujung pada satu titik; ketakutan dari masa silam!

Melalui proses terapi yang pernah dijalaninya, Ridho telah kehilangan sebagian besar memori masa-masa yang penuh dengan kekejaman itu. Namun, tanpa disadari Fatin kadang masih menyinggungnya, curhatan kepada Oma Roselin dan Oma Lience, meskipun hanya sekilas pintas.

Ridho sempat mengupingnya, bukan sekali, melainkan beberapa kali. Sehingga adakalanya dari bawah sadarnya muncul bayangan-bayangan menakutkan, merasuki dunia mimpinya.

“Mama mau pesan apa?” Ridho menyentuh tangan ibunya yang masih menatap nanar ke sekelilingnya. Seolah takut ada yang tiba-tiba menyerang mereka.

“Makanlah, Nak, ayo pilih saja,” gumam ibunya mengambang.

Ridho meraih tangan ibunya, menariknya ke dadanya dan menggenggamnya kuat-kuat.

“Mama, jangan takut, ya Ma. Lihatlah, kita masih bersama. Kita pasti kuat, pasti tangguh kalau bersama. Itu kan kata Mama sejak aku kecil dulu,” katanya dalam nada menyemangati.

Mendengar perkataan anaknya seketika perempuan cantik itu tersenyum. Dibalasnya gengaman tangan anaknya kuat-kuat, lebih kuat lagi. Sepasang mata bening, bulatan hitam yang jernih seakan ingin menguar seluruh semangat yang dimilikinya.

“Iya, Anakku, kamu benar. Selama bersama niscaya kita menjadi kuat, tangguh,” ujarnya terdengar kembali bersemangat, penuh percaya diri. “Ayo, kita makan dulu santapan khas Sunda ini. Setelah itu kita melanjutkan perjalanan menuju kampung Mama di Cianjur.”

“Bukankah ada yang akan jemput kita, Ma?”

Fatin menggeleng. “Iya, sebelumnya Mama mau minta tolong Tante Aish. Tetapi Mama baru ingat, dia mengatakan sedang hamil muda. Kuatir malah merepotkannya, sebaiknya kita urus sendiri. Bukankah begitu, Nak?”

Ridho mengangguk, menyetujui keputusan ibunya yang dianggapnya masuk akal. Ia dididik dengan baik oleh ibunya mengenai etika, moral dan spriritual, ditambah bimbingan dari para aktivis komunitas Muslim. Ia sudah paham posisinya bersama ibunya di keluarga besar Hartland. Mereka berdua, ibu dan anak, harus tangguh dalam menghadapi berbagai kendala di Negeri Kincir Angin.

Rasanya ia dan ibunya telah membuktikannya!

“Mama sudah berusaha keras untuk berdamai dengan masa lalu, Nak,” kata ibunya suatu saat.

Fatin menganggapnya bukan sekadar anak melainkan juga seperti layaknya sahabat, seorang teman berbincang. Sehingga mereka bisa saling mencurahkan uneg-uneg tentang berbagai hal. Ridho memang tampak lebih dewasa dan bijak dalam pemikiran dan tindakan, jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya.

“Bagaimana caranya, Mama?” kejar Ridho penasaran.

“Menerima segala peristiwa masa lalu sebagai suatu pelajaran, lupakan sisi buruknya. Ambil hikmahnya, semua sisi positifnya saja.”

“Apa hikmahnya, Ma?”

“Hikmahnya kita punya keluarga Hartland yang begitu baik.”

“Punya keluarga di Belanda, tetapi keluarga di Indonesia tidak pernah jumpa,” keluh Ridho ketika itu.

“Baiklah, sekarang kita akan jumpa keluarga di Indonesia,” suara Fatin membuyarkan lamunan remaja putra itu.

Oya, hikmah luka masa lalu itu!

“Apa sisi positifnya, Mama?” kejar Ridho hingga kini masih belum paham.

Fatin selesai makan, kemudian bangkit menuju kasir diikuti oleh Ridho.

“Saatnya kita menghadapi kenyataan….”

“Bertemu dengan keluarga Mama!” tukas Ridho, menggandeng ibunya keluar pintu kedatangan.

“Jangan takut siapapun lagi, janji”

“Insya Allah, janji!”

“Kita hanya takut kepada Allah Swt.”

“Iya, tentu saja.”

“Kita bersandar hanya kepada Allah Swt semata,” tegas Fatin yang segera diiyakan oleh Ridho.

@@@

(Visited 30 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: