Pipiet Senja

Memoar pertamaku diberi judul Sepotong Hati di Sudut Kamar. Isinya tak ubahnya seperti catatan harian anak baru gede saja. Maklum, aku menulisnya sejak berusia 17 tahun. Kebanyakan aku kutip dari catatan harian saat aku berada di rumah sakit.

Empat tahun kemudian aku menjual hak terbitnya kepada PT Sinar Kasih. Terus terang saja karena terdorong oleh kebutuhan. Yah, buat apalagi kalau bukan untuk biaya pengobatanku.

Ini ada kisahnya pula. Suatu saat aku berada di sebuah pesantren di kawasan Banten. Aku dalam suasana hati yang sangat damai.

Beberapa bulan sebelumnya, dokter menyatakan kemungkinan sekali harapan hidupku tipis. Penyakit abadiku secara perlahan menggerogoti tubuhku. Transfusi darah yang aku harus jalani secara berkala, ternyata menimbulkan dampak.

Aku pun terkena hepatitis, limpaku membengkak, asma bronchiale dan jantung bermasalah. Selama dua puluh satu hari aku sempat berada di ruangan isolasi. Dulu belum ada ruangan ICU. Antara sadar dan tidak sadar. Hanya kuasa Allah jualah yang telah menarik “pulang” roh si sulung ini ke pangkuan keluarganya, sehingga aku dapat keluar dari situasi in-coma.

Saat merasa mulai membaik, aku memutuskan untuk tinggal di pesantren, milik guru ayahku di Rangkasbitung, Banten. Di rumah sederhana di perkampungan para santri dan santriwati itulah, aku pun menemukan rasa damai dan tenteram yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Sambil mempelajari keislaman secara “baik dan benar”, aku pun lebih giat lagi beribadah, menikmati siraman-siraman rohani dari Nyai Ustazah dan Kyai Ashari. Aku merasa telah menemukan “sesuatu” itu. Berkah dan hidayah-Nya. Alangkah nikmatnya. Subhanallah!

Sampai berpikir, tak ada lagi yang aku inginkan selain rasa damai ini selamanya. Aku sangat menyukai menetap di tempat ini. Tak ingin pergi ke mana-mana lagi untuk selamanya. Jiwaku dan imanku seolah sudah terpaku erat di tempat ini.

Upsss, kenyataan berbicara lain. Kita yang berencana, tetapi Sang Pencipta yang menggariskan takdir kita. Kehidupan terus berlanjut, life must go on!

Agaknya Allah Swt mengabulkan doa panjang kedua orangtua dan enam saudaraku. Aku pun kiranya harus kembali ke tengah-tengah keluarga di Cimahi.

Kepada mereka yang menyayangiku yang telah aku tinggalkan selama beberapa bulan itu.

Petang itu hari minggu akhir tahun 1979, Mak datang berkunjung. Sudah sebulan Mak tidak menengok. Karena sibuk dengan adik-adikku yang masihurusaneunalias butuh perhatian penuh untuk diurus.

Sekali ini Mak bukan sekedar berkunjung seperti biasanya. Aku bisa menangkap kegalauan di matanya yang lembut dan selalu bening.

Di wajahnya yang terang dan lugu. Sehingga Mak tak pernah mampu menyembunyikan sesuatu rahasia apa pun dariku. Wajahnya bak cermin yang menampilkan apa adanya.

“Ada apa, Mak?
“Ah, Mak gak ada apa-apa, Nak,” elaknya.
“Sudahlah, terus terang sajalah, Mak,” desakku.

Aku menyentuh kedua tangannya, menggenggam jari-jarinya yang kasar karena sering bekerja keras. Inilah jari-jari dan telapak tangan yang selalu menadah ke hadirat Ilahi Rabbi, demi mendoakan kesembuhanku, demikian aku berpikir dengan hati galau.

Harapan dan doanya itu telah terkabulkan. Nyatanya aku merasa segar dan bugar. Sehat wal afiat, alhamdulillah…

“Teteh, sebenarnya kita ini banyak utang,” kesahnya nyaris tak terdengar.

Semua masalah, semua beban yang selama itu telah menggayuti hatinya, akhirnya tumpah ruah jua. Ada tetes-tetes bening yang menuruni wajahnya yang bersahaja.

“Iya, Teteh paham. Sudahlah Mak, tenangkan hati Mak, ya,” aku membujuk dan menenangkannya.

Dia mengais matanya yang baru aku sadari tampak sembab. Tentu akibat kurang tidur. Ya, bisa dimaklumi. Bagaimana kita bisa hidup tenang kalau dikejar-kejar rentenir? Utang itu memang nyaris melilit leher!

“Semuanya bekas biaya pengobatanmu tempo hari. Gaji Bapak kan tak seberapa, Teteh …” Terasa bagai ada yang menikam ulu hatiku.

Tertunduk aku menahan rasa yang mengharu biru. Tak berani menatap wajahnya lagi. Walau aku percaya, bukan maksudnya untuk membebani hatiku.

“Bapak tahu?”
“Ya….”
“Bagaimana dengan En dan suaminya? Apa mereka tak bisa bantu?”
“Sudah terlalu banyak kita dibantu adikmu itu. Lagian dia sibuk berobat, kepingin punya anak ….”

Aku menunduk menatap lantai tempat biasa aku bersimpuh dan mengetik malam-malam.

“Rasanya Mak kepingin mati saja kalau terus-terusan diteror rentenir begini!” cetus Mak mengejutkan.

“Astaghfirullah hal adziiim!” aku mengusap wajah dan beristigfar berulang-ulang.

Air mata Mak semakin menganak sungai. Bingung, malu, takut dan sejuta rasa yang mencekam kalbunya. Hancur hatiku melihatnya. Itulah untuk pertama kalinya aku melihat perempuan yang selalu tabah tampak sangat mengenaskan, setelah dulu menjadi pasien bangsal 13.

“Insya Allah, Mak… Teteh mau bantu!”
Mak menyusut air matanya dengan jari-jarinya yang tampak gemetar. Dipandanginya sesaat wajahku. Mungkin dalam pikirannya, apa yang bisa di lakukan si Teteh? Punya keajaiban apalagi?

Setahun sebelumnya pernah mendapatkan honorarium seratus ribu dari novel perdananya, dan dua ratus lima puluh ribu dari Kartini Group.

“Apa yang akan kamu lakukan, Teteh?” tanyanya penasaran.

Entah dari mana datangnya gagasan sinting itu saat bibirku berucap; “Nanti aku akan menjual naskah ke penerbit.”

Malam itu Mak menginap di kobong atau kamar santri bersamaku. Sementara aku segera sibuk merapikan bundelan naskah yang selalu aku simpan di antara tumpukan pakaian di tas. Bundelan naskah itu berupa catatan harian yang belum sempat dimasukkan ke buku harian.

Aku kemudian mengetiknya. Sepanjang malam itu, diselang shalat tahajud, aku terus mengetik, mengetik, dan mengetik nyarus tanpa henti. Ada beberapa kali Mak terbangun, mengingatkan aku agar istirahat. Namun, kemudian Mak ikut bergabung bersamaku.

Menjelang dinihari kami pun shalat tahajud bersama. Memohon langsung kepada Sang Pemurah, agar kami diberi jalan keluar dan kemudahan untuk mendapatkan rezeki yang halal. Aku mengaminkan setiap doa yang diserukan ibuku pada dinihari yang hening kali ini.

Oya, saat itu bulan Ramadhan. Jadi berbagai kegiatan rohani di kawasan pesantren sedang berlangsung. Kalau tak salah itu minggu pertama.

Setelah makan sahur biasanya kami melanjutkannya untuk tadarusan. Sekali itu aku tak dapat mengikutinya. Setelah shalat subuh berjamaah bersama keluarga Kyai Ashari, aku pamitan ke Jakarta.

Mak mengantarku sampai stasiun Rangkasbitung. Tak henti-hentinya Mak mengingatkan aku. Agar jangan terlalu menguras energi.

“Kalau tak dapat uang, sudahlah, pokoknya jangan bikin kamu sakit,” katanya.

Aku naik kereta langsam dari stasiun Rangkasbitung menuju Kota. Meskipun kereta pertama tetaplah penuh sesak. Para penumpang dicampur dengan bakul ikan pindang. Kaleng kerupuk, duren dan pete. Baunya itu lho… waduuuh, luar biasa, puuuu-siiiing!

Aku berzikir sepanjang jalan. Walau hati tetap kebat-kebit. Bagaimana caranya menjajakan naskah yang belum jadi ini? Ya, tentu saja belum jadi.Lha wongbaru ditik tadi malam. Hasil begadang sepanjang malam itu berupa tematik dan prolog. Sembilan halaman kertas ukuran folio. Tak kurang tak lebih!

Setibanya di stasiun Kota, aku masih deg-deg-plas. Ke mana sebaiknya bakal buku ini dijajakan? Namun, aku tetap punya keyakinan akan kemurahan-Nya. Di sini aku menyempatkan dulu shalat dhuha dua rakaat.

Agak lama aku tepekur dan berdoa panjang. Saat keluar dari mushola, ide itu muncul begitu saja. Aku teringat seorang rekan sesama pengarang, lebih senior daripada aku. Kami suka berkorespondensi.

Dia pernah bilang, di tempatnya bekerja sedang dibuka produk penerbitan buku. Macam-macam buku, ilmiah, fiksi, sastra dan sebagainya. Bebekal keyakinan akan kemurahan Allah Swt, ditambah mental badak barangkali… Akhirnya ke sanalah langkahku diayunkan!

Ternyata rekan yang kumaksud itu sudah tak bekerja di Sinar Harapan. Ya Allah,
lantas mesti bertemu dengan siapa di tempat asing begini? Selagi aku berpikir-pikir di ruang tunggu itulah, tiba-tiba ada yang menghampiri. Dia seorang wartawati senior, menyapa aku dengan sikapnya yang santun dan penuh atensi. Berkat sang wartawati inilah akhirnya aku bisa dipertemukan dengan Aristides Katoppo, manager penerbitan.

Aku masih ingat sekali. Di ruangan full AC di lantai lima, Aristides sedang ada pertemuan dengan para pengarang senior; Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jatman. Agaknya mereka sedang membicarakan penerbitan buku.

“Hai… apa kabarmu Pipiet Senja? Mana Pipiet Malam-nya?” tanya Bang Tardji bercanda. Syukurlah, dia masih mengingat diriku.

“Ehh… tak dibawalah tuh, Bang, repot!” sahutku mencoba meningkahi gurauannya.

Langsung saja aku serahkan sembilan halaman berklip dalam map kepada Aristides. Untuk beberapa saat aku mencoba mempresentasikan buku yang bakal kugarap.

Aku sungguh mencoba mengetuk hati mereka, walaupun dengan menahan rasa malu tak terhingga. Aku paparkan juga sekilas tentang kesulitanku, terutama tentang utang bekas biaya pengobatanku.

“Waaah…, baru kubaca sekilas pun, aku sudah terkesan sekali. Ini sangat menarik. Baiklah, aku akan membantu Anda,” sambut Aristides Katoppo. “Kira-kira berapa yang Anda butuhkan saat ini?”

“Dua ratus lima puluh ribu,” sahutku teringat lagi utang “Oke, tak masalah. Kami berikan uang itu hari ini juga. Sisanya setelah selesai bukunya. Bagaimana?”

Aku hanya bisa mengangguk, takjub. Semudah inikah? Apa aku lagi mimpi, ya? Kucubit perlahan tanganku, aduuuh… saaakiiit!

Ini memang nyata, pekikku dalam hati. “Maaaak… kita berhasil, Mak! Doa Mak memang makbul!” jeritku pula riuh di dalam hati.

Dengan berbekal secarik rekomendasi dari Pak Aristides Katoppo, aku mencairkannya di bagian keuangan, langsung menandatangani kontrak. Serasa mimpi saja, saat Mas Bondan menjelaskan jumlah honorarium yang berhak aku terima; satu juta rupiah!

Giliran ditanya oleh Mas Oyik; “Mbak Pipiet, kapan kira-kira selesai bukunya?”

Aku nekad menyanggupinya dalam tempo sebulan. Belakangan aku sungguh menyesali kenekadanku ini. Soalnya, menulis dengan cara dikejar-kejar waktu begitu, wuuuiiih… Puyeeeng, Mak!

Saat keluar melalui lift dengan 250 ribu di tas, tak bisa aku lukiskan bagaimana mengharu birunya hati ini. Aku berlari mencari suatu sudut agar bisa bersujud syukur.

“Alhamdulillah, ya Robb… Engkau sungguh sayang kepada hamba-Mu yang lemah ini. Terima kasih, Tuhan, Tuhan, Tuhanku… Allahu Akbaaar!” jeritku berulang-ulang dalam hati.

Sungguh, tak henti-hentinya aku mengucapkan rasa terima kasih kepada Sang Maha Pemurah. Air mata menitik membasahi pipiku yang pucat. Inilah honorarium terbesar ketiga yang pernah aku terima di usiaku yang masih 22 tahun. Masih sangat muda untuk menghasilkan uang satu juta rupiah.

Bila dibandingkan dengan penghasilan pegawai atau karyawan biasa kala itu. Kalau tak salah gaji Bapak sebagai seorang perwira menengah sekitar 100 ribuan. bisa dibayangkan bagaimana gemparnya adik-adikku saat mengetahui hal ini… halaaah… heeeboooh!

Aku kembali ke stasiun Kota. Shalat zuhur di mushola. Keluar dari mushola barulah terasa perut keroncongan. Sahurnya hanya dengan semangkok mie instan dan sebutir telur.

Duh, Gusti, jeritku dalam hati. Terasa lemas sekali dibarengi keringat bercucuran, membasahi ke sekujur tubuh yang terbalut kemeja gombrang dan celana jeans belel.

Sekarang sudah lewat pukul dua. Kereta langsam yang menuju Rangkasbitung akan berangkat. Sesaat hati sempat sabil.

Apakah harus membatalkan puasa karena rasa lelah dan lemas yang nyaris tak tertahankan ini? Aku lantas berpikir, apakah itu karena memiliki uang di tas, masih ada lagi tiga perempatnya, sehingga seluruh energi habis terkuras? Lantas ingin membatalkan puasa? Lantas makan dan minum di tengah hari bolong?

Astaghfirullah, mohon berilah kekuatan-Mu, Ya Rabbi!

Bagaimana perjalanan pulang ke Rangkasbitung? Yang aku ingat, hujan lebat, petir saling menyambar di atas kereta yang bergerak bagaikan siput

Sempat mogok tepat di atas jembatan yang tinggi kecuramannya luar biasa di mataku. Saat aku melongok keluar jendela yang tiris oleh curah hujan. Ya Allah!

Tangan-tangan malaikat Izrail seakan siap mencabut nyawa para penumpang kereta langsam petang itu.
Seketika terdengar; “Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Suara azan maghrib sayup-sayup dari surau di pingir rel kereta. Bersama para penumpang muslim lainnya, aku pun berbuka dengan penganan yang dibeli dari penjaja kue baskom.

“Alhamdulillah, nikmat-Mu ini, Ya Rabbi! Terima kasih, Tuhanku, Engkau telah memberi kesempatan lagi kepada hamba-mu ini, untuk mampu berpuasa sehari lagi,” gumamku dengan dada dipenuhi rasa syukur tiada teperi.

Aku tiba di kobong kembali sekitar pukul sebelas malam. Saat para santri dan santriwati telah lama pulang tarawih, saat terdengar orang tadarusan. Aku ketuk pintu rumah Nyai Ustazah. Tampak seraut wajah yang tengah gundah-gulana menanti kepulangan putrinya. Mak menangisi keadaanku yang basah kuyup dan berantakan tak karuan.

“Mungkin darahmu sudah rendah lagi,” ujar Mak keesokan harinya saat menemukan aku demam.

Hari itu aku terpaksa memohon izin-Nya. Tak mampu menjalankan puasa karena harus minum obat. Demam, meriang dan sakit sekujur tubuh, tulang-tulang serasa berlepasan semuanya… Tapi dadaku merasa lega, lapang sekali melihat wajah ibuku yang tak lagi mendung.

“Alhamdulillah… nuhun, Teteh,” lirih Mak saat menerima seluruh uang muka buku memoarku yang pertama itu.

Aku masih tinggal beberapa minggu lagi di kobong Nyai Ustazah, hingga usai proses pengetikan Sepotong Hati di Sudut Kamar.

Begitu aku selesai mengerjakannya, beberapa hari kemudian, setelah lebaran, aku diangkut ke rumah sakit lagi.

“Ini dari mana saja pasien kita? Kenapa dibiarkan HB-nya tinggal 4 % gram?” gugat dokter Jo.

Aku terdiam tak mau menjawab. Percuma, toh dijawab atau tidak dijawab pun hasilnya akan sama; harus ngedrakuli alias ditransfusi darah!

Sisa honorariumnya aku gunakan untuk membangun sebuah paviliun, di atas lahan kosong di depan rumah orang tua. Tempatku berkarya dan bergulat mempertahankan nyawa ini.

Lengkapnya di buku Dalam Semesta Cinta. Membeli = Berdonasi. Silakan WA 08111581956. Penulis harus transfusi kembali minggu ini.

(Visited 21 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: