Note: Ini salah satu karya kelas menulis santri di Mahad Askar Kauny Cinere. Tema yang mereka angkat beragam. Bukan hanya sekitar pesantren semata melainkan kembara kemana-mana. Sebagai mentor, saya persilakan mereka menuliskan imajinasinya masing-masing.

Selamat mencermati dan silakan mengkrtisinya.

Jejak Langkahku di Negeri Ginseng

Yumi Firuza

Sejak TK aku selalu dididik dengan benar oleh kedua orang tuaku. Ketika  ingin pergi bermain ibuku selalu mengingatkanku segala sesuatu yang harus dijaga dan berhati-hati. Harus rajin  menggosok gigi secara teratur, memakai pakaian dengan rapi, bertanggung jawab ketika  melakukan sesuatu. Membuang sampah pada tempatnya,dan banyak hal lainnya.

Ibuku selalu bilang:”Nak, pokoknya kamu harus jadi orang yang berprestasi dan disiplin.”

Sebisa mungkin semua nasihatnya kulaksanakan dengan baik. Begitupun olahraga setiap pagi. Aku mengikuti ayahku yang suka berlari kecil di halaman belakang rumah kami.

“Ayah, apa  gak capek?” panggilku sambil menghampiri ayahku dengan berloncat-loncat riang. Ayahku menunduk dan mencubit kedua pipiku

“Aaaaw, sakit, Yah!” Aku mengerutkan kedua alis, menatapnya kesal.

“Seharusnya kamu yang capek, bukan Ayah. Kamu masih kecil. Ayah susah tua, sudah biasa,” sahutnya sambil mempergayakan gaya ototnya.

“Serius, Ayah gak capek? Tiap hari olah raga dan lama lagi.”

Ayahku hanya tersenyum dan melanjutkan agenda paginya. Aku menatap ayahku berlagak masih kesal. Sesaat kemudian aku berjalan ke arahnya dan mengulurkan kedua tanganku.

“Gendong, Yah,” pintaku manja.

Ayahku kembali tersenyum, tampak gagah dan kuat dengan celana training dan baju kaos pendek bewarna merah. Kemudian ayahku langsung menggendongku di pundak dan berlari-lari kecil mengelilingi halaman. Aku tertawa-tawa riang gembira. Saat itu umurku lima tahun. Ayahku seorang atlet. Sedangkan ibuku ibu rumah tangga biasa. Jika luang ibuku suka membuat baju-baju lucu untukku.

Demikianlah kami hidup nyaman dan tenteram. Dari hari ke hari, minggu ke minggu aku pun berkembang menjadi gadis remaja. Kami boyongan ke Korea Selatan.

Negeri Ginseng, Korea Selatan.

“Rajin sekali kamu! Nakal sedikitlah, jangan lurus-lurus saja!” teriak seorang anak laki-laki seraya melambai dari jauh.

Aku selalu datang di awal pagi dan langsung mengambil buku mempelajarinya dengan serius. Aku tidak menjawabnya, hanya menoleh sebentar dan balik lagi belajar. Semua berjalan dengan lancar pagi ini. Kelas yang kuikuti sudah kujalani semua, hingga waktu yang kunanti pun akhirnya tiba jua. Pulang dan rehat di rumah.

Sore hari aku mengambil sepeda dan keluar rumah. Ingin menyegarkan otakku yang seharian kuperas untuk belajar. Di tengah jalan aku melihat beberapa cowok berandalan, membuatku khawatir. Maka aku membelokkan sepeda ke kanan.

Ketika berbelok aku lupa kalau di sampingku jalan raya. Sebuah mobil di depanku langsung membunyikan klakson dengan keras.

“Awaaaas!” Ada jeritan mengingatkanku akan bahaya.

Aku tidak pernah membayangkan tertabrak mobil secara tiba-tiba. Sebelum itu terjadi, seorang anak laki-laki seketika menarikku dari sepeda. Kami pun jatuh berguling-guling bersama.

“Aaaaargh, sakiiit!” teriakku kesakitan.

Aku memegang kepala dengan posisi tengkurap sedangkan laki-laki itu langsung bangkit.

“Eh, kamu tak apa-apa?” tanyanya sambil menundukkan kepalanya, matanya mencermati wajahku.

“Kamu tak lihat apa? Aku lagi kesakitan gini!” Tiba-tiba suaraku mengeras, entah kenapa.

Laki-laki itu hanya diam, lalu menjulurkan tangan kanannya ke arahku. “Butuh bantuan?”

Aku tak menyahut, segera bangkit dengan bantuannya. Aku menoleh ke kiri, menemukan orang yang nyaris menabrakku sedang memarkirkan mobil di restoran kecil. Sama sekali tak peduli dengan sekitarnya. Ya, seakan tak terjadi apa-apa. Kulihat sepedaku melumbruk begitu saja di tengah jalan.

Melihat pemandangan begitu, aku berjalan terpincang-pincang. Berusaha mengambil sepeda yang telah membuat banyak klakson bersahutan. Namun sebelum aku mengambil sepeda, laki-laki yang membantuku telah mendahuluiku. Ia mengangkat sepedaku ke pinggir jalan, meletakkannya di sebelahku.

“Nih sepedamu, sepertinya masih utuh,” ujarnya terdengar ramah.

“Eh, iya…, terima kasih, ya,” kataku sambil menunduk, menahan sesal yang meruyak di hati. Sempat membentaknya, tidak sopan sekali.

“Lain kali kalau bawa sepeda di jalan harus lebih hati-hati,” sambungnya menceramahi.

Aduh, seingatku hanya orang tuaku saja yang sering menceramahiku. Aku terdiam sambil mengingat kembali kejadian. Iya, harus diakui kelakuanku tidak sopan!

“Maaf!, ya…. Aku tadi emosi.”       

“Haiish, dibilangin juga tak apa-apa. Aku paham.”

“Paham, ngng…, bagaimana?”

Kutatap sekilas perawakannya tinggi langsing, rambutnya pendek tidak seperti anak muda Korea padaumumnya. Sepasang matanya berwarna biru muda. Seperti keturunan Eropa, gumamku membatin.

“Hei, Zay. Ayo pulang!” teriak seorang anak muda, mungkin temannya.

“Na’am, na’am! Intazirni, eh, bye!” sambutnya membalas.

Dia pun berlalu dan sempat melambaikan tangannya ke arahku. Spontan aku membalasnya. Mereka ternya yang sempat kuanggap cowok berandalan. Saat kuhitung ada lima orang. Sepertinya dari berbagai bangsa. Beberapa jenak aku tertegun, melepas rombongannya. Barulah kembali menaiki sepeda, pulang ke rumah.

Sesampai di rumah, melepas sepatu, saat hendak membuka pintu aku melihat selembar kertas putih. Ternyata pesan dari ibuku. “Nak, Ibu  dan adikmu ke rumah Nenek. Kalau mau gabung pakai sepeda saja sekalian jalan-jalan. Oke!”

“Haish, Bu, kenapa gak tunggu aku sih? Kan tahu aku sudah lama gak ketemu nenek.” Omelku sendiri sambil meremas kertas. Masih sakit kakiku, tambah kesal.

“Aduh, jauhlah kalau dengan sepeda. Capek. Apa kereta saja, ya, tapi…. Hmm, ke stasiun dengan sepeda. Sekalian buang lemak,” gumamku pula memutuskan.

Bergegas membersihkan diri dan ganti dengan baju hitam ketat, rok pendek abu-abu. Sedang musim dingin, tidak lupa aku mengambil jaket hitam.

Kembali menggowes sepedaku melaju. Kulirik jam tanganku menunjukkan pukul 18.15. Sambil terus menggowes, aku melihat sekitar daerah yang kini kami tempati. Seoul, saat ini banyak mobil yang terus berlalu lintas di sebelah menyebelahku. Pemandangan malam sangat indah. Banyak sekali gedung megah. Ada juga penjual makanan khas Korea di pinggir jalan.

Saat melintas di depan penjual takoyaki, kulihat sekilas rombongan anak muda itu. Samar-samar bisa kutangkap seseorang berkata: “Ternyata anak itu kemana-mana suka gowes sepeda, ya? Hahaha!”            “Lihat siapa, Zay?”

“Taklah!”

“Oh, kamu ya, namamu Zay!” gumamku dan mencatatnya di benakku.

Setiba di rumah nenek, aku berlari memeluk perempuan tua yang duduk di kursi goyang.

“Annyeong haseyo….”

“Hisashiburi!”

“Nenek, aku kangeeeen….”

“Jinha, kamu sekarang sudah gede. Berapa umurmu sekarang?” tanya nenekku sambil mengelus rambutku.

“Sekarang Jinha 15 tahun, Nenek. Hampir enam tahun tak ketemu nenek. Kangeeen!” kupeluk erat tubuh nenekku.

“Oke. Sekarang makan dulu di belakang bareng keluargamu.”

Aku pun menurutinya. Kucermati rumah nenekku yang bertambah luas dan menjadi lebih bagus. Nenekku orang Jepang, rumahnya dengan hiasan ala Negeri Sakura. Aku berjalan ke dapur dan mendapati ibuku sedang memasak. Adikku, Hirai seperti biasa rajin membantu ibu kami.

“Ibu, Hirai,” panggilku senang.

“Eh, sudah datang.Naik apa tadi, Nak?” tanya ibuku.

“Naik sepedaku ke stasiun. Kutitipkan sepedanya. Lanjut keretalah.”

Kami berkumpul sekeluarga besar. Ada keluarga pamanku yang sudah lama juga tak jumpa. Sambil santap malam kami berbincang ringan. Saling bertukar pengalaman.

“Hat-hati kalau jalan sendirian, ya Jinha, Hirai,” kata pamanku yang umurnya tak jauh bertaut denganku. “Makin banyak saja orang jahat berkeliaran….”

“Iya Bang Achi,” sahutku, tersenyum menggodanya.

“Haish, abang-abang! Memang aku abang kamu, ya?” Dia menjawil pipiku, gemas.

“Jangan sentuh-sentuh, weeeey!” sergahku sambil menepis tangannya. “Umur kita kan hanya beda tiga tahun, Bang Achi. Darikecil aku kepingin punya abang cowok, tahu….”

“Terserahlah mau panggil apa kek. Asal bisajaga diri, ya Jinha. Selamat jalan!” akhirnya dia mengalah. Aku melambai ke arah mereka yang masih ingin tinggal di rumah nenek.

Ibu dan adikku menungggu di halte bus. Sedangkan aku harus berjalan ke stasiun terdekat. Aku menunggu sambil menyender ke tembok, membuka ponsel yang dari tadi terus kusimpan di kantong jaket. Bunyi kereta pun terdengar pas di pukul sepuluh malam.

Aku mematikan ponsel dan kumasukkan lagi ke saku jaketku. Aku berjalan pelan menunggu orang keluar dulu. Kemudian mencari tempat yang masih kosong. Kulihat hampir semua tempat sudah diduduki kecuali di sebelah laki-laki bermasker yang berada dekat pintu.

“Permisi, maaf!”

Ia tidak menjawab, mungkin tertidur. Aku duduk di sebelahnya sambil melipat kedua tanganku. Tanpa sadar aku pun memejamkan mata, tertidur. Stasiun pemberhentianku paling terakhir. Kalau pun tidur tak apa, tak perlu khawatir terlewat.

Entah berapa lama sampai kemudian aku menguap lebar: “Hoaaaam!”

Nyambung deh.

(Visited 19 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: