Pipiet Senja

Kuala Lumpur, Desember 2011
Sepulang dari Melaka, saya minta diturunkan di KLCC, tepatnya di halte bis seberang gedung bertuliskan; Getah, apalah itu, benar kali ya; Getah? Ops, mengapa jadi meragukan mata sendiri yah?
Sementara rombongan wisata Padangdalampuisi melanjutkan perjalanannya. Katanya, masih hendak pusing-pusing, foto-foto depan Petronas, sebelum mereka menginap di Dinasty.

“Etah si Teteh, ari sugan teh di ditu ngantosanana!” Sosok mungil berwajah manis, langsung saja menyeruku, kami berpelukan melepas kangen.

Donie Perdanawati, kami bersahabat melalui dunia maya, tepatnya Kompasiana. Donie sangat menyukai postingan-postingan saya di Kompasiana, sampai-sampai memburuku hingga ke ranah FB. Kemudian terhubunglah, akrab begitu saja. Sejak itulah Donie sering memesan buku terbaruku, paling duluan!

“Sebentar, ya Teteh, nanti kita dijemput si Emas.” Maksudnya, suaminya yang asli wong Jogja. Sedangkan Donie asli orang Sunda, sama denganku, sesama berasal dari Bumi Pasundan.

Benar saja, tak berapa lama kemudian sedan pribadi milik suami Donie tiba. Anak baru gede, putra pasustri campuran Sunda-Jawa, menyapaku dengan ramah.

“Tante Teteh,” sapanya sambil mencium tanganku.”Percaya tak kalau tahun 2012 nanti akan terjadi kiamat?”
Karuan saya sempat terlongong alias kaget bukan main. Mengapa ABG ini begitu serius menanyakan kemungkinan dunia akan kiamat tahun depan? Terpengaruh film 2012 agaknya.

“Tidak, sayangku, saya tidak percaya itu!” akhirnya kujawab saja demikian.

Dia tertawa polos, kemudian duduk di sebelah ayahnya yang membawa mobil dengan tertib.

Sebuah kondominium di kawasan Ampyang Dua. Mengingatkanku kediaman Aninda Lokeswari, tak jauh dari Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, tempat saya menginap beberapa hari pada April silam.

Saya ditempatkan di kamar tamu di lantai 5,  dari jendela bisa melihat pemandangan elok sangat. Gedung-gedung pencakar langit, lampu berkelap-kelip jika malam hari. Ketinggian yang mencekam, hmm, gerangan macam manakah jika kita terjun ke bawah sana?

Selama kebersamaan kami, dua sahabat yang usia tidak jauh berbeda, terasa keakraban yang nyunda pisan. namanya orang Sunda, kalau sudah ngariung jadi banyak banyolan. Persis keturunan Sule. Hehe.
“Ada anekdot nih, Teteh,” kata Donie di sela-sela menyuguhi cemilan krauk-krauk, bahkan ada kripiknya Ma Icih yang pedasnya na’udzubillah itu.

“Naaah, anekdot nih yeee! Daku suka!” seruku semangat nian.
Sungguh, setiap kali  berkunjung ke suatu negeri, aku akan berusaha mencari anekdot setempat. Hobi sajalah, lumayan buat penyegar jika sedang cuap-cuap sebagai pembicara di seminar atau workshop kepenulisan.

“Begini, ada seorang China, termasuk taipanlah, ya Teteh.  Sebut sajalah namanya si A Kong. Mendadak suteres gara-gara bisnisnya bangkrut. Suteresnya berkelanjutan, maka game overlah,” ujar Mom Donie, demikian putriku Butet memanggilnya.

“Ya, terus, teruuuus!” buruku penasaran.
“Ringkas cerita dikuburkanlah….”
“Memang Islam gitu, Neng?” tukasku mulai mesem.

“Ehhh, iya, gak tahulah apa agamanya. Pokoknya setelah kematian, ceritanya ada Malaikat, eh, apaan sih?” Donie berhenti, gara-gara kutowel tangannya.

“Dewa saja, ya, pliiiissss…..”
“Iiih, si Teteh nyela mulu,” nyonya rumah entah kesal, entah lucu melihat mimik wajahku. Serius nian menanggapi. “Oke, enaknya Dewa sajalah,” sambungnya, mulai ketawa juga.
“Lanjuuut!”

“Nah, Dewa itu menjegal langkahnya dan bertanya: “Hei, A Kong! Mau pigi ke mana kau?”
“Hayyyyaaa, oweh mau cali-cali bisnislah,” jawab A Kong, sangat serius dan tentu saja semangat pebisnis nian.
“Wheeei, enak saja mau langsung cari bisnis di sini,” gerutu Dewa (entah apa namanya tuh!).
“Betul, betul,  betuuuul! Oweh halus cali bisnis balu di sini.”

“Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku,” ketus Dewa entah apa namanya itu.”A Kong mau pilih mana; Neraka atau Surga?”

“Hayyyaaaa! Oweh tak peduli masuk Sulga kek, Nelaka kek. Bagi oweh yang penting bisa bisnis, di manapun belada!”
“Oooh, begitu ya, tapi ada bedanya loh, A Kong!”

“Apa bedanya Sulga dan Nelaka, hayyyyaaaa, cepa-cepalaaaah!”
“Bedanya, kalau di Neraka lebih banyak orangnya daripada di Surga….”
“Hayyyya! Kalau begitu, oweh mau masuk nelaka sajalah. Banyak olangnya, nanti laku bisnis oweh!”
Gubraaaak deh, aaargh!

Malam semakin larut, kami  berdua masih ketawa-ketiwi saling melempar anekdot.
Persahabatan yang unik dan indah rasanya. Semoga langgeng adanya. Terima kasih, saudariku Donie.
Saat ini dia malah sedang dolanan ke kawasan Garut, Tasikmalaya dan entah ke mana lagi.

Gerangan dimanakah kini, wahai sahabatku Donie Perdanawati?

Semoga bisa membaca postinganku ini. Kangeeeen, sayangku!

(Visited 46 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: