Sejarah Nyi Ageng Serang – Penyaji PS

Sebagian Orang tak kenal dengan Nama Kustiah, tapi kalau disebut dengan nama Nyi Ageng Serang, orang akan mengenal beliau sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.   

Tercatat dalam sejarah Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi (Serang, Purwodadi, Jawa Tengah 1752 – Yogyakarta, 1828). Ia anak Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya.

Nyi Ageng Serang salah satu keturunan Sunan Kalijaga. Ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan Nasional yaitu; Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.

Pada periode sejarah tahun 1755-1830 masyarakat belum mengenal arti emansipasi. Seperti diketahui, kedudukan wanita pada waktu itu tidak seperti status wanita abad ke 20. Namun Nyi Ageng Serang seorang pejuang wanita yang maju ke medan pertempuran melawan pasukan penjajah dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830.

Dalam berbagai pertempuran yang dipimpin oleh Nyi Ageng Serang dan cucunya Raden Mas Papak, selalu dapat mengalahkan Belanda, dengan taktiknya yang terkenal kamuflase daun lumbu (daun keladi).

Jelas kiranya bahwa perjuangan Nyi Ageng Serang pada waktu itu merupakan suatu jawaban tantangan yang tepat pada zamannya. Nyi Ageng Serang sebagai pahlawan wanita yang berjuang untuk nusa dan bangsanya.

Landasan perjuangan Nyi Ageng Serang adalah berjuang melawan penjajahan, membela martabat bangsa dan tanah airnya. Ia melihat rakyat dipaksa mengikuti jejak dan perintah kaum penjajah, tanah rumah yang disayangi, dikuasai oleh bangsa lain, hasil-hasil yang di kerjakan dengan tangan sendiri, dimiliki bangsa lain.

Keadaan masyarakat yang sudah sedemikian menderita inilah yang selalu menjadi pusat pemikirannya. Nyi Ageng Serang lebih banyak mementingkan nasib rakyat daripada kepentingan pribadi.

Hal ini dapat diketahui dari sikap Kustiah ketika tinggal di Kraton Yogyakarta. Waktu itu R.M. Sundoro (Putera Mahkota) dengan terus terang meminta agar Kustiah bersedia menjadi calon permaisuri.

Namun Kustiah menjawab dengan sopan dan hormat sesuai dengan pendiriannya yaitu:

“Apa arti hidup kalau hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, lebih baik membicarakan nasib rakyat.”

Setelah mendengar jawaban Kustiah, Pangeran Sundoro merasa agak malu, karena yang sering dibicarakan adalah soal cinta. Namun sesungguhnya pendirian Kustiah ini menggembirakan hatinya.

Pandangannya terhadap derita rakyat semakin membangkitkan semangatnya untuk lebih bersikap tegas terhadap Kompeni Belanda. Ayahandanya dahulu selama masih menjadi pangeran, juga menjalani hidupnya dengan penuh perjuangan.

Ayahnya, yang dahulu bemama Pangeran Mangkubumi, amat terkenal sebagai seorang pejuang yang melawan Kompeni Belanda. Mengapa dirinya mengikuti jejak ayahnya melawan Kompeni Belanda.

Hatinya semakin gemas dan semangatnya semakin meluap-luap, semangat patriotik yang menggelora di dalam jiwanya telah dicetuskan di dalam 19 semboyannya. “Biarkan aku mati dengan sukarela untuk kepentingan bangsaku seribu tahun nanti.”

Jelas perjuangannya bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi mencerminkan tujuan masa depan untuk bangsa dan negaranya, untuk generasi mendatang. Hampir seluruh bagian dari hayatnya ia abdikan kepada kepentingan rakyat banyak.

Apa yang pemah dirasakan oleh rakyat dirasakannya pula. Penderitaan dan tekanan batin selama hayatnya datang silih berganti, sehingga membutuhkan bagian terbesar tenaga yang ia miliki.

Pada masa perjuangan phisik ia telah menggunakan seluruh tenaganya. Sebagai seorang wanita berusia tua yang sanggup memimpin suatu perang gerilya yang penuh dengan hambatan dan tantangan.

Oleh karena itu sisa waktunya sebenamya cukup untuk beristirahat menikmati hari tua. Tetapi pejuang tetap pejuang, pahlawan tetap pahlawan, tidak mengenal istirahat, setiap kesempatan ia pergunakan untuk berjuang walau hanya dalam bentuk moral.

Masa tuanya ia habiskan untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan kepada generasi berikutnya melawan penjajah Belanda. Nyi Ageng Serang telah memberikan segala-galanya yang ia miliki. Jiwa raganya diabdikan pada rakyat.

Nyi Ageng Serang pemah jaya dalam medan peperangan, sempat mempesona setiap insan pejuang. Tetapi, manusia Nyi Ageng Serang tetap manusia ummat llahi. Tiada gading yang tak retak, tiada keabadian dalam ummat-Nya.

Hidupnya hanyalah sekedar mengemban beban suci dari-Nya. Ia Pahlawan Nasional yang hampir terlupakan, mungkin karena itu, namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien.

Sepatutnya kita sebagai warga Kulon Progo meneladani Perjuangan beliau. Sehingga perjuangannya bisa kita lanjutkan dengan mengisi kemerdekaan ini, sehingga kedepan sejarah Nyi Ageng Serang tetap dikenang karena perjuangannya, bukan karena monumennya. (Dnt)

Sumber : Nyi. Ageng Serang

(Visited 263 times, 2 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: