Irhami Malika – Penyunting Pipiet Senja
“Aku juga ingin beli album mereka,” suara lirih seorang gadis remaja .
Berhasil mengalihkan perhatian mereka dari layar ponsel yang menampilkan wanita-wanita cantik dengan pose menarik. Seketika para murid perempuan di kelas VI SMP N 3 itu memandang Lana dengan cermat. Menyoroti penampilannya dari atas ke bawah. Yang dipandangi hanya tersenyum kikuk.
Febi, teman sebangkunya yang berkacamata menengahi. “Tentu saja, ayahmu kan bekerja di Korea Selatan, ya, Na?” Pandangan-pandangan yang tertuju kepadanya makin tajam.
“Serius?” tanya Naya. Sementara beberapa orang yang lain hanya diam dengan raut menuntut, menunggu jawaban.
“I-iya..” Lana menjawab dengan terbata-bata.
“Berarti, ayahmu TKI dong?”
Lana menggeleng pelan. “Bukan, ayahku seorang pekerja migran.”
Naya dan Rina mengerutkan dahi mereka tidak paham.
“Migran dan TKI itu bedanya apa?”
Dengan berat hati, Lana menggeleng kembali. “Tidak tahu juga….”
“Loh, jadi ayahmu kerja sebagai apa di sana?”
“Tidak tahu. Yang jelas ayahku ada di pabrik manufaktur,” jawabnya ragu-ragu.
Sementara yang lain masih terdiam dengan berbagai pertanyaan di benak mereka. Beberapa masih mencoba mencari tahu apa arti manufaktur itu sendiri, tetapi terlalu malu untuk mengakui. “Di pabrik apa, Lana?” tanya yang lain lagi.
Mereka semakin penasaran dengan latar belakang teman sekelas yang katanya bekerja di Korea Selatan, tempat idola kesukaan mereka berada. Untuk yang ketiga kalinya, Lana menggeleng lagi. Teman-temannya berdesis geram, merasa di permainkan. “Kamu ini lagi menceritakan ayahmu sendiri atau orang lain, Lana?” tanya Naya sebal.
Lana merasakan hatinya berdenyut. Pertanyaan Naya tadi menyentilnya. Iya, ya, kok aku seperti tidak tahu apa-apa tentang ayahku sendiri, bisiknya dalam hati. Tidak tega melihat temannya terpojok, Febi segera mendekati Lana dan menggandeng tangannya.
Mereka berdua kembali duduk ke meja mereka masing-masing. Lana sendu dalam hening dan beban pikirannya. Febi tetap diam karena tahu Lana butuh waktu sendiri. Ia sebenarnya juga merasa bersalah kepada teman sebangkunya. Dari ucapannyalah pertanyaan beruntun datang. Tidak seharusnya ia mengumbar privasi Alana.
Sementara dalam kerumunan semua orang sibuk berspekulasi. Sebagian ada yang tidak terlalu peduli. Kebanyakan membuat teori mereka masing-masing. Ingin rasanya Lana berlari, begitu mendengar suara yang membuatnya tidak percaya diri. “Aku bahkan tidak pernah melihat Lana dijemput ayahnya.” Seketika di pipinya turun gerimis.
Siang itu Lana memasuki rumah dengan hati yang muram. Tidak disahutinya sapaan adik kecilnya yang menyambutnya dengan senyuman lebar seperti biasa. Ia juga berjalan cepat meninggalkan ibunya yang menjemputnya di sekolah. Lalu ia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.
Setelah berganti pakaian matanya tertuju pada bingkai foto yang ada di samping tempat tidurnya. Foto itu diambil dua tahun yang lalu, tepat sebelum kepergian ayahnya ke negara lain. Lana merindukan sosok itu. Ayah yang biasanya selalu mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Ayah yang selalu mengajaknya bermain.
Namun, ia juga membenci ayahnya yang mengambil keputusan tiba-tiba. Meninggalkannya dan membuatnya harus menghadapi hari pertamanya di SMP sendirian. Sementara teman-temannya yang lain diantar oleh orang tua mereka. Ibu tidak bisa mengantarnya karena harus menjaga adiknya.
Air matanya turun lagi. Kali ini lebih deras, ia tidak perlu lagi menahannya seperti di sekolah. Perlahan-lahannia terbuai dalam kesedihan dan rasa kantuknya. Begitu ia membuka mata kembali, raut wajah khawatir ibunya memenuhi pandangannya. Entah sudah berapa lama ibunya ada di situ. “Ibu kenapa?” tanyanya dengan suara serak. Lana segera duduk dan mendekati ibunya.
Ibunya menggeleng sembari berusaha menyunggingkan sebuah senyuman kecil. “Seharusnya Ibu yang tanya, kamu kenapa? Pulang sekolah cemberut begitu? Ada masalah?”
Gadis remaja itu menundukkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Bu. Lana cuma merasa kehilangan sosok ayah saja.”
Dengan penuh kelembutan, ibunya mengelus kepala anak gadisnya. “Ayah memang pergi tapi nanti dia pasti kembali.”
Lana memandangi ibunya dengan tatapan nanar. “Tapi sudah lama sekali, Bu. Lana bahkan sudah hampir lupa wajahnya. Ayah ngapain di sana? Harusnya Ayah di sini aja. Jagain kita, bukannya malah pergi!” Lana tidak bisa menahan luapan emosinya lagi.
“Lana, kamu harus tahu. Ayah di sana bukan untuk main-main. Dia bekerja, mencari nafkah untuk menghidupi kita. Biar kamu dan adikmu bisa sekolah di tempat yang bagus. Biar kita bisa makan dengan layak, Nak.”
“Kalau Ayah bekerja untuk kita, kenapa Lana tidak pernah diberi hadiah? Ayah kerja di luar negeri pasti uangnya banyak. Kok cuma buat kita makan saja?”
Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar pertanyaan itu. “Ayah lagi menabung, sayang. Biar setelah dia pulang, kita bisa buka usaha sendiri. Supaya Ayah tidak pergi jauh, lagi.”
“Kamu ingat?” lanjut ibunya sambil memandangi raut wajah kecil Lana. “Waktu kamu sedang ada masalah dengan anak tetangga sampai ibunya datang ke rumah? Ayah panik sekali saat itu. Takut orang-orang bisa bertindak seenaknya kepada kita. Padahal dia sedang tidak ada. Waktu itu Ayah marahin kamu, kan? Itu karena dia khawatir, Nak. Dia khawatir kamu kenapa-kenapa, sedangkan dia tidak bisa hadir untuk membela dan menjaga kamu.”
Wanita paruh baya itu juga ikut menahan haru. Matanya berkaca-kaca sewaktu membayangkan sosok kepala keluarga mereka. “Waktu Lana ulang tahun juga ayah yang paling pusing. Dia ingin sekali segera menghubungi dan mengirim uang untuk beliin Lana kado dan dikirim ke sini, tapi Ibu larang. Karena biayanya pasti mahal dan juga benda yang kamu inginkan itu tidak akan terpakai lama. Kita tidak tahu Lana, gimana keadaan Ayah di sana. Apakah dia tidur dan makan dengan baik di negara asing. Apakah dia kesepian karena tidak ada kamu dan adik. Dia ingin menelepon, tetapi tarifnya mahal dan kita juga tidak punya ponsel canggih untuk kirim chat. Kita juga harus mengerti keadaannya, sayang,”
Lana menyesali kebodohannya yang menuntut banyak dari ayahnya tanpa tahu pengorbanan lelaki itu. Ia jadi membayangkan betapa besar resiko yang ditanggung ayahnya di sana untuk hidup di negara yang baru, tanpa sanak keluarga, tanpa bahasa yang dapat dengan mudah ia pahami dan apakah ia hidup dengan baik di sana.
Baginya, mempunyai orang tua sebagai pekerja migran itu berat. Tetapi, pasti lebih sulit bagi ayahnya yang harus menanggung beban pekerjaan, sembari tetap menunaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga yang harus mendidik, menjaga, dan menafkahi keluarganya.
Tiga tahun itu memang lama, tetapi bukan selamanya. Lana harus lebih banyak mencoba memahami dan mengerti. Ucapan orang-orang yang mencemoohnya tidak membuatnya menjadi boleh untuk membenci dan menyalahkan ayahnya sendiri. Bagaimanapun, Lana dapat hidup dengan layak karena perjuangan ayahnya.
Ayah, terima kasih banyak. Malam ini, Lana terlelap membayangkan bintang hidupnya. Ayah yang jauh tetapi paling berjuang untuk menerangi kehidupannya.
@@@