Di Kalimantan Timur, terdapat sebuah sungai terbesar bernama Sungai Mahakam. Sungai dengan panjang sekitar 920 km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir.
Kalau M.A.W. Brouwer dalam sebuah catatannya menuliskan bahwa Tanah Pasundan diciptakan oleh Tuhan tatkala tersenyum sehingga pemandangan alam indah dan orang-orangnya (terutama putri-putrinya) berwajah elok, ramah, dan baik tutur katanya, maka daerah sepanjang aliran Sungai Mahakam diciptakan tatkala Tuhan melimpahkan berkah tak terkira.
Banyak kisah klasik tentang Sungai Mahakam, terutama di Samarinda tempo dulu. Ada mitologi bertema horor seperti Hantu Banyu, ada misteri keajaiban minum air Mahakam, ada mitos menelan ikan hidup supaya mahir berenang, ada fauna langka yang dikeramatkan bernama pesut, ada folklor ular lembu, ada pula perilaku barbar atau peristiwa kekejaman berupa perampokan, penculikan, perbudakan, dan perdagangan budak belian serta tragedi di sungai yang memiliki lebih dari 30 cabang ini. Mahakam juga bersejarah sebagai “lapangan terbang” pertama di Samarinda.
Dikutip dari berbagai sumber, di sungai ini terdapat mitos yang mengatakan bahwa pengunjung yang meminum air dari sungai Mahakam akan kembali lagi ke Kalimantan Timur suatu hari nanti. Meskipun kembalinya cuma beberapa hari saja, bahkan dalam hitungan jam. Entah itu hanya sebuah kebetulan, banyak sekali orang mengalami hal ini. Banyak perantau yang pernah datang ke Kalimantan Timur dan pernah sekali minum air dari sungai Mahakam, mereka akan kembali lagi untuk kedua kalinya. Entah kedatangan berikut itu secara kebetulan atau dengan rencana yang matang.
Faktanya, daerah sepanjang aliran Sungai Mahakam dianugerahi kekayaan alam, baik yang berada di dalamnya maupun mahkluk di permukaan dengan keanekaragaman hayati yang tak terkira. Jadi, kekayaan inilah yang merupakan ‘pelet’ sesungguhnya, yang membuat orang terus datang dan kembali datang ke Samarinda dan kemudian menyebar seantero Kalimantan Timur.
Samarinda yang persis berada (bahkan terbelah oleh aliran Sungai Mahakam) menyebut diri sebagai Kota Tepian ini adalah tempat pertemuan. Berbagai suku bangsa, bertemu dan berinteraksi di kota ini menjadikan Kota Samarinda adalah kota yang penuh warna.
Sekarang, saya berdiri tepat di tepian Sungai Mahakam. Sayangnya, saya belum melihat ikan Pesut bermain-main di sepanjang Sungai Mahakam. Konon di tahun 1980-an masih banyak terlihat, namun kemudian perlahan hilang.
Sudah jarang terlihat deretan panjang kayu gelondongan (rakit) yang ditarik oleh perahu menuju pabrik pengolahan kayu. Kini, yang berseliweran di sepanjang aliran Sungai Mahakam adalah ponton-ponton pengangkut ribuan ton batubara. Dari kejauhan terlihat mirip gunung hitam yang berjalan pelan.
Sekarang, saya sudah meminum air Sungai Mahakam. Kita lihat apa yang akan terjadi. []
Sungguh menakjubkan dan membawa jiwa dan raga ingin ikut ke tepian Mahakam. Smg suatu masa Allah memberi kesempatan menapakan kaki di tepian Sungai Mahakam.
Sy injak 1996.