Oleh : Ruslan Ismail Mage*

Ungkapan klasik mengatakan, “Pemimpin itu laksana berdiri di mulut buaya”. Kalau dielaborasi lebih jauh bisa diartikan meniti kepemimpinan laksana berjalan di atas bara api. Sedikit saja salah melangkah bisa masuk mulut buaya, kesenggol sedikit saja bisa terbakar kaki sampai ke ujung rambut.

Dalam konteks demokrasi, buaya paling mengerikan bagi seorang pemimpin adalah “oligarki” yang selalu berusaha menjerat atau mempengaruhi kebijakan dengan modal. Sementara dalam konteks kleptokrasi, bara yang paling panas adalah rezim yang merasa terancam eksistensinya.

Lalu bagaimana dalam konteks kekinian Indonesia yang sedang mempersiapkan seleksi tertinggi kepemimpinan dalam Pemilu 2024? Untuk menjawabnya kita meminjam ungkapan Thomas Woodrow Wilson Presiden Amerika Serikat ke-28 (1913-1921) yang mengatakan, “Jika kamu ingin menciptakan musuh, cobalah mengubah sesuatu.”

Kalau ungkapan Woodrow Wilson di atas dipakai untuk membedah proses perjalanan Anies Rasyid Baswedan di pentas demokrasi Indonesia menuju Pemilu 2024, dapat dikatakan konsekuensi Anies dan tiga partai dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung jargon “Perubahan” adalah membangunkan banyak musuh untuk merapatkan barisan membahas strategi mengkounter perubahan yang bisa membahayakan keberlanjutan kenikmatannya bersama rezim yang berkuasa.

Sudah menjadi pemandangan sehari-hari dibeberapa media pemberitaan bagaimana Anies yang mengusung perubahan dijegal dengan segala macam cara. Tidak perlu lagi dirinci beberapa cara yang dipakai oleh rezim yang mengusung jargon keberlanjutan untuk menutup semua celah agar tidak terjadi perubahan di negeri ini.

Ketika keputusan hukum tetap memakai sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2024, Partai Demokrat terlalu kuat untuk digoyang legalitasnya sebagai salah satu partai pendukung Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Partai Nasdem sebagai pengusung utama Anies terlalu kokoh untuk dipreteli dengan mempidanakan kadernya di kabinet. Lalu apakah bonus perpanjangan masa jabatan ketua KPK akan menjadi senjata pamungkas untuk mentersangkakan Anies? Kasus formula e sesungguhnya sudah mulai melemah, tetapi kini panas membara mulai tersembur lagi.

Apakah Anies gentar? Nampaknya santai-santai aja memenuhi panggilan pemerintah Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarga kecilnya. Sebuah perjalanan spiritual yang penting dan menjadi titik tolak bagi ikhtiar perjuangan besar ke depan, kata Anies. Sebagai manusia biasa, tentu ada kekhawatiran dalam diri Anies dan tiga pertai pendukungnya. Namun sebagai hamba Allah Swt yang sudah konsisten melakukan empat hal, usaha, ikhtiar, doa dan tawakal, Anies sudah tidak gentar lagi dari segala ancaman untuk menjegalnya.

Bukan karena sombong dan percaya diri berlebihan, karena itu bukan karakternya. Namun karena Anies mempunyai dua kekuatan yang sangat dahsyat di belakangnya. Kekuatan pertama, akan dibentengin regulasi dan peraturan perundang-undangan. Semua tindakannya selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, dilakukan secara cermat dan terukur berpegang kepada regulasi. Kekuatan kedua, berlindung kepada Allah Swt. Sebaik-baik dan sekuat-kuat pelindung adalah Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung”. (QS Ali ’Imran, 3 :173). “Tidakkah kamu tahu, bahwa memiliki kerajaan langit dan bumi? Dan tidak bagimu pelindung dan penolong selain Allah.” (QS Al-Baqarah, 2 :107).

*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik

(Visited 113 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.