Pipiet Senja
Sudah pukul sembilan malam. Kulihat cucuku Qania masih belum mau tidur. Berkali-kali kuingatkan agar segera tidur, jawabannya:”Tunggu Mama pulang, Manini.”
“Jangan ditunggulah, gak tahu kapan pulangnya. Nanti Qania susah bangun kalau tidur telat.” Kuhela tangannya dan mengajaknya ke tempat tidur.
“Mau denger cerita Manini gak?”
“Mauuuu!” Sambutnya senang.

Begini ceritanya, ya Qania.
Hongkong, saat Manini sehat, umur 55 tahun.
Tahukah Qania bahwa mencari makanan halal di Hongkong lebih mudah daripada di Bali? Pernah beberapa kali ke Pulau Dewata, aku selalu kesulitan mencari makanan halal.
Satu kali, bersama sahabat seorang wartawati media terkenal Ibukota, pagi sudah jalan mencari makanan.
“Lapar, Teteh, sini sajalah kita makan,” ajaknya ketika melintasi sebuah warung di pinggir jalan.
Ini setelah jalan kaki jauh sekali dari penginapan dan tak satu pun warung yang bisa kami percayai; menyajikan makanan halal.
“Yakin nih halal?” tanyaku bimbang.
“Warteg nih, masa gak halal?” balik sahabatku bertanya.
“Mbak, maaf, ini makanannya halal kan ya Mbak?” tanyaku kepada si Mbak warung.
“Oh, iyalah, sini masuk Mbak,” ajaknya ramah.
Seketika mataku yang jeli melihat gule di wadah dengan daging yang aneh yakni berupa kaki kecil, jelas bukan kaki ayam ataupun kikil sapi.
“Nah itu apaan, Mbak?” tanyaku.
“Iya Mbak, beneran nih makanannya halal?” sahabatku kembali minta ketegasannya.
“Pokoknya semua makanan di sini gak babi-babi bangetlah,” sahut si Mbak warung nyantey.
“Bagaimana maksudnya?” kami berdua nyureng alias tak paham.
“Iya, gak babi-babi banget. Sebab babinya kan sudah disunat….”
“Kabuuuur!” kami berdua seketika hengkang dari jongko kecil menyerupai warteg itu.
Tak peduli dengan teriakan pemilik warung yang kini jelas terdengar logatnya bukan berasal dari Jawa, apalagi Tegal dan sekitarnya.
Di Hongkong, negara dengan warga kebanyakan sudah tak peduli dengan agama, ternyata bertebaran warung makan dan resto yang menyajikan makanan halal. Di berbagai sudut negeri beton ini masih menyelip tempat makanan yang dikenal sebagai Toko Indonesia.
Di kawasan Causeway Bay ada Warung Malang, Toko Indonesia, Toko Chandra, Arema, ini yang legal dan sudah terkenal sejak lama. Belum tempat makanan yang hanya dikenal dari mulut ke mulut; citarasanya tak kalah dengan resto-resto terkenal lainnya.
Mereka, para pengelolanya adalah BMI purna yang sukses alih profesi sebagai pengusaha. Mereka bisa bolak-balik ke Hong Kong, karena memiliki visa setahun atau dua tahun yang bisa diperoleh dari agen-agen tertentu.
Ada juga resto-resto milik Pakistan, India dan Malaysia seperti; Aladin, Hainan Soye di sekitar Time Square. Geser sedikit ke kawasan Wan Chai ada Canteen Of Muslim di lantai 5 bangunan Mesjid Ammar Wan Chai: Yam Cha!
Di tempat ini berbagai bangsa dunia sering berkumpul. Terutama dari negeri kita, mulai dari para pejabat tinggi, ulama kondang, dai cilik, para artis, munsyid, para motivator terkenal hingga sosok-sosok aneh; mereka yang berkedok ustad dan hobi menghipnotis, menipu para perempuan BMI Hong Kong.
Malam itu, aku diajak anak BMI yang suses sebagai juragan saham. Kami berkeliling di Causeway Bay, setelah capek, akhirnya menemukan resto Vietnam. Tak jauh dari situ mendadak mataku berhenti di sebuah resto dengan gambar buaya gede sekali.
“Ini tempat makanan aneh, Teteh,” jelas juragan saham bernama Vic itu.”Ada sate buaya, kalajengking dan otak monyet….”
“Stop, ah, mual perutku nih!” tukasku sambil ngacir dari tempat bergambar buaya itu.
Kulihat Qania pun menutup wajahnya dengan selimut. Seakan-akan mengisyaratkan ogah dengerin kelanjutan cerita Manini.
Yawislah, sampai jumpa dengan cerita Manini lainnya. Nenek-nenek memang punya cerita dan kenangan yang seakan tiada habisnya.
@@@