Oleh: Muhammad Sadar
Tepat tanggal 17 Agustus hari ini, 28 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh dwitunggal Soekarno-Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1917 telah lahir seorang putra yang diberi nama Muhammad Nawawi oleh pasangan hidup Muhammad Saleh-I Mapparessa di sebuah kampung pesisir pantai bernama Palanro Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru. Sebagaimana biasanya anak kampung yang lahir pada masa penjajahan kolonialisme dan imperialisme Belanda maka fase pendidikan tidak dijalaninya dengan sempurna. Namun pendidikan berbasis pesantren ditempuhnya di Muallimin DDI Mangkoso di bawah bimbingan langsung pendirinya Anre Gurutta Abdu Rahman Ambo Dalle. Masa pendidikan tersebut dilakoninya hingga pendudukan tentara Dai Nippon/Japan dimulai tahun 1942-1945.
Atas propaganda Pemerintah Japan yang mengambil alih kekuasaan Belanda sebagai penjajah baru melakukan rekrutmen dan mobilisasi para pemuda untuk menjadi prajurit/tentara dalam membantu pemerintah Japan pada perang Pasifik. Pemuda Muhammad Nawawi meninggalkan bangku pendidikan pesantren dan bergabung menjadi prajurit Heiho bentukan Japan di Palanro. Para prajurit sukarelawan ini memperoleh pendidikan dan latihan maupun doktrin militer ala Japan. Di sinilah berawal sikap disiplin,kepemimpinan,patriotisme dan semangat juang, bela negara seorang pemuda Muhammad Nawawi.
Sekelumit kisah beliau ketika menjadi bagian prajurit Heiho yaitu pada saat bertugas di pos pertahanan anti serangan udara, beliau menahan serangan udara sekutu dengan menghandle senapan mesin mitraliyur serta menggunakan perlengkapan militer ala Japan yang tidak bisa dilepas karena setiap saat harus tetap ready dalam menghadapi sekutu.
Seiring dengan melemahnya kekuatan pasukan Japan di berbagai front perang dunia II dan hangatnya Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta, maka pemuda Muhammad Nawawi dan kawan-kawannya di bawah pimpinan Andi Abdullah Bau Massepe mengambil peran melakukan gerakan massa dan melucuti persenjataan tentara Japan dan menuntut untuk menyerah.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan kembalinya rezim NICA Belanda untuk menguasai Republik, maka dengan penuh tekanan dan intimidasi dibarengi dengan kegiatan mata-mata para penghianat yang mengintai setiap pergerakan para pejuang, pada akhir tahun 1945 pemuda Muhammad Nawawi bersama rekan seperjuangannya yang tercatat seperti Arsyad B, A.Dala(Petta Lawa),
A.Domeng, A.Magga Amirullah, Bau Mahmud,Musa Gani, Daeng Parani dan Pajolloi mengambil sikap dan sepakat untuk hijrah ke tanah Jawa sebagai pusat pergerakan dan perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Perjalanan ke Jawa dimulai ketika dilakukan perencanaan dan persiapan pelayaran dengan merehabilitasi sebuah perahu layar jenis LAMBO di pesisir pantai Palanro. Sebagai ilustrasi bahwa
(LAMBO merupakan perahu layar khas Bugis bertiang tunggal dengan 2 buah layar besar, layar depan disebut Tarengke, layar belakang disebut Sempe Lompo dan dilengkapi sebuah Goling dibagian buritan sebagai pengendali arah laju perahu dan kapasitas perahu tersebut mampu mengangkut logistik hingga 200 ton. LAMBO ini diberi nama BUNGA EJA artinya Bunga berwarna Merah).
Setelah perahu LAMBO ini rampung diperbaiki maka oleh AyahKu melayarkan perahu itu ke Wiringtasi Kec Soppeng Riaja untuk menjemput para kawan pejuang yang telah menunggu di rumah Petta Lawa(A.Dala). Dengan berkah dan do’a Anre Gurutta Abd. Rahman Ambo Dalle dari DDI Mangkoso maka dilepaslah rombongan para pejuang ini di kediaman Petta Lawa-Wiringtasi bertolak menuju Jawa. Akibat pengintaian mata-mata para penghianat bangsa, tidak lama rombongan tersebut meninggalkan pantai Wiringtasi, pasukan NICA menginspeksi kampung tersebut mencari para pejuang dan mengintimidasi rakyat untuk menunjukkan keberadaan para pejuang. Dengan kemampuan navigasi dan pengalaman kelautan yang dimiliki maka oleh kawan pejuang, AyahKu didaulat sebagai Juru Mudi untuk mengendalikan pergerakan perahu dan pelayaran menuju Jawa. Bisa kita bayangkan bagaimana perjuangan dan pengorbanan para pejuang tersebut dalam mengarungi lautan dan tantangan pelayaran seperti badai, arus laut, keterbatasan logistik terutama dalam menghindari blokade laut Belanda yang setiap saat melakukan patroli antara selat Makassar dan laut Jawa.
Ditengah perjalanan menuju Jawa para pejuang tersebut bertemu serombongan pejuang lain dalam pelayaran balik dari Jawa menuju Sulawesi.Atas petunjuk rombongan pejuang tersebut disarankan pendaratan tidak dilakukan di Surabaya karena kondisi kota tergolong belum aman dan pulih akibat pertempuran arek-arek Suroboyo melawan sekutu 10 November 1945.Akhirnya kemudian AyahKu sebagai juru mudi melakukan manuver memasuki Jawa Timur dari arah timur melalui selat Madura dan mendarat di Pasuruan pada awal bulan Januari 1946.
Setelah mendarat di Pasuruan para pejuang tersebut melanjutkan perjalanan darat menuju ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Di markas tersebut telah berada A.Mattalatta,M.Saleh Lahade,
A.Oddang, Kahar Muzakkar, dan banyak lagi tokoh pejuang dari Sulawesi Selatan. Para tokoh pejuang tersebut hendak bertemu Presiden Soekarno dan Panglima Jenderal Soedirman untuk melaporkan kondisi perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Para pejuang ini melakukan konsolidasi perjuangan, penguatan strategi dan taktik gerilya, pembekalan dan pelatihan militer singkat, logistik perang serta komunikasi rakyat. Atas pertimbangan penyebaran kekuatan pejuang di luar Jawa dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari pendudukan Belanda maka keputusan Panglima Tentara Jenderal Soedirman membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi-TRIPS dan memerintahkan A.Mattalatta sebagai Mandataris melakukan Ekspedisi Komando Grup Seberang TRIPS yang dilakukan secara bertahap.
Ayahku turut serta dalam ekspedisi komando TRIPS tersebut dan tiba kembali bersama kawan mereka di Wiringtasi pada akhir tahun 1946. Mereka para pejuang terus melakukan konsolidasi dan koordinasi hingga pada waktu yang ditentukan pada tanggal 20-22 Januari 1947 diselenggarakan Konferensi Paccekke (Paccekke sebuah lembah pegunungan di Kecamatan Soppeng Riaja yang letaknya sangat strategis sebagai sebuah markas pejuang masa itu). Pada konferensi tersebut diputuskan pembentukan Divisi Hasanuddin dan 4 Resimen terdiri atas Resimen I Paccekke,Resimen II PKR Luwu, Resimen III PKR Kolaka, Resimen IV Bajeng-Makassar. Kemudian semua organisasi pejuang dalam bentuk kelaskaran dilebur menjadi Batalion di setiap resimen. Ayahku masuk di Resimen I Paccekke-Batalion I dengan Dan Yon Kapten L.Rachmansyah. Ayahku sendiri sebagai Dan Ton dengan pangkat Letnan Muda yang disandangnya sejak di Markas Besar Tentara Yogyakarta.
Pasca konferensi Paccekke serangkaian pertempuran dan perlawanan terhadap tentara NICA dilakukan di berbagai medan laga, penghadangan dan sabotase dengan taktik gerilya membuat Ayahku terdampak ledakan mortir di bagian paha dan membuat cacat fisik 25%. Pada akhir tahun 1947 Ayahku ditangkap dan ditawan oleh NICA di Takkalasi/Barru bersama Kapten L.Rachmansyah, dan Ayahku nyaris saja di eksekusi hukum mati oleh regu tembak Komandan NICA Mayor Van Der Molen di atas sungai jembatan Takkalasi. Akhirnya Ayahku dibebaskan sehingga pada tahun 1948 beliau bergerak secara rahasia dalam bentuk TRIPS Illegal hingga menjelang pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949.
Pasca pengakuan kedaulatan telah terjadi berbagai konflik politik dan pergolakan dalam negeri yang membuat Ayahku menjalani serangkaian penugasan dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) dalam menumpas pemberontakan saudara sendiri. Pemberontakan A.Azis di Makassar,DI/TII Kahar Muzakkar dan Permesta di wilayah Sulawesi hingga perebutan Irian Barat.
Pada tanggal 24 Juni 1980 Ayahku diberikan kenaikan pangkat luar biasa menjadi KAPTEN TMT 01 Januari 1950 oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata- PONIMAN,
setahun berselang pada tanggal 30 Oktober 1981 Ayahku menerima Surat Keputusan-Skep
1218/X/1981 tentang Pengakuan, Pengesahan dan Penganugerahan Gelar Kehormatan VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA oleh Menhankam/PANGAB.
Muhammad Nawawi-fighter nation is never die
Palanro,17 Agustus 2023