Dikutip dari Tempo.co, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku mengetahui bahwa dirinya kerap diejek dan dihina di media sosial. Ia mengaku bisa mengetahui hal tersebut karena mudahnya informasi menyebar melalui dunia maya. “Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya ndak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja,” kata dia saat menghadiri Rapat Tahunan MPR RI, Jakarta Pusat, Rabu, 16 Agustus 2023.

Meski menerima hinaan tersebut, presiden mengaku sedih. Sebab, menurut dia budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini terlihat hilang. Menurut dia kebebasan dan demokrasi saat ini justru digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah.”Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia,” ujar Jokowi.

Kebanyakan orang mungkin berfokus pada narasi bahwa budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini terlihat hilang. Namun, penulis melihatnya dari sudut pandang lain. Apakah ini taktik playing victim?

Playing Victim

Dalam dunia yang penuh kompleksitas ini, taktik retorika dan manipulasi seringkali digunakan oleh tokoh publik dan politikus untuk memperoleh dukungan atau memanipulasi opini masyarakat. Salah satu taktik yang kerap digunakan adalah playing victim atau berperan sebagai korban.

Playing victim merujuk pada tindakan seseorang yang dengan sengaja memainkan peran korban dalam situasi tertentu untuk mendapatkan simpati, dukungan, atau manfaat tertentu. Dalam hal ini, individu tersebut tidak selalu merupakan korban yang sebenarnya, melainkan berusaha untuk mengesankan bahwa mereka sedang dianiaya atau tidak adil diperlakukan. Taktik ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari tindakan atau kesalahan yang mereka lakukan dan memindahkan pusat perhatian pada status mereka sebagai korban.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang mungkin memilih untuk melakukan playing victim:

Pertama, menghindari akuntabilitas. Dengan berperan sebagai korban, individu tersebut berharap dapat menghindari tanggung jawab atas tindakan atau kesalahan mereka. Ini dapat membantu mereka mengurangi dampak negatif dari tindakan tersebut.

Kedua, mendapatkan simpati dan dukungan. Playing victim dapat memicu empati dari orang lain. Dengan merasa kasihan atau marah atas perlakuan yang diterima, orang-orang mungkin cenderung memberikan dukungan dan simpati kepada individu yang berperan sebagai korban.

Ketiga, mengalihkan perhatian. Taktik ini dapat mengalihkan perhatian dari masalah utama atau tindakan yang lebih kontroversial. Individu tersebut berharap orang-orang akan lebih fokus pada status mereka sebagai korban daripada pada konteks yang lebih luas.

Keempat, menguatkan narasi. Playing victim dapat membantu memperkuat narasi yang ingin mereka sampaikan. Dengan menggambarkan diri mereka sebagai korban yang tidak adil diperlakukan, mereka dapat membentuk opini publik dan mempengaruhi persepsi orang lain terhadap mereka.

Politikus dan Playing Victim

Politikus sering kali menggunakan taktik playing victim untuk memanfaatkan sentimen emosional dalam politik. Mereka mungkin menggambarkan diri mereka sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan atau persekusi politik, sehingga mendapatkan dukungan dari pendukung yang berempati. Namun, penting untuk mempertimbangkan beberapa faktor berikut sebelum menarik kesimpulan tentang apakah suatu tindakan politikus termasuk dalam taktik playing victim.

Pertama, konteks. Terkadang, politikus mungkin menghadapi kritik atau perlawanan karena kebijakan atau tindakan yang mereka lakukan. Dalam beberapa kasus, mereka mungkin merasa bahwa kritik ini tidak adil atau bahkan dibesar-besarkan. Dalam hal ini, apakah tindakan mereka dianggap sebagai playing victim akan sangat tergantung pada apakah kritik tersebut beralasan atau tidak.

Kedua, motivasi. Penting untuk memahami motivasi di balik perilaku politikus. Apakah mereka secara sengaja berusaha untuk merayu simpati publik atau memanfaatkan situasi untuk keuntungan politik, atau apakah mereka merasa benar-benar dianiaya tanpa berniat untuk mendapatkan keuntungan dari perannya sebagai korban.

Ketiga, bukti dan fakta. Menilai apakah seseorang menggunakan taktik playing victim juga memerlukan analisis bukti konkret dan fakta-fakta terkait situasi yang bersangkutan. Terkadang, terdapat bukti yang mendukung atau menguatkan klaim politikus tentang perlakuannya sebagai korban.

Salah satu contoh politikus yang pernah dituduh melakukan taktik playing victim adalah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sebagai contoh, dalam berbagai situasi, Trump sering kali menggambarkan dirinya sebagai korban dari apa yang ia sebut sebagai deep state atau konspirasi oleh lawan politiknya, media, dan lembaga pemerintahan.

Selama investigasi tentang campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, Trump sering kali menyuarakan bahwa ia adalah korban dari “pogrom politik” dan “berita palsu” yang menurutnya bertujuan untuk meruntuhkan legitimasi kemenangannya. Setelah beberapa platform media sosial membatasi atau menghapus beberapa postingan atau akunnya, Trump menggambarkan dirinya sebagai korban “penyensoran” dan “pelanggaran” kebebasan berbicara. Ketika menghadapi dua proses impeachment selama masa jabatannya, Trump menegaskan bahwa ia adalah korban upaya “persekongkolan” oleh lawan politiknya untuk menjatuhkannya dari jabatan.

Pendukung Trump mendukung klaimnya bahwa ia sering kali diberikan perlakuan yang tidak adil oleh musuh politiknya dan media. Namun, kritikus menilai bahwa Trump menggunakan taktik playing victim untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu kontroversial yang melibatkan tindakannya sebagai presiden.

Taktik playing victim dalam politik memang tidak jarang digunakan oleh berbagai politikus di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu contoh politikus Indonesia yang pernah dianggap oleh beberapa pihak menggunakan taktik playing victim adalah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Pada pemilihan presiden tahun 2014, Prabowo kalah dari Joko Widodo (Jokowi). Setelah kekalahan tersebut, Prabowo dan pendukungnya secara terbuka menuduh adanya kecurangan pemilu dan menggambarkan diri mereka sebagai korban kecurangan sistemik yang disebut sebagai “kecurangan struktural”.

Selama Aksi 212 pada tahun 2016 yang menuntut penuntasan dugaan penistaan agama, Prabowo juga terlibat dalam menyuarakan aspirasi massa. Dalam beberapa kesempatan, ia menggambarkan dirinya dan para peserta aksi sebagai pihak yang mendukung moralitas dan kebenaran, serta merasa dihadapkan pada konspirasi oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha menjatuhkannya.

Pada pemilihan presiden tahun 2019, setelah kembali kalah dari Jokowi, Prabowo dan kubu pendukungnya kembali menyatakan keraguan terhadap hasil pemilu dan mengklaim adanya kecurangan yang merugikan mereka.

Pendukung Prabowo melihat klaim ini sebagai bentuk pembelaan terhadap hak politik dan aspirasi mereka, sementara kritikus menilai bahwa taktik playing victim ini dapat dimanfaatkan untuk membangun dukungan emosional dan memperkuat narasi keberpihakan pada kelompok tertentu.

Di pihak lain, ada anggapan taktik playing victim yang mungkin dihubungkan dengan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Indonesia. Ketika Jokowi membentuk kabinet pada awal masa jabatan keduanya setelah pemilihan presiden 2019, beberapa keputusan mengenai penunjukan menteri menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak. Dalam beberapa situasi, Jokowi dapat dianggap menggunakan taktik playing victim untuk menanggapi kritik yang muncul.

Beberapa menteri yang dipilih oleh Jokowi mendapat kritik terkait kualitas dan kompetensinya. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi bisa saja merasa dianiaya oleh kritik-kritik ini, dan berbicara tentang upaya besar yang telah dilakukan untuk memilih menteri yang terbaik.

Beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi juga menuai kritik dari berbagai pihak. Dalam merespons kritik-kritik tersebut, Jokowi mungkin mengungkapkan pandangannya sebagai upaya untuk menjadikan pemerintahan lebih baik, dan bisa saja menggambarkan dirinya atau pemerintahannya sebagai korban dari ekspektasi yang tidak realistis atau situasi yang kompleks.

Namun, perlu ditekankan bahwa taktik playing victim tidak selalu digunakan dengan tujuan manipulatif. Beberapa situasi di mana politikus mungkin terlihat menggunakan taktik ini juga bisa saja merupakan respons alami terhadap tekanan politik dan kritik yang datang dengan posisinya sebagai pemimpin.

Catatan Akhir

Sebagai catatan akhir, penilaian terhadap taktik playing victim akan bergantung pada perspektif individu dan analisis lebih mendalam terhadap situasi yang ada. Penilaian terhadap taktik playing victim benar-benar digunakan atau hanya diterjemahkan sebagai reaksi alami dalam situasi yang sulit, bergantung pada perspektif masing-masing individu serta analisis mendalam terhadap konteks dan motivasi politikus tersebut. Bagaimana menurut Anda? []

(Visited 26 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Iyan Apt

Sosiopreneur, Writerpreneur & Book Publisher

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: