Pipiet Senja
Selesai sudah lakon kehidupan dengan si mulut sangar, desisku. Ketika keluar dari ruang sidang Pengadilan Agama, Depok.
Kurasakan ada yang menggenggam erat sebelah kananku. Adikku keenam, Ros yang setia menemani sejak sidang pertama.
Totaĺnya 5 kali sidang. Ada sekali sidang dengan saksi pro dia, digugurkan Hakim
“Alhamdulillah, lega, ya, Teteh. Resmi jadi janda kita,” gumamnya mendesir di kupingku.
“Lagian kamu ngapain ikutan heboh urusan PA?” tukasku berlagak menyalahkan.
“Haiiiish, Teteh yang latah kaleeee!” bantahnya sambil menahan tawa.
Ya, adikku lebih dulu jadi janda. Gugat si tukang pengeretan, cuma numpang hidup tak tahu malu, berujung minggat dengan perek.
“Mereka kita posisikan sebagai ghaib, tak ada alamat, entah di mana,” kataku pula sebelum menggiringnya ke arah gerobak soto mie langganan.
“Makhluk keparat, tukang gentayangan, doyan cewek gateeeel!” gerutu adikku, umurnya beda sepuluh tahun denganku.
Kami pesan soto mie Bogor dan teh tawar. Mamang soto mie tak asing lagi dengan keberadaan kami.
“Kumaha tos beres, Bu Haji?” tanyanya saat menyodorkan pesanan kami.
“Alhamdulillah bereees, Aa. Resmi nih si Teteh janda bengsraaat!” Adikku Ros menyahut.
“Jaher atuh nya, Bu Haji mah. Mobilna oge kereeeen! Disupiran ku nyalira deuih, serius hebatlah!”
“Etaaah, mobil anak Mang. Naon hubunganna mobil jeung jaher, coba,” gerutuku.
Saat menikmati sarapan kali ini di pinggir jalan, sekilas terkenang masa-masa dramatis dalam hidupku.
Jika dipikir, 32 tahun bertahan hanya demi Askes, ampunlah!
Terkenang lagi, mulai dari kata-kata kejam menikam, bukan saja kepadaku, merembet kepada anak.
Sampai akhirnya kupergoki dia berduaan di kontrakan dengan bini orang.
Masih mujur aku tak melaporkannya ke Erte. Kalau aku julid, teriak-teriak ada yang berzinah….Habislah dibakar kau itu, bah!
Eeeeh, ndilalah, masih juga dia terbalik otaknya!
“Habis tidur dengan siapa kau, baru pulang malam begini?”
“Itu tukang sampah saja kau ladeni pula, bah!”
“Berapa ronde tadi kalian di hotel?”
Dan banyak lagi perkataan sangar diumbar dari mulutnya. Dasar paranoid parah!
Giliran putriku pulang malam dari seminar, di teras rumah langsung diberondong:”Hei Butet! Jam segini baru pulang kau? Mau jadi pelacur apa kau ini, bah?!”
Pastinya terdengar oleh anak-anak muda yang sedang nongkrong tak jauh dari teras rumah.
Putriku sambil bercùcuran airmata, seketika mengemasi baju dan bukunya.
“Mama, maafkan Butet. Mau tinggal di apartemen sajalah. Takut mendadak gila diteror si mulut busuk begitu,” katanya ketika pamitan, tak bisa kutahan-tahan lagi.
Sambung
