Kemarin, saya menulis postingan di Facebook. “Dalam 1 x 24 jam dari sekarang, saya buka kesempatan menerbitkan satu buku secara gratis. Silakan inbox.” Pernyataan saya ini dapat dipertanggungjawabkan, bukan hoaks. Walaupun tidak berpikir ke arah social experiment, ternyata respons yang muncul cukup menjadi bahan perenungan, bahkan membuat saya tersenyum hingga menggeleng-gelengkan kepala.

Pertama, ada seorang teman yang sudah kenal dengan baik langsung menulis pesan melalui WhatsApp. “Mau dong nerbitin buku gratis,” tulisnya. Saya membalas pesannya, “Apakah naskahnya sudah siap?” Dijawabnya, “Hmm…” ya sudah, case closed.

Sebenarnya tidak sulit juga menerbitkan buku secara self/vanity publishing. Naskah sederhana pun bisa terbit. Minimal ada prakata, daftar isi, lalu isi buku, dan narasi biodata/tentang penulis pun bisa langsung masuk ke templat Microsoft Word. Selanjutnya, diberi desain sampul depan dan belakang, diajukan ISBN, tiga hari kemudian terbitlah nomor ISBN.

Namun, ada keprihatinan saya di sini. Sudah sering saya melihat tata letak buku yang hanya menggunakan templat Microsoft Word pun bisa terbit. Bahkan, seorang penulis pernah mengatakan, “Itu asli file Microsoft Word dari saya, Kang. Nggak ada perubahan sama sekali, hanya penyuntingan mekanis, itu pun masih banyak kesalahan. Diberi desain sampul seadanya. Jujur saya jadi nggak pede menjual buku saya.” Secara sederhana, saya pun menjawab, “Bagi saya, kualitas buku itu bukan hanya dilihat dari siapa penulisnya, tetapi juga siapa penerbitnya, terutama seperti apa tampilan luar dan dalam buku itu. Pembaca pun bisa menilai.”

Kedua, ada juga teman yang memberi komentar, “Mau dong!”. Lha, kan sudah saya tuliskan, “Silakan inbox.” Lucunya, ada yang memberi komentar, “Inbox.” Kemudian saya periksa, tidak ada pesan yang masuk. Maksudnya apa? Saya yang harus menulis pesan ke dia? Lha, siapa yang butuh? Bikin geleng-geleng kepala, kan?

Ketiga, ini yang paling menarik. Ada seorang trainer yang menulis pesan di inbox dan menyatakan ketertarikannya. Lalu, saya bertanya, “Apakah naskahnya sudah siap, Coach?” Dijawabnya, “Ya, sudah siap.” Baiklah, saya balas lagi pesannya, “Kalau begitu mudah, tinggal masuk ke tata letak.” Lalu, trainer ini bertanya lagi, “Sistemnya seperti apa, Kang?” Daripada terus berbalas pesan, saya pun bertanya balik, “Maunya seperti apa, Coach?” dan setelah itu tidak ada balasan lagi.

Saya hanya tersenyum. Ini bukan pengalaman pertama kali saya dengan beberapa trainer. Mungkin kesimpulan saya ini terlalu subjektif, tidak mewakili secara keseluruhan. Dari beberapa pengalaman berinterasi dengan para trainer, saya melihat mereka ingin jasa mereka dihargai secara profesional, bahkan ada yang memasang tarif per jamnya. Tidak masalah, kan? toh namanya juga profesi. Namun, ketika mereka perlu sesuatu, katakanlah menerbitkan buku untuk mendukung personal branding, ada beberapa trainer yang masih bermental gratisan.

Logikanya begini, kalau mereka yakin naskah mereka bagus, mengapa tidak diajukan saja ke penerbit besar? Sudah jelas sistem royaltinya. Di sini saya hanya ingin mengatakan, “Penerbitan buku dilakukan oleh orang-orang yang punya skill, punya kompetensi. Penyunting, penata letak, dan semua yang terlibat dalam penerbitan buku pun adalah orang-orang yang berprofesi.”

“Anda ingin jasa Anda dihargai secara profesional, tetapi Anda masih mencari support yang gratisan?” Maaf, integritas Anda sebagai trainer patut diragukan. []

(Visited 56 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Abah Iyan

Sosiopreneur, Writerpreneur & Book Publisher

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.