Pipiet Senja
Saya tulis catatan ini usai baca statusnya Budi P Hutasuhut. Seorang sastrawan, jurnalis pernah jumpa di Riau. Namun kini ia tinggal di Sipirok Sumatera Utara.
Siapa pembaca karya kita? Demikian inti yang ditulisnya.
Tegerak untuk sharing, saya menulis di kolom komentar. Saya menulis sebagai terapi. Itu awalnya sama sekali tak peduli ada honornya atau tidak.
Bayangkan saja, berbulan-bulan diopname dan dokter sudah bilang kepada Bapak, kurang lebih: harapan hidup putrimu tipis.
Kalau tak dibekali iman kuat, serius bisa putus asa dan harakiri. Tidak, saya meluahkan segala galau, resah pasah di buku harian.
Dari hobi dan catatan harian itulah, ternyata hasil pena atasnama Pipiet Senja diminati. Ceritanya punya fans, pembaca terutama kaum perempuan. Sebab saya banyak menyuarakan tentang kisah perempuan.
Setelah Lansia tetap menulis di platform ; titip karya untuk anak cucu. Kebetulan anak cucuku nyandu buku.
Kalau dulu saya banting tulang, begadang dikejar deadline.
Kini santai saja, sambil piknik menyebar virus menulis di kalangan santri. Hepi juga kok meskipun hanya menghasilkan recehan saja.
Setidaknya pernah berkelana dengan karya ke beberapa negara. Dihajikan sekali dan diumrohkan dua kali gratis. Berkahnya berkarya di jagat literasi.
Oya, saya tak pernah mempermasalahkan; apakah karya saya termasuk sastra atau hanya pop semata?
Ada yang bilang karya saya inspiratif, penyemangat dan bersyukurlah hanya dua orang yang pernah menghujat garang, memoar Dalam Semesta Cinta.
Ini saya catat dengan spidol merah di buku harian yang terbawa banjir.
Sekadar saran saja kepada para penulis masa kini. Tolong, janganlah merusak jagat literasi Indonesia dengan pornografi.
Jangan hanya demi cuan, kalian tega menulis syahwat esek-esek. Itu merusak otak generasi cucuku!
Menulislah yang baik-baik saja, tidak menyesatkan. Kelak setiap tulisan kita akan dimintai tanggung jawab.
Ayo, jangan menyerah untuk menulis. Teruslah menulis hingga detak jantung berhenti.