Oleh: Gugun Gunardi*

Angklung adalah sebuah alat musik, yang terbuat dari susunan beberapa batang bambu. Dalam sejarah Kerajaan Sunda (abad 12-16), angklung dimainkan untuk memuja Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi). Sedangkan dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa angklung dipakai untuk menyemangati mereka saat melakukan peperangan.

Angklung adalah alat musik tradisional dari Jawa Barat. Cara memainkannya tergolong mudah, cukup menggoyangkannya hingga menghasilkan suara. Dari beberapa alat musik asli Indonesia,
angklung terdaftar sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity dari UNESCO sejak November 2010.

Dr. Groneman mengatakan, angklung sudah ada di Nusantara sebelum zaman Hindu. Alat ini diciptakan menyerupai alat musik calung dengan bambu yang berbeda ukuran sesuai tinggi rendanya nada.
Versi lain mengatakan angklung ditemukan pada abad ke 7 di wilayah Jawab Barat oleh seorang petani yang sedang main di kebunnya. Ketika mendengar bambu bergerak karena tiupan angin, si petani mencoba untuk menciptakan suara serupa dengan bambu yang berbeda ukuran.

Selanjutnya, angklung pun mulai dikenal pada abad-19 lewat tangan seorang seniman. Ia menggunakan alat musik ini untuk pertunjukkan teater dan wayang. Konon orang itu adalah Kuwu Citangtu, dari Kabupaten Kuningan, yang terkenal dengan panggilan Pa Kucit, dengan angklung nada pentatonis.
Seiring berjalannya waktu, angklung akhirnya dikenal oleh dunia. Sebuah kelompok seniman Indonesia yang dipimpin oleh Daeng Soetigna membawa angklung ke luar negeri dan tampil di Paris pada tahun 1938, dengan angklung nada diatonis.

Angklung yang merupakan musik asli Indonesia, saat jni masih sering terdengar dimainkan di dalam pintonan yang berupa konser. Sebab angklung, jika dimainkan oleh jumlah pemain yang banyak, alunan gemuruh suaranya akan semakin enak didengar. Karena angklung memang harus dimainkan oleh sejumlah pemain yang banyak, sebab setiap satu angklung hanya akan menghadilkan satu nada. Oleh sebab itu, setiap konser angklung pasti tidak akan kurang dari 30 orang pemain.

Seperti yang penulis saksikan pada tanggal 4 Oktober 2023. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Angkung Universitas Al Ghifari (Unfari) kurang lebih 35 orang, di bawah komando Kepala Pusat Lembaga Kebudayaan Sunda, Dr. H. Gunawan Undang, M.Si., minton (tampil) di hadapan Anggota Senat Unfari dan Mahasiswa Baru (MABA) Unfari. Pada kesempatan tersebut, tak lupa para MABA, mendapatkan pembekalan akademik dari Prof. Dr. Muradi, Guru Besar Unpad, staf akhli KAPOLRI.

Dengan dipimpin oleh diligent Egi Herdiawan, UKM Angklung Unfari minton menghibur para MABA pada kesempatan penerimaan MABA tersebut. Terdengar beberapa lagu dilantunkan oleh dua orang mahasiswi Unfari, dengan iringan orkestra angklung dari UKM Angklung Unfari. Lagu-lagu daerah yang cukup dikenal di Nusantara dilantunkan pada acara itu. Tentu saja, lagu Sunda mendominasi untaian lagu yang dilantunkan.

Yang menarik adalah ketika UKM Angklung ini mengakhiri konsernya. Mereka menyanyikan sebuah lagu yang digubah oleh vokalis Ungu, Pasa Ungu dan dipopulerkan oleh penyanyi dangdut Nazar, yaitu dengan judul lagu “Mati-mati Lampu”. UKM Angklung tampil lebih enerjik sambil berjoged. Tentu saja momen tersebut, mengundang beberapa MABA, ikut berjoged bersama biduan, basis, dan gitaris pengiring UKM Angklung.

Rupa-rupanya, irama lagu dangdut tersebut juga mengundang naluri seni Anggota Senat Unfari. Rektor Unfari Prof. Dr. H. Didin Muhafidin, M.Si., yang juga Ketua Senat Unfari, bersama dengan beberapa anggota senat, turun dari panggung kehormatan untuk berjoget bersama MABA, dan dosen yang hadir pada penerimaan MABA Unfari tersebut.

Melalui alunan musik angklung yang dimainkan oleh UKM Angklung Unfari, kebersamaan terjalin penuh dengan kegembiraan, di antara Pimpinan Unfari, dosen, mahasiswa, dan terutama ucapan selamat datang kepada MABA Unfari, terasa lebih akrab.

Semoga, hari-hari berikutnya akan lebih baik lagi, silaturahmi di antara keluarga besar sivitas akademika Unfari. Aamiin Allohuma Aamiin.

Sumber Bacaan:

  • Hanif Hawari. detikEdu (Sabtu, 25 Mar 2023 09:15 WIB).
  • Jurnal Petabudaya Belajar Kemdikbud, (Selasa 21/3/2023).

*Dosen Tetap Fasa Unfari.

(Visited 41 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: