Oleh: Gugun Gunardi*
Musik dangdut yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, sebetulnya belum terlalu lama hadir di dalam blantika musik nasional. Musik dangdut mulai hadir pada sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya musik ini lebih dikenal dan didahului orkes melayu (OM), sebelum muncul musik dangdut.
Jika menengok ke belakang, diperoleh catatan di dalam beberapa tulisan sebelum Perang Dunia (PD) ke-2, pada sekitar tahun 1942-1945, di Betawi sudah berdiri Orkes Melayu Tradisional, yang dikenal dengan Orkes Melayu Deli. Lirik-lirik lagunya berisi pantun, dengan tidak ada refrein. Lagu-lagu jenis ini, saat itu sangat digemari masyarakat Betawi.
Lagu-lagu yang terkenal dan digemati saat itu antara lain; ‘Bunga Tanjung’, ‘Tudung Periok,’ ‘Burung Putih’. Lagu-lagu tersebut suka diikuti para penari pria, dengan membawa kerudung di kedua tangannya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, hadir seorang penyanyi gambus, yang lahir di Surabaya pada tahun 1908, beliau bernama Syekh Albar (orang tua dari Ahmad Albar – Rocker). Pada tahun 1935, suaranya Syekh Albar direkam dalam piringan hitam dan mengalunkan lagu-lagu bernuansa padang pasir. Lagu-lagu yang dilantunkan Syekh Albar sangat digemari di Betawi. Suara dan petikan gambusnya tidak kalah dengan Abdul Wahab, seorang musikus gambus yang terkenal dari Mesir.
Pada awal tahun 1950-an, terjadi peralihan dari lagu-lagu berirama Orkes Melayu Deli ke dalam jenis lagu-lagu yang bertemakan cinta. Kehadirannya diawali oleh Orkes Gumarang pimpinan Asbon, yang lebih banyak membawakan lagu-lagu Melayu berirama Minang. Kemudian disusul dengan kelompok musik dari daerah Pekojan Jakarta Barat, para musisi gambus mendirikan Orkes Melayu Kenangan yang dipimpin oleh Husein Aidit, kemudian berdiri Orkes Melayu Sinar Medan, yang dipimpin oleh Umar Fauzi Aseran, dan hadir juga musik melayu Bukit Siguntang yang dipimpin oleh A. Halik dari Jakarta.
Pada masa peralihan ini, yang ditandai pula dengan kemunculan Orkes Melayu. Kehadiran Orkes Melayu Chandralela yang dipimpin oleh Husein Bawafie, musiknya sudah tidak bergaya Melayu Deli, tapi sudah lebih modern, meskipun masih menggunakan nama Orkes Melayu.
Pada saat itu di Jakarta, lagu-lagu Melayu Deli sudah jarang dinyanyikan. Meskipun demikian, di daerah seperti Riau dan Medan justru bermunculan penyanyi-penyanyi muda bernuansa melayu, salah seorang di antaranya Nuraini.
Hampir bersamaan waktunya, seorang anak Betawi keturunan Cina, yang ikut kakeknya ke Medan, banyak menggubah lagu-lagu bernuansa Melayu. Penggubah dan penyanyi Melayu tersebut bernama Lily Suhairy dengan lagunya ‘Bunga Tanjung’, yang hingga saat ini terkenal di Malaysia dan Singapura.
Pada sekitar tahun 1950-an, mulailah masuk ke Indonesia, film-film India, yang kala itu belum di-dubbing, tapi hanya diberi teks berbahasa Indonesia. Kehadiran film India yang kental dengan musik dan lagu, sangat digemari masyarakat Indonesia. Berhubung lagu-lagunya sulit dinyanyikan oleh lidah orang Indonesia, maka banyak dari lagu-lagu tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada masa perfilman India inilah, dikenal munculnya istilah dangdut. Yang berasal dari irama gendang yang berbunyi: dang … dut … dang … dut. Tokoh-tokoh yang turut serta melahirkannya adalah Husein Bawafie, Muhammad Mashabi, dan Munif Bahasuan. Beliau-beliau kemudian menjadi pelopor dari lahirnya musik dangdut di Indonesia. Sedangkan penyanyi wanitanya yang mulai muncul Ellya, Juhana Sattar, dan Hasnah Tahar. Husein Bawafie, pimpinan Orkes Melayu Chandralela, yang selama 40 tahun kariernya di bidang musik telah berhasil menciptakan sekitar 200 lagu, di antaranya ‘Seroja’, yang sampai saat ini masih sering dinyanyikan.
Lagu-lagu gubahan Muhammad Mashabi, yang muncul pada masa peralihan dari irama Melayu ke irama dangdut, lebih kental nuansa Indianya. Masih abadi hingga saat ini, lagu ‘Ratapan Anak Tiri’, yang sudah dua kali difilmkan. Muhammad Mashabi meninggal dalam usia muda pada tahun 1967 dan belum berkeluarga.
Di dalam masa kegandruman masyarakat akan lagu-lagu melayu berirama India inilah, bermunculan sejumlah penyanyi generasi muda. Antara lain yang terkenal seperti, Muchsin Alatas, bersama Titiek Sandhora, yang kemudian menjadi pasangan suami-istri. Beliau beralih dari lagu-lagu pop ke lagu dangdut.
Puncak dari buming lagu dangdut, ditandai kehadiran penyanyi Rhoma Irama, yang di kemudian hari mendapat gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC), kemudian mendapat pula gelar Profesor dari salah satu perguruan tinggi di Amerika. Prof. Dr. Rhoma Irama, menjadi pionir yang mengawinkan orkes melayu dengan Musik Rock, Pop, India, dan Orchestra. Beliau telah melahirkan warna baru pada musik dangdut. Berkat karya-karyanya, Beliau kemudian mendapat julukan ‘Raja Dangdut.’ Prof. Rhoma Irama sangat berperan dalam memasyarakat lagu-lagu dangdut. Beliau, namanya meroket lewat lagu ‘Begadang’ pada tahun 1973. Sedangkan penyanyi wanitanya, di antaranya Elvie Sukaesih, beliau pernah menjadi bintang di Orkes Melayu Chandralela, pimpinan Husein Bawafie. Tahun berikutnya Elvie Sukaesih pun terkenal dengan julukan Ratu Dangdut.
‘Dangdut is the music of my country’. Demikian untaian lirik dalam salah satu lagu milik grup musik Project Pop. Sangat beralasan tuturan tersebut dilontarkan, dan tidak berlebihan. Musik dangdut memang melekat dan menjadi keseharian masyarakat Indonesia, hingga kerap hadir untuk menghibur di dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Dangdut selama ini lebih dikenal sebagai musik masyarakat kelas akar rumput. Malah ada yang menganggap bahwa dangdut hanya hiburan picisan, musik untuk berjoget yang tidak menimbulkan kesan kreatif. Akan tetapi, musik dangdut memiliki sejarah panjang, dan sampai saat ini masih mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Kini, berbagai ajang pencarian bakat penyanyi dangdut di televisi, turut mengangkat martabat musik dangdut, menjadikannya semakin populer, dan semakin digemari oleh para pemirsanya.
Merujuk tulisan Moh. Muttaqin, dosen Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang, dalam “Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol. VII No.2/2006”, istilah ‘dangdut’ muncul sekitar tahun 1970-an. Memasuki periode 1970-an, musik barat terutama rock mendapatkan popularitas yang tinggi di tanah air. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi musik Melayu. Di sisi lain, aliran rock juga memberi nuansa baru bagi musik Melayu, hingga muncul unsur instrumen elektrik pada musik Melayu.
Pada masa itu, grup musik Orkes Melayu Soneta mulai berdiri. Di orkes inilah Raja Dangdut Rhoma Irama memulai karier bermusiknya. Sekitar tahun 1972–1973, Rhoma Irama yang waktu itu masih dikenal dengan nama Oma Irama menciptakan lagu “Dangdut”. Di sini pula, Rhoma menemukan gaya musiknya sendiri yang menggabungkan antara musik Melayu dengan rock.
Muttaqin menjelaskan perbedaan musik Melayu dengan dangdut ciptaan Rhoma. Jika musik Melayu biasanya membuat penonton menghentakkan kaki, dangdut cenderung memaksa penontonnya melepaskan alas kaki lantas bergoyang. Sederhananya, dangdut memiliki karakter yang lebih energik dan meriah di telinga pendengarnya. Sejak itu, Rhoma Irama dengan O.M. Sonata menjadi populer di kalangan masyarakat. Meski memiliki warna yang khas, sebagian orang masih menganggap dangdut sebagai bagian dari variasi baru musik Melayu. Rhoma dan orkesnya berkontribusi banyak mengangkat kembali pamor musik Melayu yang sebelumnya pudar setelah masuknya arus musik Barat.
Masih menurut Muttaqin, kesuksesan O.M. Soneta di masa itu memberi pengaruh pada orkes-orkes Melayu lainnya. Banyak grup yang mulai mengadaptasi penggunaan instrumen-instrumen musik modern (elektrik).
Selanjutnya, Muttaqin menjelaskan, dalam pusaran itu, O.M. Soneta dan Rhoma Irama menjadi idola baru para penikmat musik, terutama dari kalangan masyarakat kelas akar rumput. Secara bersamaan, istilah ‘dangdut’ kian sering digunakan untuk merujuk musik yang dibawakan O.M. Soneta. Pada tahun 1980-an, muncul grup baru yang mengembangkan gaya bermusik O.M. Soneta. Grup ini bernama O.M. Tarantula, dengan Kamelia Malik sebagai penyanyinya. Grup ini memadukan musik Melayu dengan rock dan nuansa Timur Tengah. Muttaqin mencatat, kehadiran O.M. Tarantula memberi daya yang besar bagi perkembangan musik dangdut di kemudian hari, terutama dalam memopulerkan dangdut di kalangan masyarakat kelas menengah.
Selain mempertegas warna musik dangdut, menurut Muttaqin, kelompok ini yang pertama kali membawa tarian-tarian etnik ke panggung musik, yang kemudian menjadi wajah umum musik dangdut di sekitar tahun 1980 sampai 1990-an.
Disco Dangdut
Wajah dangdut tidak monoton setelah itu. Pada tahun 1990-an, muncul sub-genre musik dangdut bernama disco dangdut. Musik ini umumya menghadirkan medley lagu dangdut, serta penggabungan antara drum dangdut dengan drum Barat.
Kehadiran disco dangdut memberi pengaruh yang lebih luas lagi bagi perkembangan musik dangdut secara umum. Jika O.M. Sonata memopulerkan dangdut ke masyarakat kelas akar rumput, maka O.M. Tarantula di segmen kelas menengah. Maka disco dangdut yang dibawakan banyak penyanyi atau grup, mengantarkan dangdut ke diskotek-diskotek dan pusat hiburan perkotaan.
Lebih lanjut Muttaqin menjelaskan, jika gelombang perkembangan dangdut itulah yang kemudian berkembang dan memberi wajah bagi musik dangdut di tahun 2000-an hingga hari ini. Di periode setelahnya, bermunculan semakin banyak grup atau penyanyi dangdut dengan berbagai pembaruannya, namun tetap tak meninggalkan ciri khas utamanya, yaitu irama “dang” dan “dut”.
Bahan Bacaan Rujukan:
- Andesta Herli Wijaya, Yanurisa Ananta. 2021. Perjalanan Dangdut, Dari Orkes Melayu Hingga Disko Dangdut. Jakarta: Antara.
- Rudy Haryanto. 2021. Orkes Melayu dan Dangdut Keberadaanya Sejak 1930. Jakarta: Kebudayaanbetawi.com.
- Ku ka, Ku ka. 2020. Asal Mula Musik Dangdut di Indonesia. Jakarta: favorite_border0 Suka.
Moh. Muttaqin. “Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol. VII No.2/2006”.
*Dosen Tetap Fasa Unfari.