Oleh: Ririn Gumela Sari*

Sayup-sayup suara azan Subuh terdengar. Perlahan aku bangkitkan tubuh dari pembaringan, kulangkahkan kaki, membasuh seluruh tubuh dengan niat menyucikan diri untuk sujud pada Sang Pencipta.Dalam sujud, kuberserah diri sebagai seorang hamba yang lemah dan jauh dari kesempurnaan untuk selalu berproses menjadi pribadi yang lebih baik.

Semenjak hadir di dunia ini, tersambut dengan lantunan bisikan seruan nama indah-Mu, ya Rabb. Itulah bisikan ilmu pertama yang bersemayam dalam kalbuku untuk menjadi insan yang beriman dan berilmu. Berbagai pembelajaran yang kudapatkan membuat diriku semakin kuat meniti kehidupan. Setiap desah napas, setiap pandangan mata, setiap bisikan suara, setiap ucapan kata, dan setiap sentuhan lembut selalu menjadi pembelajaran yang bermakna.

Malam itu, ketika pelan mulai beranjak ke puncak, tiba-tiba ponsel berbunyi. Pesan yang kubaca perintah dari atasan untuk mengikuti penguatan literasi menulis bagi guru di era Merdeka Belajar. Nampaknya tidak ada alasan untuk menolak walau diri ini dalam keadaan tidak fit. Dengan penuh keraguan, kukemas semua perlengkapan tempurku di medan ilmu, plus sekantong obat yang bisa membantuku agar selalu kuat dalam pengembaraan ilmu.

Sampai di lokasi workshop, pandangan pertamaku tertuju kepadanya, rasanya aku pernah bertemu dengan sosok ini, entah di mana dan kapan, namun aku merasakan sosok ini tidak asing di pelupuk mata. Ketika mendengar lantunan suara yang keluar dari bibir yang begitu fasih dalam bersyair, aku terpesona, aku tertegun, inilah sosok inspiratif yang selama ini dirindukan oleh komunitas pencinta literasi menulis se-Nusantara, tidak terkecuali di bumi sejuta pesona Pesisir Selatan.

Ruslan Ismail Mage, itulah nama yang melekat pada dirinya. Seorang inspirator dan penggerak jiwa yang diutus terbang dari Pulau Sulawesi ke Ranah Minang. Lebih mengejutkanku, ia menyatakan dirinya orang asli Bugis yang tidak pernah berhenti jatuh cinta pada alam budaya Minangkabau. Betapa ia mengagumi Ranah Minang, sebesar itu pulalah rasa kekagumanku kepadanya.

Lantunan syair ilmu bertubi-tubi keluar dari bibir fasihnya, meneror pikiran dan hatiku, seakan meracuni untuk menyatukan ilmu-ilmu literasi yang ada bersarang pada dirinya, mentransfer dan men-charge ke otak dan pikiranku. Tubuh yang lemah terasa begitu kuat, tidak kurasakan sakit yang menggerogoti tubuh ini, seakan dikalahkan oleh virus literasi yang menghipnotis tubuhku dari seorang inspirator hebat Bapak Ruslan Ismail Mage.

Dua hari membersemai kami, berbagi ilmu dengan para penghaus ilmu seakan terasa begitu cepat. Tak ingin rasanya diri ini pergi pulang karena masih banyak yang ingin kugali dari lautan ilmunya yang tak bertepi. Ingin kubelenggu ilmu yang dimilikinya, agar aku bisa menjadi hebat sepertinya.

Bang RIM, itulah panggilan akrabnya. Hipnotislah para seluruh pengembara ilmu yang ada di Nusantara agar mereka selalu menuliskan rangkaian kata demi kata yang dapat menjadi sejarah lahirnya kembali penulis besar di Ranah Minang. Selalu kutunggu kehadiranmu, selalu kunanti, dan tak akan kulewati kesempatan yang membuatku selalu terkagum-kagum padamu, sang inspirator jiwaku. Lantunan syair narasimu bertubi-tubi menusukku. []

*Guru penulis Pesisir Selatan

(Visited 419 times, 1 visits today)
One thought on “Lantunan Syair Narasimu Bertubi-tubi Menusukku”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.