Oleh: Gugun Gunardi*
Bunga Cempaka Kuning,
yang ku taman di kebungku.
Sebagai tanda pertemuan di pelaminan.
Kini semakin bertumbuh dewasa dan kuat.
Sudah berpuluh kali kupotong tangkai tuanya,
agar bentuknya tetap indah dipandang.
Tetapi kau bercabang terus,
semakin subur, kulit dan batangmu semakin keras.
Usia 42 tahun seusia perkawinanku,
telah kau lalui dengan mulus.
Tak pernah ada benalu menempel di batangmu,
karena aku marawatmu dari sejak aku menanammu.
Kini cabang batangmu,
semaking merambah ke barbagai arah.
Daunmu pun semakin tumbuh subur.
Aku tak sanggup lagi merawatmu seperti dulu,
jarena kau semakin tinggi menjulang.
Hanya yang dapat kujangkau,
dengan tanganku saja.
Dan dengan sisa tenagaku.
Bungamu semakin hari,
mengeluarkan aroma wangimu yang semerbak.
Yang mengundang orang lewat melirikmu.
Dimanakah wangi mu?
Serta ingin melihatmu.
Meyakinkan semerbak wangi yang kau bagikan.
Dengan daun yang subur.
Di cabang yang semakin merambah.
Telah memberikan tempat yang nyaman,
dari penatnya sinar mentari.
Di tengah hari yang menusuk.
Mahluk-mahluk lain pun,
ikut hidup di kelinduhan
batang dan daunmu.
Burung kutilang pun,
hidup berpasangan. Beranak pinak berketurunan dengan nyaman.
Tokek dan cecak berbadan kekar dan sehat.
Mereka tak usah jauh-jauh mencari makanan.
Mereka datang karena wangi bungamu,
dan kelinduhanmu.
Telah pula mengundang datang makanan kesukaan mereka.
Di pagi hari,
menjelang mentari manyapa pagi.
Burung kutilang ramai bersahutan.
Berlompatan bertegur sapa. Menyambut hangatnya mentari.
Menyapa ramahnya alam semesta.



Ku dengar di kejauhan.
Betapa cerianya mereka.
Suaranya nan merdu berhasutan.
Memangunkan alam semesta,
dari tidurnya yang pulas.
Membangunkan jiwaku,
dari lamunanku yang panjang.
Aku masih hidup.
Aku masih bisa berpikir.
Meski badangku semakin rapuh.
Aku harus bermanfaat.
Sekecil apapun,
Aku harus tegar.
Setegar cempaka yang kutanam 42 tahun yang lalu.
(… Kutulis saat aku… menghadapi keraguan dalam hidupku…)
Bandung 23-10-23.
*Dosen Fasa Unfari.