Pipiet Senja

Pagi itu, ketika aku sedang asyik taktiktok depan laptop, melanjutkan garapan novel.

Tiba-tiba ponselku dengan jaringan Telkomsel supercepat berdering dengan lagu si Borokokok;
Kang aya SMS, Kang, enggal diangkat, ieu abdi bisi katoel, tos gudal-gadel yeuh…

Hadeuh, usil amat yang kirim ringtone, gherrr!

Kulihat nomer rumah dari Cimahi, ternyata emakku.
Belum apa-apa aku sudah nyelak; “Nanti ya Mak, belum dapat THR-nya juga. Besok, ya, tenang, Mak!”

“Eh, biarin, ini kepingin ketawa Emak,” tukasnya, kudengar menahan tawanya.
“Oh, ada apa Mak?” tanyaku ingin tahu.

Sebab jarang-jarang loh nenek-nenek kepingin ketawa, giginya kan sudah ompong men!

“Kemarin, pas Emak lagi jajan makan sate kikil di emperan kantor Pos, mau ambil pensiunan. Eh, ujug-ujug ceprot!”

“Apaan tuh?” tanyaku penasaran sambil degdegan. Maklum, jantung emakku suka ceprat-ceprot dan berujung diangkut ke ICCU.

“Gigi palsu Emak ujug-ujug coplok!”
“Dipungut lagi gak, Mak?” tanyaku gopoh-gopoh.
“Gak bisa karena langsung ketelen….”
“Ketelen sama siapa?” tanyaku jadi linglung.

Padahal masak iya sih, gigi copot ketelen tetangga apa tukang sate kikilnya, ya kan?

“Iya, ini ketelen sama Emak sendiri atuh, hihihi,” terdengar deraian tawanya.
“Ada apaan, Mah?” tanya Butet, putriku yang baru kelar nyeterika seragam sekolahnya.

“Kabar dukacita, Tet,” sahutku lemes, begitu sambungan diputus emakku, langsung tubuhku ngegubrak ke ranjang.

Sebenarnya otakku belum konek sepenuhnya tuh. Ini urusannya kan; gigi palsu, makan sate kikil, ketelen sendiri. Alamaaak!

“Dukacita, siapa yang meninggal, apa Omah me…?”
“Husy!” Aku memelototinya, jangan sampai dia bilang emakku meot, awasss saja!

“Iya ada apa?” tanya Butet, tampak penasaran sekali.
“Gigi palsu Omah coplok satu. Padahal lagi asyik makan sate kikil, katanya, trus ketelen deh!” Aku coba meruntut kronologis Balada Gigi Palsu Omah.

“Apanya yang ketelen?”
Nah kan, sama gak koneknya dengan gw!

“Ya itu tadi, gigi palsunya ketelen Omah!”
“Apa?! Gigi palsu ketelen sendiri sama Omah, oh, oh, wuakakaka…”

Yeeeeeh, nih bocah malah ngakak sampai guling-gulingan. Serius, lihat dia ngakak jadi ikutan ngakak daku.
Maafkan kami, ya Emak.

Sampai keluar rumah, berangkat sekolah, masih kudengar tawa si Butet.

Demikian pula denganku, sambil berbenah-benah tak urung bibirku mesem-mesem.

Kebayang saja, bagaimana nini-nini lagi asoy geboy jajan sate kikil, tahu-tahu; ceprooot, heekkk!

Duhai, kasihan nian emakku tersayang, aaarrgh!

Buruan harus kukirim dananya buat ganti gipalnya.

Saat itu, 2010 sudah punya norek Omah si Butet.

(Visited 4 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: