Feni Linda Wati – Ed. Pipiet Senja

Dulu sekali saat dokter bilang Alin akan tergantung transfusi seumur hidup. Aku pernah khawatir akan kesulitan mengajaknya bolak balik ke RS. Seumur hidup harus menjalani rutinitas yang sama. Pasti akan ada rasa jenuh.

Apalagi saat ke RS dia sudah tahu apa saja tindakan medis yang akan dia terima. Dia juga tahu bagaimana sulitnya para perawat saat memasang infus di tubuhnya. Sejak usianya masih hitungan bulan. Entah sudah berapa banyak lengan mungilnya dilukai.

Saat usianya menginjak 5 th. Saat dia TK kecil. Allah menjawab doaku. Allah lunakkan hatinya untuk menerima takdirnya. Dia sangat kooperatif. Aku tidak perlu membujuknya untuk ke rumah sakit, karena jika tubuhnya terasa tidak nyaman dia justru yang minta diantar ke rumah sakit. Ajaib kan. Sebenarnya tidak. Karena itu memang janji Allah.

Allah akan menciptakan manusia sesuai dengan takdir yang akan disandangnya di dunia.

Sejak Alin dapat tambahan diagnosa TIA, hal yang paling kutakutkan adalah bagaimana jika TIAnya kambuh saat dia berada di sekolah. Dan benar saja, yang kukhawatirkan ini terjadi kemarin.

Saat aku menjemput Alin sekolah. Alin keluar dari ruang guru, tempat dia biasa menungguku. Ekspresi wajahnya tidak seceria biasanya. Biasanya dia langsung tersenyum saat melihatku. Itu selalu dia lakukan.

Saat di motor dia bilang:
“Tadi Alin kambuh Ma. Alin gak bisa nulis, karena Alin tidak bisa megang pensil. Kepala Alin juga sakit.”
“Iyakah? sekarang masihkah?”
“Sekarang sisa sakit kepala saja.”

Untuk sejenak aku terdiam. Aku yang awalnya mau terus ke ATM, mengurungkan niatku. Dan langsung menuju arah pulang ke rumah.

Sampai di rumah dia kusuruh makan dulu, lanjut istirahat di kamar yang dingin. Saat di kamar kuajak Alin berbincang.
“Tadi Alin bilang gak sama Bu Rusma kalau Alin kambuh?”
“Tidak”
“Kenapa?”
“Alin gak bisa ngomong Ma. Alin takut Bu Rusma gak paham, Alin ngomong apa.”
“Pipi Alin ketarik?”

“Iyalah. Sampai hidung Alin juga ketarik,” katanya sambil tangan kanannya mencontohkan menarik pipi dan hidungnya.

Kulihat di wajahnya tidak ada ekspresi sedih, atau sakit. Dia terlihat bersemangat menceritakan kejadian itu. Bahkan tertawa.

Melihatnya begitu, kenapa hatiku perih. Kucari-cari di wajahnya. Apakah dia sedang menyembunyikan emosi yang sebenarnya. Tidak. Benar-benar tidak kutemukan. Padahal dia bercerita saat kambuh kakinya juga sempat lemas. Sehingga dia harus turun tangga dari lantai 3 ke lantai satu dengan kaki pincang. Hal ini dapat teguran keras dariku. Karena ini sangat berbahaya.

Kutanya Alin memastikan hal yang kupikirkan.
“Sebenarnya Alin gak bilang sama Bu Rusma, karena malu kan? Takut teman-teman ketawa, saat dengar Alin bicara belepotan.”
“Iya. Hahaha.” Alin tertawa.
“Alin takut kalau Bu Rusma bilang, apa? Apa? Apa?”

“Kan Alin bisa bicara pake bahasa isyarat. Pasti Bu Rusma menyadari kalau Alin kambuh. Lain kali harus bilang sama Bu Rusma, gak boleh diam saja.”

Sudah lebih dari 10 kali Alin mengalami gejala TIA. Jadi kemungkinan Alin sudah terbiasa dengan berbagai keluhan yang muncul. Tapi tetap saja. Hal ini justru membuatku perih.

Teringat saat radang empedunya masih sering kambuh. Dia juga kadang gak bilang kalau perutnya sakit. Saat aku sibuk dengan pekerjaan rumah tangga di dapur. Kanaya mendatangiku dan bilang, “Ma, sepertinya Alin sakit perut di kamar.”

Dan benar saja. Kutemukan dia berbaring di kamar dengan tubuh meringkuk menahan nyeri.

Kanaya pernah bilang: “Makanya mama jangan perlihatkan wajah panik. Karena Alin nanti tidak mau bilang kalau perutnya sakit.”

Begitu juga saat dia kembali dari ruang tindakan. Kulihat bajunya basah dengan airmata dan keringat. Tapi saat masuk ruangan, dia tetap tersenyum padaku.

Rasanya ingin kupeluk dia dan berkata:
“Jangan terlalu tangguh anakku. Sesekali kau boleh melepaskan baju besimu. Sesekali kau boleh menangis di pelukan Mama. Jangan menyimpan rasa sakitmu demi Mama, ini lebih menyakitkan bagi Mama.”

Samarinda, 04 November 2023
Emak ZiraNayaAlin

(Visited 9 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Pipiet Senja

Pipiet Senja, sastrawati Nasional, menulis sejak 1975. Berbagai genre, terutama tentang perempuan. Ribuan cerpen dan ratusan novel telah ditulis, tetapi yang baru diterbitkan sebagai buku 203. Mentor Literasi untuk santri Askar Kauny. Mentor kelas menulis TKI; Hongkong, Malaysia, Singapore, Mesir, Mekkah dlsbnya. Aktivitas Manini 67 tahun dengan lima cucu ini selain menulis, wara-wiri ke rumah sakit sebagai penyintas Thallasemia. Suka diminta Orasi dan baca puisi, sebab ia pun Aktivis 212. Pesannya:"Menulislah yang baik-baik saja, jangan menyesatkan, sebab kelak tulisan kita akan dimintai tanggung jawab. Salam Literasi."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: