Tidak diminta-minta kenangan suram yang tak pernah aku harapkan, datang begitu saja. Kenangan suram itu dimasa-masa sekolah menengah pertama di Ngawi Jawa Timur, padahal saat kenangan itu terekam jelas dalam ingatan, aku sedang di The Alana Sentul City Bogor, mengikuti kegiatan Kedinasan.
Dimana kenangan masa anak dibawah umur itu memantik rasa bahagia, sedih, lucu, kecewa, malu, marah bercampur aduk menyatu memasuki suramnya nostalgia masa lalu.
Hikayat puluhan tahu itu begitu terang benderang nongol di depan mata, padahal posisi fisikku terbaring di dipan empuk sebuah hotel berbintang lima yang letaknya dikelilingi pepohonan rindang, diiringi guyuran hujan membawa suasana menambah romansa memorable di Sentul City Bogor, Jawa Barat. Jumat, (16/2/2024) kemarin.
Cerita yang paling terngiang-ngiang ketimbang romansanya, adalah suram. Pada suatu malam dimana ketika itu aku sedang sendirian duduk-duduk dalam kamar pondok di desa Wareng Ngawi Jawa Timur, persisnya dibelakang Stadion Ketonggo Ngawi. Seorang pria berperawakan tinggi besar, berjaket loreng menggedor pintu kamar pondok.
Padahal kisah itu sudah puluhan tahun berlalu, tak mau lagi aku gali-gali, apalagi mengungkapnya, kok tiba-tiba nongol kembali, pertanda apa ini, dalam hati berkata sendiri.
Bukan kisah romantis dengan si mantan yang kini sudah beranak tiga, yang sudah pada dewasa. Si mantan itu teman sekelas jaman SMP yang tinggalnya di Jalan Perkutut, Desa Belukan Ngawi, Jawa Timur. Lebih dari itu kakaknya juga kawan akrab bermain kami sewaktu SMP, saya juga lebih sering tidur di rumah dia.
Biarlah, si mantan bahagia dengan pilihannya, dimana suaminya juga tetangganya sendiri dan statusnya orang terpandang di desa tersebut.
Setidaknya, aku pernah merasakan kehangatan kasih sayangnya sewaktu terkontaminasi virus cinta lama bersemi kembali. Rupanya Tuhan berkehendak lain, kami terpisah begitu saja, meski dalam hati masih ada rasa.
Lupakan dulu kisah manis ini, kembali saya mau menuangkan kisah kasih yang lain, tiba-tiba peristiwa tahun lalu datang di waktu lelap diranjang empuk hotel bintang lima The Alana Sentul Bogor.
Dari Alana itulah pengembaraan cinta masa-masa anak sekolah dahulu. Cerita itu berawal dari pertemuan dengan salah satu kawan akrabku jaman SMP, yang dipanggil Agung Katili di komplek Yon Armed. Saking seringnya bermain ke komplek tersebut, tanpa aba-aba seorang anak perempuan mengajak berkenalan. Anak perempuan tadi juga anak seorang tentara, bocah kolong sebutannya. Seiring perjalanan waktu, kami pun saling berkenalan dan menyatakan perasaan masing-masing, uniknya, pernyataan tadi disampaikan bukan secara langsung, tapi melalui bertukar ungkapan-ungkapan romantis ala Julia and Robet, dituturkan dalam sebuah buku tulis. Maklum, jaman semono urung ono hape (jaman dulu belum ada hape), chatingnya pake whatsApp.
Perempuan tadi menyerahkan sebuah buku tulis, yang isinya ungkapan perasaannya, setelahnya dia menulis di buku, dia memberikan buku tersebut untuk saya baca dan membalas ungkapannya.
Dasar masih lugu, culun dan ingusan, begitu saya baca isi dari buku tulis tersebut, kala itu cukup terbawa suasana romantis. Sekiranya rampung ditulis, buku tadi saya kembalikan ke pemilik buku, kalau bukan dia yang datang, aku yang main-main ke rumah kawan di komplek Armed Ngawi sewaktu SMP.
Entah berapa lama kami menjalani cerita romantis itu, sepertinya ndak terlalu lama juga, pasalnya kami berbeda keyakinan, bapaknya yang berseragam loreng itu pun tekun beribadah, bukan itu yang menjadi persoalan. Ndak tahu berapa hari itu. Seingatku, disuatu malam seorang bapak, yang perawakannya belum begitu aku kenal, menggedor pintu pondokanku, dan begitu mendapatiku, langsung menyeretku, tanpa banyak cakap, aku ikut saja…lah wong nggak tahu asal muasalnya, tiba-tiba nongol main tarik-tarik saja.
Bapak-bapak tadi juga tidak nanya-nanya ada permasalahan apa, dia terus membawaku ke sebuah jalan, ketika itu masih gelap gulita dan berdebu, yakni jalan keluar dan masuk menuju desa Wareng Beran Ngawi.
Tanpa aba-aba, bapak tadi menamparku, untungnya bapak tadi tidak membunuhku, barangkali kasihan melihat anak-anak bertubuh kerempeng berkeliaran sendiri tanpa orang tua. Apa yang bisa aku lakukan, kecuali hanya plonga-plongo, bengong kayak sapi ompong, tanpa banyak omong. Malah bingung aku dibuatnya kala itu.
Merasa puas telah menampar anak-anak lugu yang bingung akan kelakuan bapak tadi. Dia pun pulang tanpa pesan, sayapun balik lagi pondok juga seakan tidak terjadi apa-apa.
Sejak peristiwa tadi, aku tak lagi menerima buku dari kawan perempuan, yang pernah beberapa kali kencan jalan kaki dan tak sepatah kata terucap, memang dasar lugu, diajaknya jalan ya jalan begitu saja, mau traktir juga tidak punya uang. Lah, bagaimana lagi, namanya juga anak sekolah, bukan pengusaha tambang atau pegawai negeri saat itu.
Sampai sekarang, kalau aku ke Ngawi juga tidak ada kabar sampai setua ini. Semoga kawan perempuan yang pernah bertukar buku diary kalau nggak salah ingat ya lupa to, namanya Ermawati Posende dan adiknya yang tak kalah catik dari kakaknya, putri dari seorang tentara bertugas di Yon Armed Ngawi. Entah dimana keberadaannya, semoga dia hidup bahagia, kaya rasa dan masuk surga. Amin.
Begitulah suramnya nostalgila, yang nggak jelas juntrungannya, jadian juga kagak, malah bikin sedih, marah, bahagia tertawa geli mengingatnya.