Oleh: Muhammad Sadar*
Paccekke adalah sebuah nama kampung dan menjadi sebuah desa di wilayah administratif Kecamatan Soppeng Riaja-Pemerintah Daerah Kabupaten Barru. Dalam terminologi bahasa Bugis, kata Paccekke memiliki arti dingin atau mendinginkan. Makna kata tersebut berkesesuaian dengan kondisi geografis Paccekke dalam nuansa dingin dan sejuk pada siang hari atau malam hari.
Faktor geografis Desa Paccekke yang memengaruhi keadaan cuaca antara lain ketinggian wilayah antara 350-400 meter di atas permukaan laut, rata-rata curah hujan bulanan antara 36-658 mm dan curah hujan tahunan rata-rata antara 1.673-6.382 mm, dan rejim suhu 25-28 derajat celcius. Topografi Desa Paccekke merupakan daerah pegunungan, perbukitan, berlembah, sedikit permukaan datar dengan kondisi tanah berliat dan berlempung tanpa fraksi pasir.
Luas Desa Paccekke 24,55 kilometer persegi terdiri atas dua dusun, yaitu Paccekke dan Kading. Jumlah penduduk yang mendiami desa ini sebanyak 895 jiwa. Batas-batas wilayah desa meliputi Kecamatan Mallusetasi di sebelah utara, pada bagian selatan Kecamatan Balusu, sedangkan Kabupaten Soppeng di sisi timur serta di sebelah barat bertetangga dengan Desa Ajakkang yang merupakan desa induk dari hasil pemekaran desa tahun 1994. Hingga saat ini, Desa Paccekke telah dipimpin oleh 5 orang Kepala Desa sejak pemekaran. Jarak orbitasi desa dari ibukota kabupaten sejauh 30 kilometer sedangkan dari ibu kota kecamatan berjarak 10 kilometer (Profil Desa Paccekke, 2022).
Desa Paccekke bertipologi desa wisata karena didukung oleh lingkungan dan view desa di atas ketinggian dan lokasinya merupakan tempat bersejarah perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Di desa ini dibangun monumen Paccekke sebagai tempat konferensi pembentukan Divisi Hasanuddin atas mandat yang diterima Andi Mattalatta dari Panglima Tentara Republik Indonesia
(TRI) Jenderal Soedirman di Markas Besar Tentara Yogyakarta pada tahun 1946 untuk membentuk wadah tentara di Sulawesi.
Konferensi Paccekke berlangsung 20-22 Januari 1947 di mana dibentuk organisasi perjuangan yang menghimpun seluruh kekuatan pejuang untuk menghadapi dan melawan penjajah Belanda (NICA).
Agenda utama konferensi adalah pembentukan satu divisi tentara, yaitu TRI Divisi Hasanuddin (sebagai cikal bakal Kodam XIV/Hasanuddin di kemudian hari) yang terdiri atas empat buah Resimen dan semua elemen perjuangan dalam bentuk kelaskaran dilebur menjadi batalion-batalion tempur pada setiap resimen.
Sebagai gambaran umum tentang monumen Paccekke yang dilatari hutan pegunungan adalah meliputi 5 buah pilar batangan yang terbuat dari beton dan tegak berdiri kokoh setinggi 4 meter di atas permukaan tanah dengan pelataran lantai lebar dan memanjang di depan pilar kemudian terpajang replika mandat Panglima TRI Jenderal Soedirman kepada Andi Mattalatta. Di lokasi monumen terhampar lapangan rumput hijau yang luas dan biasa digunakan sebagai camping area, event budaya mappadendang pascapanen padi, olah raga, dan kegiatan masyarakat lainnya. Menurut sejarahnya adalah lokasi monumen tersebut sebuah rumah panggung yang dijadikan sebagai markas dan tempat konferensi yang dipimpin oleh Andi Mattalatta sebagai Mandataris TRIPS dan atas inisiatif beliau diabadikan tempat tersebut untuk didirikan sebuah monumen perjuangan para tentara pejuang di Sulawesi.
Selain Paccekke telah menjadi salah satu destinasi wisata sejarah di Kabupaten Barru, desa ini juga sebagai sebuah desa agraris dengan dukungan sumber daya lahan berupa hutan negara seluas 2.125 hektare, hutan rakyat 60 hektare, serta lahan kering seluas 223 hektare yang terdiri atas kebun, padang penggembalaan/kandang ternak, permukiman, komplek kantor desa, sekolah, dan rumah ibadah serta area sungai dan bangunan air. Sedangkan luas lahan sawah relatif sempit hanya 47 hektare yang dikelola oleh dua kelompok tani dari jumlah petani sebanyak 83 orang.
Para petani di Paccekke mengelola usaha tani tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan sektor kehutanan seperti madu hutan. Komoditas jambu mete, kacang tanah, dan jagung masih menghiasi lahan-lahan kebun atau persawahan petani. Penanaman kacang tanah mendominasi lahan sawah pada musim tanam kedua (MT. Gadu) karena dukungan pengairan yang bersumber dari embung yang dibangun pemerintah desa tahun 2018. Pemerintah Desa Paccekke dan warganya sepakat menjadikan integrasi embung, sarana olah raga, dan destinasi wisata sebagai inovasi andalan.
Terobosan ini membuat Pemerintah Desa Paccekke meraih penghargaan Inovasi Desa Tingkat Nasional dari Kemendes PDTT 2019. Kapasitas air embung tersebut mampu mengaliri areal persawahan petani untuk melanjutkan usaha tani padi atau palawija terutama kacang tanah.
Khusus tanaman padi diupayakan pada musim tanam rendengan seluas lahan sawah yang tersedia di desa ini. Selama 3 musim tanam terakhir, petani di Paccekke telah melakukan inovasi pergantian terhadap varietas baru, yaitu penggunaan benih sumber inpari 32.
Inpari 32 tergolong varietas unggul baru (VUB) padi yang dilepas Kementerian Pertanian tahun 2013. Varietas tersebut merupakan salah satu seri inpari sebagaimana dalam rilis deskripsi VUB padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2022) bahwa penamaan VUB padi yang dilepas sejak tahun 2008 tidak lagi menggunakan nama sungai, namun menggunakan nomenklatur baru, yaitu menggunakan nama Inpa untuk Inbrida Padi dan Hipa untuk Hibrida Padi.
Khusus penamaan Inbrida Padi (Inpa) untuk berbagai ekosistem ditambah suku kata pada akhir kata Inpa, sebagai berikut: Inpari untuk Inbrida Padi Sawah Irigasi; Inpara untuk Inbrida Padi Rawa dan Inpago
untuk Inbrida Padi Gogo. Hingga tahun 2022, jenis varietas inpari telah mencapai seri 49 (Inpari Gemah) sejak dilepas Inpari 1 tahun 2008 silam.
Pengembangan varietas inpari 32 di Kabupaten Barru bermula dari program P3BK 2018 (Peningkatan Petani Produsen Benih Berbasis Korporasi) dan program P3BTP 2019-2020 (Peningkatan Petani Produsen Benih Tanaman Pangan) Direktorat Perbenihan-Kementan. Volume pengembangan varietas inpari 32 pada program tersebut seluas 75,0 hektare yang melibatkan 4 unit kelompok tani penerima manfaat. Sejak saat itu, desiminasi penggunaan varietas di tingkat petani semakin berkembang.
Rekomendasi tanam terus dilakukan pada setiap musim tanam, baik di musim rendengan maupun musim gadu. Laporan penggunaan varietas memberikan ilustrasi melejitnya inpari 32 di lapangan. Pada musim tanam gadu 2023, luas tanam inpari 32 mencapai 2.637 hektare, dan musim tanam 2022/2023 seluas 3.879 hektare, sedangkan musim tanam 2023/2024 melesat menjadi 4.562 hektare, dari total luas tanam antara 8.741-16.278 hektare.
Peningkatan luas tanam inpari 32 sangat nyata dengan persentase antara 67,98-85,02 persen. Jika dibandingkan dengan penggunaan varietas lain seperti Ciherang, Cisantana, Cigeulis, Cisadane,
Mekongga, dan lainnya, maka inpari 32 merupakan varietas terluas kedua yang ditanam petani setelah varietas Ciliwung. Adapun produktivitasnya baik melalui survei ubinan pusat atau ubinan swadaya mencapai 7-9 ton GKP per hektare atau mendekati bahkan melebihi rata-rata potensinya (Survei KSA dan non KSA subround I-II, 2023).
Terkait dinamika inpari 32 di Paccekke pada musim tanam 2023/2024, capaian produktivitas inpari 32 sebesar 5,24 ton GKP per hektare. Hasil ini menunjukkan gap antara potensi produktivitas dengan capaian l apangan. MenurutSyafaat (2005), kesenjangan produktivitas antara hasil penelitian dan hasil petani masih cukup lebar, yaitu sekitar 35,6 persen. Sedangkan menurut Marwanti (2022), paling tidak ada dua argumen mendasar penyebab tingginya disparitas produktivitas padi, yaitu;
1. Faktor pembatas produktivitas belum dapat diturunkan secara signifikan.
2. Kerangka Sample Area(KSA)masih jauh dibandingkan kondisi rielnya.
Faktor pembatas yang paling dominan di lapangan antara lain akses /keterjangkauan dan daya beli pupuk bersubsidi petani terus menurun akibat volume pupuk berkurang karena naiknya harga bahan baku pupuk bersubsidi yang diimpor, dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi meningkat akibat harga padi saat panen raya umumnya jatuh.
Faktor lainnya antara lain ketersediaan air pada musim kemarau terbatas karena intensitas, frekuensi dan durasi kemarau semakin meningkat sehingga magnitude kekeringan dan dampaknya menurunkan produktivitas dan indeks pertanaman. Tingginya serangan organisme pengganggu tumbuhan terhadap tanaman padi juga menjadi faktor pembatas menurunnya produktivitas padi.
Faktor berikutnya adalah KSA yang masih belum mewakili kondisi lapangannya karena keterbatasan data,
sehingga tidak mampu menampilkan produktivitas dan indeks pertanaman yang lebih representatif.
Keterbatasan citra satelit dalam meliput areal persawahan yang berawan, berlereng terjal tingkat akurasinya lebih rendah. Diperlukan peta tanah detail agar keragaman lahan dan iklim bisa direpresentasikan secara utuh.
Walaupun demikian, pengembangan varietas inpari 32 telah menemukan jalannya ke Paccekke. Momentum perbaikan produktivitas akan terus diupayakan oleh petani melalui manajemen hara, air, dan OPT. Dukungan infrastruktur air berupa embung desa telah menjadi kerja nyata Pemerintah Desa Paccekke menjadikan embung tersebut sebagai sumber air pada musim kemarau.
Support lain dari Kepala Desa Paccekke adalah alokasi bantuan ADD dalam pengadaan benih unggul padi setiap musim tanam yang akan dijalani petani. Dalam pengendalian OPT, terutama gangguan serangga hama atau penyakit tanaman, telah diantisipasi oleh petugas POPT dari Balai Proteksi Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan. Melalui pengamatan dan analisis lapangan petugas tersebut akan merekomendasikan teknis pengendalian OPT padi. Terkait status hara tanah dan kecukupan nutrisi tanaman dilakukan pendampingan penyusunan RDKK pupuk bersubsidi oleh pihak BPP, PPL, dan Pengecer pupuk bersubsidi. Pada skema tersebut dirancang jenis dan jumlah kebutuhan pupuk tanaman.
Harapan kita bersama adalah dengan melakukan semua upaya tersebut di atas, maka momentum peningkatan produktivitas inpari 32 secara optimal mampu dicapai di Paccekke. Dengan predikat Desa Paccekke sebagai Wanua Masengereng, maka slogan tersebut akan menguatkan kesan sebagai desa penuh keberhasilan dan menjadi Desa Salama’ki To Pada_ Salama.
Paccekke, 02 Mei 2024
*Warga Bengkel Narasi Indonesia, Jakarta