BUGIS, nama suku bangsa di Indonesia yang berawal kehadirannya di Sulawesi Selatan, walau kepastian tentang awal mula munculnya Orang Bugis di Wilayah Bone atau Wajo, masih diperdebatkan dan membutuhkan penelusuran sejarah yang mendalam. Tetapi sebagai suku bangsa, Bugis memiliki warga yang terbesar jumlahnya di Sulsel, mendiami wilayah paling kurang 10 kabupaten secara khsusus dan menyebar bukan hanya diseluruh kabupaten di Sulsel, melainkan di seluruh Nusantara Indonesia hingga disejumlah negara, terutama yang memiliki hubungan peradaban, seperti Malaysia, Brunei Darrussalam, dllnya
BUGIS, nama suku bangsa di Indonesia yang berawal kehadirannya di Sulawesi Selatan, walau kepastian tentang awal mula munculnya Orang Bugis di Wilayah Bone atau Wajo, masih diperdebatkan dan membutuhkan penelusuran sejarah yang mendalam. Tetapi sebagai suku bangsa, Bugis memiliki warga yang terbesar jumlahnya di Sulsel, mendiami wilayah paling kurang 10 kabupaten secara khsusus dan menyebar bukan hanya diseluruh kabupaten di Sulsel, melainkan di seluruh Nusantara Indonesia hingga disejumlah negara, terutama yang memiliki hubungan peradaban, seperti Malaysia, Brunei Darrussalam, dllnya.
Suku Bugis salah satu suku bangsa yang memiliki bahasa dan aksara sendiri, adat istiadat, tradisi dan budaya yang dipertahankan secara turun temurun walau tetap menerima perubahan secara terbuka. Dengan keadaan itu, menarik untuk mengkaji aspek filsafatnya yang dapat menjadi sumber pengetahuan untuk dapat dikembangkan dimasa mendatang. Ketertarikan tersebut didukung oleh pendapat Suparlan Suhartono,M.Ed.,Ph.D., Guru Besar Filsafat, “Karena ilmu pengetahuan adalah suatu potensi kodrati yang hanya ada, tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia.” Maka dengan demikian ada ilmu pengetahuan yang secara potensi tumbuh dan berkembang di dalam diri Manusia Bugis.
Menurut Suparlan Suhartomo, (2010), salah satu predikat manusia adalah sebagai makhluk “ingin tahu.” Dan keinginan tahu itulah yang menarik pemikiran untuk menyusun tulisan Mengenal FILSAFAT BUGISBahkan dengan kesadaran penuh bahwa pembahsan secara mendalam tentang ‘Filsafat Bugis’ memerlukan waktu dan pengetahuan yang luas untuk melakukan ‘perenungan yang panjang’ dengan mengkaji sejumlah bahan bacaan, Gambaran proses tercapainya pengetahuan yang bisa memberi kepuasan, menurut Suparlan Suhartono, diawali oleh ‘rasa heran.’ Memang mengherankan, sebab Orang Bugis – Manusia Bugis – Suku Bugis, salah satu suku bangsa dengan peradaban dan kebudayaannya yang jelas, namun demikian banyak ilmuan berdarah Suku Bugis, tetapi sangat kurang yang mengkaji dan menuliskan tentang ilmu pengetahuan Bugis, apalagi Filsafat Bugis. Justru seorang asing bernama Christian Pelras, 2006, menulis ‘MANUSIA BUGIS’ dalam suatu buku yang hampir sempurna membahas semua aspek – eksistensi manusia Bbugis.
Bagaimana melemahkan ‘keraguan’ sebagai aspek kedua dari proses tercapainya pengetahuan yang bisa memberi kepuasan, seperti disebutkan Suparlan Suahrtono, salah satunya adalah dengan memaparkan tulisan ini. Memang selama ini, berbagai kajian telah dilaksanakan, Lontarak sebagai salah satu karya tulis Orang Bugis, dihimpun untuk dikaji secara mendalam. Bahkan sebuah lembaga Kajian Budaya Bugis didirikan di Ponceng, Watampone, (2007).
Keraguan terhadap nama besar BUGIS dalam rentang Sejarah dan Budaya Indonesia, terjawab secara perlahan, bahwa Manusia Bugis, memang memiliki peradaban yang terbangun sejak abad IX, ketika Kerajaan Luwu mulai berdiri, namun kemudian memasuki peradaban baru pada abad XIV, ketika kerajaan-kerajaan Bugis yang besar seperti Bone, Wajo dan Soppeng, lahir dan mencapai puncaknya ketika menjadi pemegang hegemoni politik di Sulawesi Selatan, abad XVII, pasca perang Kerajaan Bone dan Gowa.
‘Perkiraan’ yang menurut Suparlan Suhartono sebutkan sebagai taraf mulai condong ke arah ‘pengiayaan’ atau ‘penidakan’ hal sesuatu. Terasa memang demikian adanya, sebab mitos kepemimpinan To Manurung yang digeluti penelusurannya melalui kajian berbagai silsilah raja-raja di Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, saat ini mulai terungkap bahwa apa yang digambarkan sebagai seorang yang tiba-tiba muncul dengan segala kompetensinya hingga menjadi pemimpin, tidaklah demikian. To Manurung, bukan seorang yang tidak jelas silsilah turunannya, hanya saja suatu rekayasa social yang dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas masyarakat saat itu yang saling berebut kekuasaan karena tidak mampu memunculkan seorang central figure kecuali dengan cara membangun sebuah opini adanya ‘manusia langit’ yang kemudian dikenal To Manurung dengan segala kesaktiannya.
Studi Kasus tentang silsilah To Manurung di Bone, secara pelan dan pasti sudah berhasil diungkapkan, walau memang belum mampu menghapus mitos kepemimpinan To Manurung itu sendiri yang telah meresap sejak abad XVI, sampai sekarang ini, sehingga tidak mengherankan walau orang Bugis bependidikan tinggi namun belum cukup berpengetahuan untuk menerima kenyataan ilmiah terhadap keberadaan To Manurung, mungkin inilah yang dimaksud Suparlan, sudah memasuki fase pengiayaan bahwa To Manurung bukanlah manusia langit dan selanjutnya ‘penidakan’ terhadap mitos ‘manusia langit’ dalam proses kepemimpinan awal raja-raja di berbagai wilayah Bugis.
Pengumpulan data-data yang dapat diolah menjadi informasi tentang latar belakang Orang Bugis, mulai diukur kecukupan alasan-alasannya. Sebab menurut Suparman Suhartono, jika relevansi antara pengetahuan informatif yang satu dengan yang lain menjadi jelas, maka pada taraf ini pikiran telah meningkat menjadi bertaraf pendapat.
Bahwa, La Sattumpugi, Pemimpin Cina Riaja (Pammana – sekarang), yang memulai membangun Kampung Ogi, dapat diterima alasan tersebut selain karena identifikasi namanya, juga karena dia adalah berasal dari kaki pegunungan Latimojong di Tana Toraja.
Di wilayah asal Lasattumpugi, terutama Tana Toraja terdapat salah satu pesta adat Toraja, adalah ‘mabbugi’ dan sebutan pemimpin tertingginya adalah PUANG MATUWA.
Perkataan ‘mabbugi’ dapat diartikan membugis dengan penyebutan pimimpinnya sama dengan penyebutan untuk penghargaan pada yang dipertuan oleh orang Bugis yakni : ‘Puang. ’ Bahkan kata ’petta’ gelaran bangsawan Bugis berasal dari kata : ‘Puang-ta’ menjadilah ‘petta.’
Pembahasan tentang eksistensi Bugis, adalah untuk menuju kepada fase yang disebut Suparlan Suhartono, bahwa konsekuensi dari pengetahuan yang pasti adalah pengetahuan yang meyakinkan membentuk suatu pendirian yang kokoh dan tidak mungkin bisa diubah karena didalamnya penuh berisi kepastian.
Sebab bagaimanapun, masih banyak aspek-aspek Bugis, memerlukan data yang kuat sehingga informasinya akurat. Misalnya saja, dari mana Orang Bugis berasal ? Penemuan tentang To Akala di Leang-Leang, Bantimurung, Maros, yang hidup 3000-4000 tahun sebelum masehi, mulai terbantahkan dengan ditemukannya situs kehidupan manusia di gua-gua pegunungan Kahu – Bontocani, Bone yang diduga hidup sejak 15.000 tahun sebelum masehi, melalui bukti arkeologi yang saat ini masih menunggu pengakuan karena sedang diuji keabsahannya pada Laboratorium Arkeologi di Australia.
Bahwa apabila ‘keyakinan’ yang dimaksud Suparlan, dapat diarahkan kepada suatu sikap dan kepastian parsial tentang Bugis dengan pengetahuan tentang peradaban yakni adat istiadat, budaya dan ilmu pengetahuan Bugis, jelas sudah meyakinkan untuk diterima sebagai suatu yang memang demikian adanya Orang Bugis dengan segala tatanan, apabila akan diyakini secara komperehensif, maka keyakinan pengetahuan Bugis, tentu saja masih butuh waktu untuk mengumpulkan terus data agar menghasilan informasi yang dapat membentuk kepastian-kepastian.
BUGIS ADA, DALAM KEBERADAANNYA
Sejak dahulu kala mereka mengarungi nusantara, bahkan kebarat sampai Madagaskar dan ke timur sampai ke Irian dan Australia. Perkampungan suku bangsa Bugis terdapat hamper semua pantai dan pelabuhan di nusantara ini. Mereka pada umumnya menetap dan menjadi penduduk daerah baru itu sambil mengembangkan ada-istiadat persekutuan mereka.
Suku-suku Bugis dan Makassar, sejak dahulu terkenal sebagai pelaut ulung. Yang disebut terakhir ini, oleh Christian Pelras, dianggap pendapat yang keliru, sebab disebutnya nanti abad XIX barulah orang Bugis mengembangkan pelayaran sehingga disebutnya orang Bugis itu bukan pelaut ulung
Mattulada
Suku Bugis yang dulunya membangun kehidupannya dalam suatu Kerajaan besar – Kerajaan Bugis, memiliki tatanan ‘pangngadereng’ yaitu adat istiadat – norma dan hukum-hukum formal yang masih dianut pengikutnya sampai sekarang ini.
Bahkan menurut Mattulada dalam La Toa – Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, 1995, bahwa ‘pangngadereng’ adalah bahagian dari diri Orang Bugis itu sendiri dalam keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya.
Merupakan sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib , juga mengandung unsure-unsur yang meliputi seluruh kegiatan kehidupan manusia bertingkah laku dan mengatur perasarana kehidupan berupa peralatan-peralatan materil dan non matril.
Keberadaan suku Bugis dicatat Mattulada, 1995 bahwa sejak dahulu kala mereka mengarungi nusantara, bahkan kebarat sampai Madagaskar dan ke timur sampai ke Irian dan Australia. Perkampungan suku bangsa Bugis terdapat hamper semua pantai dan pelabuhan di nusantara ini.
Mereka pada umumnya menetap dan menjadi penduduk daerah baru itu sambil mengembangkan ada-istiadat persekutuan mereka. Suku-suku Bugis dan Makassar, sejak dahulu terkenal sebagai pelaut ulung. Yang disebut terakhir ini, oleh Christian Pelras, dianggap pendapat yang keliru, sebab disebutnya nanti abad XIX barulah orang Bugis mengembangkan pelayaran sehingga disebutnya orang Bugis itu bukan pelaut ulung.
Menurut Christian Pelras, (2006), diakui bahwa sejak berabad-abad lamanya Orang Bugis dapat dikenali melalui perahu-perahunya berlabuh di setiap ada pelabuhan di Indonesia, namun sangat sedikit ‘pengetahuan’ yang beredar mengenai mereka, sebagian besar diantaranya justru merupakan informasi yang keliru. Ia menyebut contoh anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dahulu kala. Anggapan itu bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh diberbagai wilayah Nusantara – dari Singapura sampai ke Papua dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia, bahkan ada yang menyebutkan sampai Samudra Hindia dan Madagaskar. Orang beranggapan bahwa, Orang Bugis adalah pelaut yang ulung.
Padahal dalam kenyataan sebenarnya Orang Bugis adalah Petani. Sedangkan aktivitas maritim nanti setelah abad ke-18 Masehi dan symbol Perahu Pinisi bagi Orang Bugis, nanti abad ke-19 baru dikenal dan dikembangkan.
Gambaran yang luas tentang ‘Manusia Bugis’ dalam buku Christian Pelras, memang termasuk paling lengkap pengungkapannya selama ini. Buku tersebut menjadi sumber pengetahuan tentang Bugis.
Karena itu untuk pengungkapan Manusia Bugis apa adanya dan keberadaannya, diakui Christian Pelras sering terjadi anggapan keliru, maka sangat tepat didekati melalui pembahasan ruang lingkup studi filsafat yang mencakup semua hal yang ada (bahkan yang mungkin ada) menusut aspeknya yang mendasar berupa sifat hakikat atau substansinya, sebagaimana dikatakan Suparlan Suhartono lebih lanjut bahwa, terhadap objek studinya, filsafat mempelajari ‘keapaannya.’
Apa itu ‘keapaan’ Orang Bugis ? Christian Pelras, mengakui bahwa Orang Bugis sebenarnya memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat diwilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis memiliki kesusastraan baik lisan maupun tulisan. Salah satu karya tulis terkenal yakni epos sastra terbesar di dunia, yakni La Galigo yang lebih panjang dari Mahabharata.
Sebagai seorang Bugis yang menggeluti kajian Ilmu dan Budaya Bugis, agaknya sulit menerima anggapan Christian Pelras yang menilai Orang Bugis tidak membangun suatu pusat kekuasaan, bahwa Orang Bugis adalah petani dan nanti pada abad XIX baru menjadi pelaut karena suka bermigrant yakni berpindah dari suatu tempat ketempat lain. Banyak fakta berupa pusat-pusat pemukiman purba Masyarakat Bugis yang ditemukan secara ilmiah dalam pendekatan Ilmu Arkeologi yakni di Cabbeng, Soppeng, di Leang-Leang Bantimurung, di Gua Mampu, Bone, di Tanete, Langkanae Wajo, dan terutama di Ussu, Cerekang Luwu, sebagai pusat awal kemunculan ‘manurung’ Batara Guru, ayah Sawerigading.
Tentang pemukiman purba – pra peradaban Bugis, diakui Pelras kemudian hanya disebutkan bahwa bukti-buktinya masih sangat sedikit sekali. Namun uraiannya tentang Orang Bugis tidak dipengaruhi Budaya India, mungkin masih harus diteliti lebih jauh. Suatu temuan di Desa Cingkang, Kecamatan Cina Kabupaten Bone, berupa batu nisan kuburan, mirip sekali dengan sebuah patung di depan Museum Nasional India di New Delhi, ketika dikunjungi, maret tahun 2010.
Soal awal mula atau muasal Orang Bugis, suatu masalah yang memang belum banyak bukti untuk digunakan pembenarannya, sebab berbeda dengan Orang Jawa yang memiliki batu bertulis dan candi yang masih berdiri kokoh hingga sekarang atau prasasti berdirinya kerajaan Siriwijaya abad VI di Palembang yang batu bertulisnya masih ditemukan. Muasal orang Bugis, sebatas dugaan Andi Zainal Abidin Farid, bermula dari nama La Sattumpugi yang mendirikan Kampung Ogi di wilayah Cina (Pammana – Wajo, sekarang).
Persoalan asal muasal dan bagaimana keberadaan Orang Bugis yang memang ada dapat dipahami melalui pendapat Suparlan Suhartono, Maret 2010, menilai bahwa atas potensi keilmuan, keterdidikan dan kebudayaannya, manusia semakin memahami kehidupannya.
Realitas kehidupan ini sarat dengan persoalan yang berjenis, berbentuk dan bersifat keterogen. Tetapi, secara filosofis persoalan tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga titik saja. Titip pertama yakni ‘asal mula’ yang ditandai dengan peristiwa kelahiran. Kedua, titik ‘tujuan’ yang ditandai dengan peristiwa ‘kematian.’’Ketiga, titik ‘eksistensi’ berupa garis lurus perjalanan kehidupan manusia yang menghubungkan antara kedua titik terdahulu.
Jika pendapat Suparlan Suhartono itu, diimplementasikan dalam pemahaman ilmu pengetahuan Bugis, sangat relevan sebab pandangan kosmologi Orang Bugis juga mengenal dan menjadikan prinsip hidup bahwa, asal mula kejadian dari yang mahas Kuasa ( dewata sewae) kemudian menjalani hidup ini untuk mengabdi pada si pencipta dan akhirnya kembali padanya.
Teori asal mula itu sangat berarti dalam membentuk pengetahuan dan jati diri orang Bugis. Sehingga jika digambarkan akan seperti berikut ini :
Ketiga titik kehidupan manusia yang digambarkan Suparlan Suhartono, dicoba menyanjikan dalam gambar di atas, bahwa ‘eksistensi’ sebagai titik ketiga menjadi garis lurus kepada titik pertama asal mula (kelahiran) dan sekalipun tujuan adalah satu titik (lingkaran) juga, tetapi sesungguhnya titik kedua mengarah pula pada titik pertama melalui titik (lingkaran) ketiga. Bagaikan roda yang berputar kembali kesumbunya – pada kelahirannya. Bukankah dalam Islam apabila ada bencana kecil atau besar yang dihadapi, dianjurkan mengucapkan : ‘Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rhojiun dan orang Bugis menyebut ‘lisu ripammasena – kembali keharibaannya.Kembali pada yang memberikan kehidupan.’
Potensi keilmuan, keterdidikan dan kebudayaan Orang Bugis, apabila dicermati pandangan Suparlan Suhartono itu, akan makin dapat dipahami secara realitas. Dan Filsafat Ilmu dapat memecahkannya melalui perenungan. Merenung, menurut Louis O.Kattsoff,(2007), bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Perenungan kefilsafatan, katanya lebih lanjut, ialah percobaan untuk menyusun suatu system pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami diri kita sendiri. Bisa juga dilakukan bersama dalam suatu percakapan dua atau tiga orang lebih.
Secara tegas Louis O.Katsoff dalam buku aslinya Elements Of Philosophy yang dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono, cetakan X,(2007), bahwa perenungan kefilsafatan ialah sejenis percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau dengan orang lain. Itulah sebabnya, mengapa seorang filsuf tampak selalu berhubungan dengan ‘polemik’ dan tampak lebih menaruh perhatian kepada ‘merusak’ dan ‘menentang’ dibandingkan dengan usaha membangun. Dengan pemahaman itu, maka ‘pengetahuan Bugis’ dari sudut filsafat, bisa saja diperdebatkan asal muasalnya, eksistensinya bahkan budayanya.
Namun ‘polemik’ dalam pemahaman kefilsafatan bukanlah tanpa kesimpulan, sebab proses dialog dan alternative-alternatif pembahasan, mendahului suatu kesimpulan atas berbagai pandangan dari dialog yang melawati proses perenungan para pembiacaranya. Karena itu kembali Louis Kattsoff mengatakan bahwa, perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai alternative-alternatif yang masing-masing berpegangan pada unsure atau segi yang penting dan kemudian mencoba untuk mengujinya pada pengalaman, kenyataan empirik dan akal.
Persoalannya memang, ‘Filsafat Bugis’ apakah dapat diperoleh melalui pengetahuan atau pengalaman?. Sejarah Budaya menunjukkan, dalam catatan R.A.Kern, terjemahan La Side dan Sagimun M.D, (1989), disebutkan bahwa La Galigo, adalah cerita Bugis kuno yaitu tradisi tulis dan lisan. Bahkan disebutkan bahwa, I La Galigo bukanlah epos, dia adalah prasejarah. R.A.Kern mempertegas bahwa I La Galigo bukanlah Epos melainkan sejarah dari prasejarah Bugis, menepis banyak anggapan selama ini bahwa I La Galigo hanyalah sebuah epos, sebab tidak mengungkapkan fakta-fakta yang detail kejelasannya seperti tahun, nama tokoh bahkan nama kampong juga diperdebatkan, misalnya, apakah Cina yang dimaksud dalam cerita tersebut Cina yang di Tiongkok atau ‘Cina’ adalah sebuah kata Bugis yang artinya ‘sebentar saja’ sehingga diberi nama Cina di Pammana,Wajo, sekarang ini dan masih ada nama Cina di Bone menjadi kecamatan, sekarang ini.
Keraguan tentang apakah hanya sekadar Epos atau suatu cerita sejarah, oleh Anhar Gonggong, dalam kata pengantar Buku La Galigo – Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003, menegaskan pandangannya bahwa ada dua hal yang amat berguna yang dapat diambil dari naskah ‘prasejarah’ itu, yaitu ‘kesadaran’ dan ‘makna’. Kesadaran yang saya maksudkan disini bukan hanya tentang kelampauan sebagai cerita yang terdapat di dalam cerita prasejarah itu, melainkan sebuah kesadaran tentang ‘bangsa’ di dalam kelampauan itu.
R.A.Kern dan Anhar Gonggong, dalam pandangan kelimuannya sebagai seorang ilmuan-sejarawan, tidak menganggap cerita La Galigo sebagai epos, melainkan memang sebuah cerita sejarah – prasejarah Bugis, bertentangan dengan Christian Pelras dan Fahruddin Ambo Enre, 2003, yang menyebutnya sebagai epos karya sastra. Pandangan-pandangan ini masing-masing memiliki alternatif dan unsur-unsur pengetahuan yang saling berbeda. Jika dilihat dari aspek Filsafat Ilmu sebagaimana rumusan Louis Kastoff juga Suparman Suhartono bahkan Amshad Bahtiar, ‘polemik’ ini adalah biasa namun bukan tanpa kesimpulan-kesimpulan.
Boleh saja terjadi perbedaan dalam aspek uraian Christian Pelras dengan R.A.Kern maupun Anhar Gonggong, karena menuju kepada ‘fase meyakini’ juga berbeda, tetapi bahwa BUGIS ada keberadaannya dengan perdaban dan sejarahnya yang panjang, dalam pandangan Ontologis, dapat diterima sebagai suatu hakekat dari ilmu pengetahuan Bugis itu sendiri. Suparlan Shartono sendiri mengakui bahwa sudut ‘hakikat’ yaitu apabila filsafat dibidangkan menurut sudut yang paling abstrak mengenai sesuatu objek. Dalam bidang ini dipersoalkan tentang apa yang ada sesudah atau dibalik yang fisik ini. Singkatnya, Ontologi adalah filsafat tentang yang ada.
BUGIS memang ada dan dapat dibahas keberadaannya dari berbagai sudut yang paling abstrak dan universal sampai segala yang kenyataan konkrit. Dengan demikian bahasan terhadap Ontologi Bugis memungkinkan apalagi jika dicermati pendapat Prof.Dr.Amsal Bakhtiar,MA, (2004), dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan, Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan dan ketergantungan satu dengan lainnya
Menurut Amsal Bahctiar, pembahasan Ontologi secara ringkas dapat diartikan sebagai pemahaman realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Pernyataan Amsal Bachtiar tentang Ontologi itu, dapat diterjemahkan dalam Kebudayaan Bugis sebagaimana Christian Pelras nyatakan, bahPeradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘.
Salah satu sudut kehidupan Suku Bugis, adalah pandangannya terhadap proses kelahiran manusia dengan unsure-sunsur pembentuknya. Kejadian diyakini terjadi karena ada yang menghendaki dan sebelum Islam diterima sebagai Agama sepenuhnya bagi Orang Bugis, maka yang dianggap menghendaki itu adalah ‘Sang Dewata Sewwae’ yakni Dewa yang berkuasa penuh – Dewa Tunggal itulah yang dianggap pemberi kehidupan dan pada akhirnya akan kembali kepadanya.
Tugas Manusia Bugis hadir di Bumi untuk mengabdi pada Sang Dewata Sewwae. Bumi hanyalah perjalanan antara dari proses awal ketika masih dalam alam dewa-dewa ke dunia tengah – alam manusia – akhirnya kembali kea lam dewa-dewa itu nantinya. Tetapi pandangan hidup ini berubah total ketika Islam diterima sebagai agama Orang Bugis, sekitar tahun 1604 Masehi.
Sarana pembentukan kejadian Manusia Bugis yang terbuat dari empat unsur, namun unsure Tanah menjadi paling penting sebab dianggapnya bahwa dari tanah kembali ke tanah. Proses kejadian dengan menempatkan tanah sebagai sumber awal kejadian tidaklah berarti yang menciptakan tanah, namun dipahami sebagai unsure kejadian manusia Bugis yang karenanya nanti akan kembali ke tanah dalam akhir perjalanan kehidupannya. Atau dibasakan bahwa yang dari tanah kembali ke tanah, dari air kembali ke air, dari api kembali kea pi dan dari angin kembali ke angin. Prinsip bahwa dari mana berawal kembali kesitulah akhirnya namun kemudian dibalik yang ada itu diakui sebagai ada sesuatu kekuatan besar yang mkengaturnya. Unsur pembentu kejadian orang Bugis sebagaimana gambaran dibawah ini :
Orang Bugis lahir dari empat unsur dengan segala sifat, sikap dan prilakunya, tetapi sebagaimana disebutkan Suparlan Suhartono tentang konsep ‘awal mula’ maka pandangan Orang Bugis juga bahwa, bagaimanapun dominan Orang Bugis dari tanah maka akan kembali ke tanah. Ini tentu saja berbeda dengan Thales yang atas hasil perenungannya menyimpulkan semua benda berasal dari air. Atau kalau memang semua berasal dari air, maka Thales juga tidak salah perenungannya, sebab dalam Tanah juga ada air, bahwa apakah air membentuk tanah atau tanah membentuk air, suatu perdebatan lain. Namun bagi orang Bugis, Tanah adalah awal mula – maka kembali keawalnya ketika kematian telah datang menjemput. Ini juga kemudian disebut konsep ‘semmula jaji’ yaitu kembali keawal adanya kejadian sebagai manusia.
Uraian tentang Bugis sebagaimana diungkapkan diatas memang secara ontology memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base yaitu Bugis itu sendiri. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada, karena memang ada, bukan dianggap ada atau diada-adakan dan Bugis dari aspek manusia, alam dan peradabannya, memang secara abstrak maupun kontrit merupakan ‘knoeledge base’ yang ada dan keberadaannya tidak diragukan hanya perlu Ilmu pengetahuan membahasnya lebih lanjut.
EPISTEMOLOGI BUGIS, MUNGKINKAH ?
Kajian selanjutnya menunjukkan, bahwa Bugis sebagai suku bangsa, sebagai manusia yang dalam dirinya tumbuh pengetahuan dan pengalaman perjalanan waktu keberadaannya, membangun dan mengembangkan budayanga, ilmu pengetahuannya bahkan menjadi salah satu suku bangsa paling terbuka menerima perubahan. Bugis adalah subjek dan objek pengetahuan melalui eksistens keberadaan dan peran tokoh-tokohnya, semisal Sawerigading, La Galigo, dllnya. Mereka membangun peradabannya dengan menerima perubahan paling fundamental yakni Islam, sebagai agamanya.
Sebagamana ditulis Ahmad Saransi, (2006), bahwa sinkritisme Islam dengan kepercayaan yang dianut Sawerigading terjadi demikian cepat. Pengikut-pengikut setia Sawerigading, beralih sedemikian rupa memeluk Islam. Dan agar mudah diterima, maka cerita Sawerigading disinkritisme dengan Islam. Menariknya, sebab ketika orang Portugis datang ke Sulsel abad XVI, dan mencoba memasukkan Agama Kristen, hampir tidak ada yang dapat menerimanya, kemudian memang tidak berkembang pengikutnya. Tetapi Islam datang dengan pola pendekatan yang berbeda dengan penyebar Agama Kristen, langsung diterima dan dianut hampir keseluruhan Orang Bugis.
Puak Sitti, Ketua Lembaga Adat Ussu di Luwu Utara, suatu saat menceritakan proses pertemuan Sawerigading dengan Nabi Muhammad,SAW. Dalam cerita itu, Ayam Sawerigading diadu dengan Ayam Nabi Muhammad dan kalahlah Ayam Sawerigading sehingga harus tunduk pada kemampuan Ilmu Nabi Muhammad. Begitulah proses sinriktisme itu terjadi antara kepercayaan Sawerigading dengan Tuhannya adalah Dewa-Dewa, mungkin juga pengaruh Agama Hindu, mengubah sikap mendasar – prinsip hidup Orang Bugis. Saat ini sisa sedikit sekali pengikut kepercayaan Sawerigading pada Komunitas masyarakat adat Tolotang di Sidrap, Wajo dan sedikit sekali di Pare-Pare.
Demikian pentingnya nilai kehidupan yang relegius bagi Orang Bugis, maka ketika Islam diterima sebagai agama resmi, ‘pangngadereng’ sebagai suatu tatanan dan falsafah hidup dari tiga pilar utama menjadi empat pilar dengan memasukkan ‘sara’ atau Syariat Islam. Berikut digambarkan inti pangngadereng’ Orang Bugis :
Penjelasan lebih konsepsional dapat dilihat tulisan Christian Pelras yang mengutip pendapat Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa, bahwa dalam pangadereng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam).
Kemampuan bertutur dalam bentuk sastra lisan kemudian menjadi tulisan dan dengan huruf Lontarak yang diperkirakan sudah terjadi pada abad XIII, berkembang pesat sekitar abad XVI, terutama setelah masuknya pengaruh Orang-Orang Portugis di Suppa ( Pinrang) dan Siang ( Pangkep), Tanete ( Barru). Artinya, pengetahuan telah berkembang terus menjadikan suatu ilmu-ilmu social, budaya bahkan ekonomi sekalipun. Christian Pelras juga mengakui bahwa, Orang Bugis mungkin telah mengenal dunia tulis menulis jauh lebih lama dari sangkaan mereka sendiri atau perkiraan ilmuan asing.
Menurut Christian Pelras, sebuah tradisi lisan Sulawesi Selatan menghubungkan penciptaan aksara Bugis – Makassar yang kini digunakan seorang Syahbandar Makassar bernama Daeng Pamatte, sekitar tahun 1511. Sesungguhnya tidak serta merta dapat ditemukan, melainkan memang sudah ada sebelumnya dan hanya disempurnakan oleh Daeng Pamatte, sebab Aksara Lontarak memiliki kemiripan dengan aksara yang digunakan di Sumatera, Filipina, Plores dan Sumbawa.
Pendapat Pelras ini memang sangat kuat kebenarannya, walau tidak berani menghubungkan dengan lukisan-lukisan yang ada di Gua Leang-Leang, Bantimurung Maros serta yang diduga lebih tua lagi adalah di gua-gua pegunungan Lamoncong, Kahu – Bontocani Bone. Artinya, lukisan didinding-dinding batu itu mungkin juga merupakan cikal bakal lahirnya huruf-huruf Lontarak, seperti awal lahirnya huruf-huruf Mesir yang berasal dari bentuk Burung, Kembang dan Pohon-pohon.
Uraian yang dipaparkan diatas ini tak lain untuk menunjukkan bahwa, sumber pengetahuan Bugis memang dapat dilacak kebenerannya melalui keberadaan ‘pangngadereng’ serta adanya aksara Lontarak yang mengubah trdaisi pengetahuan dari lisan ketulisan. Bukankah suatu bukti bahwa suatu suku yang memiliki bahasa dan aksara tersendiri menunjukkan kebesaran suku tersebut. Dan dalam konteks inilah, terjawab pemahaman EPISTEMOLOGY BUGIS.
Suparlan Suhartono mengakui bahwa, dalam epistemology terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, system dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda. Karena itu dalam memahami pengetahuan Bugis yang pada uraian diatas disebutkan ‘pangngadereng’ sebagai suatu potensi objek yang mungkin saja masih selalu terbatas dalam pembahasannya sehingga untuk mempersoalkan hakekat kebenarannya masih harus diakji secara mendalam sebab bagi Orang Bugis, pengetahuan dijalani sebagai suatu keharusan.
Karena itu lebih dekat lagi dengan apa yang disebutkan Amsal Bachtiar, 2004, bahwa Epistemologi adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode dan sahnya pengetahuan. Apa pengetahuan itu, apa yang merupakan asal mula pengetahuan, bagaimana cara mengetahui, bagaimana membedakan pengetahuan dengan pendapat, corak-corak pengetahuan apa yang ada, bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan apakah kebenaran itu, kesesatan itu. Bila disimpulkan maka persoalan epistemologi berkaitan dengan sumber-sumber pengetahuan, hubungan pengetahuan dengan obyek pengetahuan, serta terutama dengan psikologi (cara pemerolehan pengetahuan).
Jika inti ‘pangngadereng’ yakni, wari, rapang, bicara dan sara’ sebagai sumber-sumber pengetahuan Bugis sekaligus berhubungan obyek pengetahuan Bugis itu sendiri yang kebenarannya mutlak diterima untuk menjadi pedoman prilaku (etika) kesehariannya. Soal etika kehidupan Orang Bugis, akan kembali dibahas dibagian akhir tulisan ini. Tetapi yang penting bahwa, dengan dengan pengertian lebih mendalam dari Amsal Bakhtiar, (2004), bahwa epsitemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawabannya atas pertanyaan pengetahuan yang dimiliki. Nampaknya dijawab oleh, system ‘pangngadereng’ Orang Bugis, sebab coba saja simak pemahaman ‘sarak’ sebagai dasar falsafah hidup yaitu melaksanakan ajaran Islam sesuai syariatnya (sarak).
Metode metode yang biasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan terkristalisasi dalam beberapa aliran antara lain sebagai berikut. Aliran Empirisme yang dipelopori oleh John Locke, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman langsung dengan cara mengobservasi obyek. Kalau kita ingin mengetahui tentang warna-warna, maka tak ada jalan lain kecuali harus dengan melihatnya dengan mata kepala. Maka untuk mengenali pengetahuan Bugis misalnya tentang Sara’ itu,memang kemudian tercermin pada turunan Orang Bugis yang memeluk Islam secara umum karena ikutan orang tuanya.
Pengalaman orang tuanya yang beragama Islam, diikuti oleh si anak menjadi pembelajaran karena dengan pengalaman kepada orangtuanya itu, diyakini ada kebenaran yang dilakukan. Sesungguhnya hal yang sama dengan pengikut setia ajaran Sawerigading yang dikenal To Lotang, hingga kini dengan patuh mempercayai anutannya tersebut, hanya dengan pengetahuan yang terbangun dari pengalaman leluhurnya.
Aliran kedua adalah Rasionalisme yang dipelopori oleh Spinoza dan Descartes memberikan penjelasan bahwa ilmu pengetahuan dapat diketahui melalui cara-cara berfikir deduktif. Aliran ketiga adalah Fenomenalisme yang dipelopori oleh Kant, yang berusaha mengidentifikasi kedua aliran tadi, dan kemudian menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan kedua cara itu, dengan memperhatikan jenis pengetahuan yang ada.
Memang penting mengkaji epistemology Bugis dari berbagai aliran tersebut,hanya saja karena keterbatasan waktu untuk membuat analisanya dengan membuka sejumlah literature Bugis yang ada, misalnya mencermati berbagai ungkapan ( pappaseng) para cendekiawan Bugis seperti kajao Laliddong di Bone, To Ciung di Luwu, Arung Bila di Soppeng, Puang Rimaggalatung di Wajo.
Seperti disebutkan diatas bahwa setelah Islam diterima sebagai Agama Kerajaan dan menjadi anutan resmi raja-rajanya dimulai oleh Luwu maka menarik disimak pendapatn Agustianto, March 11, 2000, dalam Blog Spotnya, Epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah, sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah. Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subjek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka di satu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran.
Di lain pihak, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Di sini manusia berfungsi subyek yang mencari kebenaran. Manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan sekaligus memberi interpretasinya. Dalam Islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan.
Ada beberapa perbedaan antara Filsafat Pengetahuan Islam (Epistemologi Islam) dengan epistemologi pada umumnya. Pada garis besarnya, perbedaan itu terletak pada masalah yang bersangkutan dengan sumber pengetahuan dalam Islam, yakni wahyu dan ilham. Sedangkan masalah kebenaran epistemologi pada umumnya menganggap kebenaran hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Pandangan awal tentang Epistemologi yang menempatkan manusia sebagai sumber kebenaran, memungkinkan terjadi sebelum Islam hadir pada abad VII, sebab pemikir-pemikir awal epistemelogi ada sebelum Islam diturunkan ke bumi sebagai Agama Wahyu yang terakhir.
Bagi Orang Bugis sesungguhnya sejak awal tidak pernah menempatkan manusia sebagai penentu kebenaran sehingga memang seirama dengan Epistemelogi Islam yang menempatkan Allah sebagai penentuan keberan. Sebelum Islam, Orang Bugis menggantungkan segala kebenaran mutlak itu pada ‘dewata sewwae’ yakni Dewa yang tunggal – Tuhan yang Esa, tetapi setelah Islam diterima, kepercayaan terus berubah karena menjadi sara’ dalam pangngadereng, sehingga pandangan tentang pengetahuan kebenaran berubah juga dari dewata ke Allah SWT.
Epistemologi Islam : amat menekankan hakikat ilmu dan kebenaran.
Gabungan antara naqliyah dan ‘aqilyyah secara seimbang akan membentuk keharmonisan dalam kehidupan. Akidah dan syariat yang disulami nilai -nilai akhlak berjaya melahirkan sebuah tamadun yang utuh. Dan bagaimanapun, epistemology Islam, bersumber dari al-Qur’an dan Al-hadit, sehingga kebenarannya dipastikan adanya. Sesuatu yang menurut ontologisnya memang ada, kemudian dipertanyakan melalui pendekatan epistemology yang terjawab dengan sendirinya pada ajaran Islam.
Epsitemologi Bugis dengan Epistemelogi Islam, tidak bertentangan karena hanya mengembangkan – meninjau aspek-aspek epistemology dari sudut Islam dan dari sudut pengetahuan Bugis. Kajao Laliddong, sebagaimana ditulis Asmat Riady Lamallongeng, 2007, adalah cendekiawan Bugis yang jika dikaji berbagai pesan-pesannya dapat dikatakan sebagai Filsafat Bugis yang demikian memungkinkan untuk dikembangkan ke dalam suatu teori Epistemologi Bugis. Hanya saja, para cendekiawan Bugis saat ini, tidak berani melakukan kajian-kajian mendalam terhadap berbagai ajaran Kajao Laliddong.
ETIKA DALAM AJARAN BUGIS, BISAKAH ?
Suparlan Suhartono dalam uraiannya tentang Etika, hal 116, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 2010, menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan dengan nilai kebenarannya, tidak bisa hanya berhenti pada tingkat wawasan ilmiah (ontologis) dan sikap ilmiah ( epistemology) saja. Menurutnya, kebenaran harus nyata, harus konkret didalam setiap tindakan dengan konsekuensi dengan buah hasil tertenu. Dipertajam oleh Suparlan, bahwa ‘wawasan ilmiah’ mendasari terbentuknya ‘sikap ilmiah’ kemudian menjawai setiap kegiatan berupa ‘perilaku etis’ yaitu perilaku bertanggung jawab terhadap setiap konsekuensi yang dihasilkannya. Jika demikian teori tentang etika, maka haruslah dilihat bagaimana Orang Bugis membina sikap etis dalam pengertian suatu cara beperilaku yang bertanggungjawab dalam setiap tindakan-tindakannya.
Terhadap konsepsi ini, Kajao Laliddong, cendekiawan Bugis menunjukkan jalannya dengan menyebutkan bahwa, orang pintarlah yang berani dan orang beranilah yang mampu bersikap jujur untuk dapat bertindak tegas serta berkeadilan. ( Bahas Bugis : Maccapi na warani, waranipi na malempu, malempuppi namagetteng temmappasilaingeng).
Sikap hidup sejatinya Orang Bugis dalam ungkapan Kajao Laliddong itu, memang kemudian menjadi cermin nilai dan etik berkehidupan masyarakat Bugis, bahwa kalau sekarang terjadi ada Orang Bugis melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, tak lain karena lemahnya wawasannya terhadap ilmu pengetahuan Bugis serta tidak mampu bersikap ilmiah, karena tidak mendalami serta menjiawai ‘pangngadareng’ sebagai falsafah inti kehidupannya. Etika terbangun dari landasan pengetahuan yang mendalam dengan pembentukan sikap yang tepat, agaknya sangat sejalan dengan pandangan keilmuan Bugis.
Menariknya sebab dalam realitasnya yang sering melakukan pelanggaran etika adalah mereka yang secara formalstis memiliki pendidikan yang memadai. Apakah ini dapat dihubungkan dengan anggapan bahwa, sesungguhnya orang berpendidikan ‘kebenarannya’ adalah berpengetahuan. Bukankah salah satu sumber ‘kebenaran’ adalah ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pengalaman dan atau pendidikan. Mungkin lebih dominan melalui pendidikanlah untuk memperoleh pengetahuan ‘kebenaran.’
Sikap dan prilaku yang tidak menerapkan nilai-nilai ‘siri na pesse’ sebagai suatu harga diri bagi Orang Bugis, A.Moen MG, 2008, menyebutnya sebagai seorang yang menyalahi kodratnya. ‘Tania tau Ugi’ – bukan Orang Bugis jika tidak memiliki siri na pesse’. Sebab menurutnya, sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan bagi keluarga Bugis, sudah ditanamkan nilai-nilai kesejatian melalui ritual tradisi yang relegius. Berbagai ritual tradisional pada saat dalam kandungan hingga lahir sampai dewasa, dibingkai dan dibekali dengan nilai ‘siri na pesse’ agar bertanggungjawab dalam perjalanan hidupnya.
Apakah nilai-nilai ‘siri na pesse’ itu dapat menjadi pembentuk etika itu sendiri dan dapat dipandang secara aksiologi yang menurut Amsal Bahktiar bahwa, i ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai pada umumnya ditinjau dari pandangan kefilsafatan. Dalam hal ini ada beberapa bidang pertanyaan, apakah nilai itu instrinsik ataukah instrumental. Yang kedua adalah teori yang mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tak dapat didefinisikan. Yang ketiga adalah teori bahwa nilai sebagai obyek suatu kepentingan. Dan yang terakhir adalah teori pragmatisme mengenai nilai.
Dalam pandangan pembentukan nilai, bagi Orang Bugis secara hieararkis, bahkan mungkin sependapat dengan Suparlan Suhartono ( 2010), bahwa teori yang popular yaitu teori koheren, koresponden dan teori pragmatic, kiranya cocok untuk dipakai sebagai landasan dasar pengukuran kebenaran ilmiah, terhadap nilai siri na pesse’ sebagai etika dasar Orang Bugis. Secara sederhana nilai siri na pesse’ terbangun dari struktur lingkungan social sebagai berikut :
Dalam pandangan Bugis, nilai ‘siri na pesse’ merupakan tugas manusia dan membedekannya dengan binatang dilapisan bawah. Sehingga kalau ada orang Bugis berprilaku tidak ‘masiri’ (merasa malu) dipersamakan dengan Binatang, bukan orang. ‘Naiya taue engka sirinna’ yang disebut orang, ada harga dirinya, tulis A.Moein MG.
Persoalannya apakah dengan itu, ‘kebenaran’ tentang nilai harga diri Bugis ditemukan dalam ‘siri na pesse’ ? Jawabnya, sangat jelas. Sebagaimana ajaran juga tentang ‘macca, warani, lemmpu, getting temmappasilaingeng’ yaitu, pintar/cerdas, berani, jujur dan berkeadilan. Soal ‘kebenaran’ itu oleh Lois S.Katssof (1987) sebagaimana disitir Suparlan Suhartono, 2010, bahwa paham yang menyatakan suatu pernyataan itu benar, jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan paham korespondensi. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (korespondensi) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya.
Faktanya, baik nilai ‘siri na pesse’ maupun pembentukan sikap kecerdasan, kejujuran, keberanian dan keberadilan, sungguh-sungguh merupakan hal yang menjadi pembentuk jati diri manusia Bugis. Sehingga baik menggunakan teori Louis S.Katsoff maupun pemikiran Suparlan, ‘kebenerannya’ bahwa, filsafat Bugis, walau masih dengan studi awal ini, merupakan suatu objek dari sudut ilmu pengetahuan yang amat berharga dalam pembentukan pengetahuan secara universal bagi masyarakat secara umum. Sedikitpun tidak menimbulkan pertentangan dan kalaupun ada pemahaman berbeda dalam memahi eksistensinya, tak lain karena perenungannya yang mungkin belum mendalam atau tidak konsisten.
Mattulada, 1995 menyebutkan bahwa, bagaimana orang Bugis memperlakukan diri dalam ‘pangngadereng’ dan bagaimana seserang merasa terikat padanya, baik berupa adat – kebiasaan atau ketententuan lainnya, bagaimana mereka secara sosial melibatkan diri menurut pola yang mereka telah terima dan pengalamannya yang bersifat objektif dimana seakan-akan sesuatu panggilan suci berperan didalam qalbunya, mendorongnya untuk berbuat. Dorong seperti itu terdapat pada semua orang untuk bersikap dan bertindak dalam pola itu, melalui pewarisan sosial dari generasi kegenerasi.
La Toa, sebuah Lontarak Bugis yang ditellah Mattulada, menyebutkan sebagai salah satu fungsinya dalam masyarakat dan kebudayaan ialah melanjutkan pewarisan sosial itu dan memperlakukan watak manusia Bugis berdasarkan susila, menyatakan sebagai jalan hidup sebaik-baiknya untuk mengenal diri dan mengambil tanggungjawab itu dalam tangannya sesuai dengan fitrahnya.
Cara berfikir dan jalan hidup orang Bugis, menurut Mattulada, menjadi kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan yang bertumpu pada peranan manusia telah diletakkan dasar-dasarnya pada periode Lontarak. Inilah rupanya yang menjadi modal untuk pembinaan kepribadian dalam kehidupan ‘pangngadereng.’
Sangat berbeda jika pembahasan tentang nilai dan kebenaran dikaji dari sudut pandang Filsafat Islam. Nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, memiliki kebenaran dan dengan prinsip membangun kepribadian manusia melalui pendidikan – pembinaan – penyempurnaan akhlak serta budi pekerti untuk membentuk jiwa yang muslim ( jiwa selamat) serta sikap yang tawaddu’ ( tekad) dan prilaku yang membawa kebaikan untuk sesame ( rahmat) bahkan dengan lingkungannya. Bukankah, Muhammad SAW diutus kebumi menjadi Rahmatan Lil-Alamin dan manusia – para pemimpin menjadi perwakilan – pelanjutnya ( khalifah).
Menariknya, sebab apabila nilai dan kebenaran menurut ajaran Islam disinerjikan dengan nilai-nilai dan kebenaran menurut ajaran Bugis, sesunggunya tidak ada yang berbeda. Dalam konteks Budaya Bugis dan Syariat Islam, tidak akan terjadi pertentangan ( Makalah H.Ajiep Padindang,SE.MM, judul : Syariat Islam Versus Budaya Bugis, Watampone, 2008), karena sejak zaman Sawerigading, sudah terjadi sinkritisme Islam dalam Budaya Bugis, serta dalam ‘ade pangngadereng’ Bugis saat raja-raja Bugis, terutama sesudah Raja Bone memeluk Islam, maka Sara’ (syariat) menjadi sendi-sendi kehidupan bernegara (Kerajaan-Kerajaan) dan kehidupan bermasyarakat Bugis.
KESIMPULAN
Studi awal : Filsafat Bugis, dengan pertanyaan-pertanyaan : apakah secara ‘ontologi’ memenuhi unsur-unsurnya dalam mengkaji eksistensi Bugis, baik segi keberadaannya dengan segala aspeknya maupun hakikat yang ada dalam kehidupan masyarakat, tatanan hidup dan lingkungan sosialnya. Rasa keingin tahuan yang terbangun dari konsepsi siklus kehidupan manusia Bugis, jawaban atas pengetahuan Bugis tentang adanya sesuatu yang memang ada pada suku Bugis dan diri individunya.
Tinjauan Ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimaye reality baik yang berbentuk jasman/ konkret maupun rohani/abstrak, seperti disebutkan Amsat Bakhtiar, dapat ditelusuri melalui konsepsi ‘simmulajaji’ yakni teori pengetahuan Bugis tentang awal muasal kejadiannya. Karena Ontologi membahas sesuatu yang ada dan dalam pandangan Bugis, sesuatu yang ada itu diciptakan oleh Allah. Maka dalam pandangan ontology Islam, hal yang harus ada, karena diadakan oleh Allah, selain itu, sebutlah manusia, bukan menciptakan sesuatu menjadi ada, melainkan mengembangkan dari pengetahuan yang diperolehnya.
Penciptaan manusia, kalau boleh disebutkan seperti itu, tidak bersifat abadi, sehingga keberadaannya teruji oleh penciptaan berikutnya. Sedangkan dalam ontology Islam, penciptaan oleh Allah, abadi adanya. Karenanya filsafat kehidupan Orang Bugis sejalan dengan Filsafat Islam, maka secara ontologi dapat dipahami adanya keberadaan orang Bugis. Secara Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Maka, dalam ‘pangngadereng’ dan konsep ‘sulapa eppa’ sebagai pandangan asal, sifat dan metode pengetahuan Bugis, bukan hanya menjadi pembenaran melainkan sekaligus memang mengungkapkan akan kebenaran pengetahuan manusia Bugis itu sendiri.
Perbedaan yang mendasar antara epistemology barat dan Islam, hanya pada sumber ilmu pengetahuan. Islam meletakkan sumber Ilmu pengetahuannya yang dijaminkan oleh ALLLAH kebenarannya, sedangkan sumber barat, tidak demikian sebab pandangan mereka ilmu pengetahuan disusun oleh manusia. Namun bagi manusia Bugis, tidak terdapat sedikitpun perbedaan dengan Filsafat Islam, sebab sejak abad XVI, terjadi perubahan pandangan drastic bagi orang Bugis dalam menerjemahkan kebenaran itu sebagaimana pemahaman kebenaran pada Islam. Artinya, kebenaran yang mutlak, hanya bersumber dari Allah, sedangkan kebenaran yang tidak sempura ada pada diri manusia – juga diakui oleh orang Bugis.
Nilai memang dapat dipahami ada yang berubah, tetapi ada yang sudah pasti dalam artian, teori manapun dan dalam lingkungan manapun nilai tetap universal diterima oleh semua. Nilai-nilai dalam pengetahuan Bugis sejalan dengan Ajaran Islam, menekankan nilai yang universal bukan menyesuaikan dengan lingkungan, tetapi lingkungan manusia dan alam yang harus disesuaikan melalui pembentukan tatanan individu, kelompok bahkan lingkungannya. Karena itu, orang Bugis disebut ‘tau’ ( orang) jika nilai-nilai yang dianutnya adalah dapat diterima semua pihak, sekalipun ada yang disebut nilai pinsip seperti ‘siri na pesse’ yaitu harga diri dan kesetiakawanan, menjadi universal pada semua Orang Bugis.
Islam dengan ajaran menjaminkan kepada pemeluknya akan nilai-nilai baik dan buruk. Apabila dilaukan nilai buruk, ganjarannya adalah kesengsaraan, sedangkan apabila menerapkan nilai baik, imbalannya kesenangan. Syurga dan Neraka, jelas ada. Secara ontologis, diterima dan melalui epistemology Islam dapat dikaji keberannya karena secara aksiologi memiliki nilai-nilai yang berkepastian.
Dengan demikian membahas Filsafat Bugis harus dikaji aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, suatu rangkaian yang harus – bahkan wajib dikuasai oleh seorang ilmuan. Akan halnya jika akan dilakukan kajian secara mendalam tentang Filsafat Bugis yang sarat dengan nilai, etika dan estetikanya. Dalam pandangan ilmu pengetahuan Bugis, ketiganya dapat dikembangkan menjadi Ilmu Pengetahuan Bugis, sebagai pedoman hidup dan bahkan dapat manjadi falsafah Negara.
Bahan Bacaan
- Suparlan Suhartono, 2010, Filsafat Ilmu Pengetahuan.
- Amsal bachtiar, 2004, Filsafat Ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
- Mattulada, 1995, La Toa – Suatu Lukisan analitis terhadap antropologi politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press.
- Chirstian Pelras, Manusia Bugis, Forum Jakarta – Paris, Ecole Francise d’Eextreme-Orient Jakarta 2006.
- R.A.Kern, 1989, I La Galigo, Gajah Masa University Press.
- Anhar Gonggong, pengantar La Galigo, 2003 – Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, Pusat Studi La Galigo Devisi Ilmu Sosial dan Humaniora UNHAS – Pemda Kabupaten Barru.
- A.C. Ewing, Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat. Jakarta:Pustaka Pelajar,2003. Terjemahan.
- Asmat Riadi Lamallongeng, 2007, Kajao Laliddong Cendekiawan Bugis, La Macca Press.