Oleh: Yusriani Nuruse
“Kak,…Tolong bantu kami bisa memiliki kasur yang empuk ya, agar kami bisa tidur nyenyak untuk menimba ilmu esok hari”, ucap Nabila dan Ahmad saat kami mengunjunginya di sebuah ponpes.
Pagi itu, kami bersama Tim menyusuri jalan pegunungan untuk mencapai Pondok Pesantren Pertanian NU Sering yang semua santri dan santriwatinya dari kalangan kurang mampu. Pondok pesantren yang dicetuskan oleh bapak Kulasse (66 tahun) bersama istri Ibu Hj. Agustina ( 54 tahun). Pada Tahun 2009, saat megadakan pengajian di Masjid dan melihat begitu banyak anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah tingkat pertama dan anak-anak putus sekolah karena jauh dari kota dan rata-rata dari kalangan keluarga tidak mampu.Jangankan mencari lulusan sarjana, mencari lulusan setingkat SMP pun sangat sulit ditemukan, sehingga Bapak Kulasse mempunyai ide untuk membangun ponpes .Melalui Yayasan NU, Bapak Kulasse mendapat hibah tanah dari pemerintah yang kemudian mendirikan pondok pesantren pertanian NU Sering.
Setelah didirikannya pondok tersebut, maka Bapak Kulasse bersama Istri mencari anak-anak
putus sekolah untuk dididik menjadi santri dan santriwati tanpa biaya apa pun.Walau Bapak Kulasse sering mendapat penolakan dari orang tua santri yang enggan melepas anak-anaknya, namun, tidak membuat Bapak Kulasse bersama istri patah semangat, hingga dengan dialog dan pendekatan, akhirnya mereka bersedia anak-anaknya dibawa mondok.
Karena tak ada Donatur tetap, santri dan santriwati menempati masing-masing pondok yang terbuat dari kayu dengan ukuran 5 X 7 m untuk menampung kurang lebih 100 anak. Tentunya sangatlah sempit buat mereka. Para Santri selain mendapatkan ilmu umum dan agama, mereka juga diajarkan dan dilatih berkebun,menanam sayuran seperti ubi, jagung, agar kelak bisa mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan makan di ponpes bila bantuan/donasi sedang sepi.
Untuk itu wahai saudara saudariku mari bahu membahu membangunkan pondok buat mereka.agar kelak tercipta generasi bangsa yang berakhlak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid: 18)
Perjalanan menjadi santri banyak cerita dan kesan tersendiri. Seperti yang dituturkan santriwati yang
bernama Nabila. la menceritakan hidup di pondok, jauh dari orang tua dan keluarga. Namun, ia merasakan kasih sayang dan kebersamaan dari pembina-pembina pondok pesantren dan teman-temannya yang
sudah seperti keluarga sendiri. Namun, di sisi lain, la sering merasakan pegal karena kasur kapuk yang ia pakai beristirahat sudah usang dan keras seperti batu,.serta kamar yang sempit. Begitu juga dengan fasilitas kamar mandinya yang kurang memadai yang harus dipakai bergantian hingga kerap ia terlambat
masuk ke kelas menerima ilmu.
Begitu pun dengan Santri yang bernama Ahmad. la kadang merasa sedih saat teman-temannya
tidak mengajaknya bicara. Namun, Ia tetap semangat mondok. Ia sangat bersyukur bisa
mengenyam pendidikan di pondok pesantren dibandingkan di luar sana masih banyak yang tidak
bisa melanjutkan pendidikannya karena harus membantu orang tua di sawah dan di kebun
mencari nafkah.
Baik Nabila maupun Ahmad beserta teman-temannya yang lain sangat menginginkan mempunyai pondok yang layak, memiliki kasur, bantal, guling, kelambu dan selimut agar bisa
tidur nyaman dan lelap, walau sebenarnya kehidupan pondok mengajarkan hidup seadanya dan sederhana.
Orang baik mari kita ulurkan tangan-tangan kita untuk mewujudkan impian mereka bisa
menimba ilmu agama dan sebagai generasi penerus bangsa yang berakhlak.
ما نقصت صدقة من مال وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا
Artinya:
“Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim, no. 2588)
Watansoppeng, 4 Juli 2022
