Oleh: Sumardi
Kisah nyata berikut ini terjadi di Pemerintah Kabupaten C. Bupati yang baru saja dilantik serta merta membebaskan 11 (sebelas) Pimpinan Tinggi Pratama dari jabatan Kepala Dinas, Kepala Badan dan Kepala Satuan Polisi Pamongpraja karena alasan rendahnya capaian kinerja dan akselerasi untuk mewujudkan Visi Misi Bupati terpilih. Tentu saja beberapa alasan ini diragukan oleh para Pimpinan Tinggi Kabupaten C sebagai korban dzolimisasi oleh Bupati terpilih yang merupakan pejabat politik yang sekaligus Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Bahkan banyak kalangan pemerhati pemerintahan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di ibukota Kabupaten itu mencium aroma tidak sedap dalam proses penonjoban beberapa ASN dari jabatan. Banyak kalangan menduga keras telah muncul praktek “ijon” jabatan yaitu beberapa ASN rela membayar dengan sejumlah uang tertentu kepada “utusan” Bupati untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah, Eselon IV, III dan II.
Para ASN yang menjadi korban tersebut tentu saja sedih dan marah memperoleh perlakuan yang tidak adil. Mereka merasa telah bekerja dan berkinerja dengan baik namun sebaliknya mendapatkan penilaian kinerja secara sepihak tanpa ada proses dialog ataupun pemberitahuan sebelumnya. Alih-alih dialog sebagai Kepala Daerah baru, pemahaman secara rinci tugas, fungsi dan tanggungjawab serta wewenang yang dikerjakan oleh para pejabat saja belum tentu difahami oleh Bupati. Apalagi melakukan penilaian kinerja terhadap para ASN dengan predikat sangat baik, baik, cukup dan kurang, kapan dan bagaimana evaluasi kinerjanya ? Tentu saja menjadi pertanyaan besar. Tidaklah berlebihan jika kemudian muncul sebuah isu bahwa pemberhentian para Kepala Organisasi Perangkat Daerah atau Pimpinan Tinggi di Pemerintah Kabupaten C tersebut dipicu oleh keinginan kuat Bupati terpilih yang juga diamini oleh “Tim Sukses” Pilkada. Nampaknya sebagai pengusung atau relawan mereka mulai “menebar jala untuk segera memanen ikan”. Syukur-syukur dapat ikan besar sebagai “imbalan atau hadiah” setelah bekerja keras mendukung pencalonan Bupati dan Wakil Bupati.
Sebelas mantan pejabat tersebut akhirnya kompak melaporkan permasalahan tersebut ke sebuah Lembaga independent yang menangani ASN dengan harapan permasalahannya bisa dianalisis dan diuji kebenarannya dari sisi hukum administrasi negara atau hukum kepegawaian. Lembaga ini ternyata tidak perlu berlama-lama untuk melakukan analisis dokumen dan klarifikasi terhadap berbagai pihak terkait (termasuk Bupati yang baru dilantik). Berdasarkan pengujian diperoleh simpulan bahwa pemberhentian ASN dari masing-masing jabatan karena alasan capaian kinerja yang rendah ternyata cacat dari sisi hukum dan juga cacat dari sisi substansi.
Dugaan awal bahwa pemberhentian ASN dari JPT merupakan pintu masuk untuk membuka “locker” baru mulai terbukti. Selanjutnya sudah dapat ditebak kemana arah permainan tidak pantas ini bermuara. Alhasil berdasarkan rekomendasi Komisi yang masih terbilang belia usianya tersebut mewajibkan bagi sang Kepala Daerah untuk segera mengembalikan para ASN tersebut ke JPT semula atau jabatan setara lainnya dengan JPT. Tentu saja rekomendasi ini final dan tidak dapat ditawar lagi.
Bupati C memperoleh rekomendasi ini bukannya senang karena Komisi ASN telah memberikan koreksi berharga atas tindakan administratif keliru yang telah dilakukannya. Sebaliknya justru mereka marah besar dan menganggap bahwa pemberhentian ASN dari JPT tersebut adalah kewenangannya sebagai seorang Bupati yang baru saja dilantik dan itu melekat pada jabatannya. Bahkan dia mengumpamakan seorang Presiden/Wakil Presiden yang baru saja terpilih, sah-sah saja dia menyusun “kabinetnya”. Ha ha ha ha…..sang Bupati yang satu ini gagal faham dan tidak menguasai peraturan perundang-undangan di pemerintahan ya ?
Hari terus berjalan sampai hitungan bulan Bupati C tidak menunjukkan itikad baiknya untuk melaksanakan rekomendasi Komisi ASN, bahkan terkesan mengabaikan perintah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara khususnya kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi Lembaga ini. Para korban pemberhentian jabatan mulai gusar dan marah atas sikap dan perilaku Bupati yang tidak bergeming dengan keputusan yang telah dibuatnya. Selanjutnya mereka secara bersama-sama mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas obyek perkara Surat Keputusan Bupati C atas pemberhentian dari JPT tersebut.
Sidang di PTUN terus berjalan saling berhadapan antara Kuasa Hukum Bupati C dengan Kuasa Hukum sebelas mantan Pimpinan Tinggi Pratama Kabupaten C. Mereka saling beradu argumentasi, pendapat dan beradu bukti dokumen untuk mempertahankan sikapnya masing-masing dalam permasalahan ini. Hakim PTUN tentu mendengarkan, mendalami dan menguji berbagai keterangan atas obyek yang dipersengketakan dan nanti di akhir persidangan akan menetapkan putusannya. Dalam pertengahan persidangan para korban ternyata meminta penulis untuk memberikan dukungan sebagai Saksi Ahli dalam persidangan. Tidak perlu berfikir panjang tentu setelah mendapatkan izin dari pimpinan maka penulis berangkat untuk memberikan keterangan sebagai ahli dengan mengucapkan sumpah di depan majelis hakim PTUN. Alhamdulillah persidangan berjalan dengan lancar semua pertanyaan baik dari pihak lawan, pihak korban dan pertanyaan dari tiga hakim dapat dijawab dengan lancar oleh penulis sehingga nampaknya mampu memberikan nilai penguatan terhadap pihak korban.
Setelah hampir tiga bulan persidangan berjalan dengan menyampaikan bukti, saksi fakta, dan saksi ahli serta beradu argumentasi panjang lebar yang cukup melelahkan, maka tibalah hari pembacaan putusan majelis hakim pada sidang PTUN. Pada hari itu kalau tidak salah Rabu siang Ketua Mejelis Hakim PTUN membacakan putusannya bahwa tuntutan penggugat (para korban pemberhentian jabatan JPT) dikabulkan dan diputuskan bahwa Surat Keputusan Bupati C dibatalkan serta meminta kepada pihak Tergugat untuk mengembalikan sebelas ASN tersebut ke jabatan semula atau jabatan lainnya yang setara. Putusan majelis hakim PTUN ini tentu saja disambut suka-cita oleh para korban pemberhentian. Putusan ini sungguh mencerminkan rasa keadilan bagi para korban atas perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Bupati C. Penulispun merasakan kegembiraan atas informasi putusan ini. Hal ini tidak saja penting bagi para korban pemberhentian akan tetapi juga membuktikan bahwa rekomendasi yang diterbitkan oleh Lembaga independen ini “senada dan sebangun” dengan putusan Majelis Hakim PTUN.
Kalau pihak Penggugat bersuka cita maka lain halnya dengan pihak Tergugat (Bupati C). Mereka tidak menerima atau menolak putusan majelis hakim PTUN yang menurutnya tidak adil karena mereka tetap menganggap bahwa hal ini adalah ranah kewenangan Bupati, pikirnya. Sontak mereka mengajukan banding di Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN). Untuk sementara para korban harus bersabar karena putusan hasil sidang belum dapat dieksekusi oleh Tergugat. Setelah Majelis Hakim PTTUN mencermati dokumen yang diajukan oleh kedua belah pihak yang berperkara maka tibalah putusan ditetapkan yang lagi-lagi para penegak hukum tersebut menguatakan putusan yang telah diambil oleh majelis hakim PTUN sebelumnya.
Tidak puas dengan penetapan putusan majelis hakim PTTUN, Bupati C melalui kuasa hukumnya menempuh upaya hukum berikutnya berupa kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kesabaran para ASN yang menjadi korban pemberhentian jabatan secara sewenang-wenang diuji lagi. Setahun lebih masalah tersebut bergulir sehingga sebagian ASN harus mengubur mimpinya dalam-dalam untuk kembali menduduki jabatan eselon IIb. Mereka termakan usia pensiun 60 (enam puluh) tahun sebagai usia maksimal ASN yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Merekapun harus ikhlas dengan takdir yang telah digariskan oleh-Nya. Singkat cerita di tangan Majelis Hakim tingkat Kasasi putusannya juga menguatkan putusan yang telah ditetapkan oleh PTUN. Dengan demikian putusan telah inkracht dengan kemenangan tetap di pihak ASN yang diberhentikan dari Jabatan Pimpinan Tinggi.
Upaya hukum telah ditempuh oleh kedua belah pihak dengan tentu saja menguras energi, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pada akhirnya kedua pihak melakukan islah/perdamaian untuk memulai kehidupan baru. Pemerintah Daerah menyadari bahwa para korban meruapakan keluarga besar Pemerintah Kabupaten C yang harus juga mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Demikian juga para ASN sebagai korban juga menyadari pentingnya memberikan maaf atas kekeliruan yang terjadi. Akhirnya kisah nyata ini memasuki babak baru yaitu sesi happy ending ….dengan dikembalikannya para ASN untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi yang memang masih kosong. Mereka bersepakat untuk bekerja lebih giat membangun Kabupaten C agar masyarakat terlayani lebih baik dari sebelumnya.
Penulis : Pegawai BPKP dalam Penugasan di KASN RI
Bacaan seger di otsk
Bacaan seger di otak ASN wajib baca