Oleh: Tammasse Balla
Setiap nama adalah doa, tapi seringkali juga lelucon Tuhan yang diselipkan di antara harapan manusia. Begitu pula dengan namaku—Tammasse. Nama yang lahir bukan dari kebetulan, tapi dari harapan seorang guru kampung bernama H. Balla dan Ibu Hj. Asia yang menunggu kelahiran anaknya di kampung kecil bernama Pacongkang. Sebuah kampung di pelosok yang bahkan peta pun mungkin belum sempat mengenalnya. Namun di sanalah, doa dan ilmu bersahabat erat seperti kopi pahit yang menemani malam panjang ayahku.
Sebelum aku lahir, pernah lahir seorang kakakku. Laki-laki, gagah, dan putih kulitnya, tapi hanya sempat meminjam dunia selama tujuh hari. Ia kembali sebelum sempat belajar menangis panjang. Mungkin karena itulah ayah dan ibuku menyiapkan sebuah nama dengan hati-hati, penuh makna, sarat harapan. Sebuah nama yang akan menjadi doa penjaga hidup anak berikutnya. Kisahnya berawal dari simi, lahirlah nama itu—Tammasse.
Nama ini tidak sekadar bunyi. Ia lahir dari bahasa Bugis yang sarat filosofi mendalam. /Tang/ arti dalam kamus ‘berhenti’, arti filosofinya pandangan hidup dengan kokoh; tangguh dan /masse’/ berarti kuat atau sehat. Dua makna sederhana tapi tajam, seperti pisau yang disimpan dalam sarung sutra. Ketika keduanya bertemu, terjadi sesuatu yang dalam linguistik disebut asimilasi. Dua kata melebur, menyatu, lalu melahirkan satu identitas baru: Tammasse. Nama yang bukan hanya memiliki arti, tapi juga sejarah proses bahasa. Entah kebetulan atau takdir, dari sanalah mungkin aku digiring oleh semestq menjadi seorang linguis (pakar bahasa).
Ketika kawan-kawan lain berbangga dengan nama-nama berbau modern atau barat, aku malah merasa cukup dan berrsyukur dengan nama dua suku kata itu. Ia sederhana, tapi kokoh. Namun hidup kadang lucu. Waktu pertama kali aku mencoba membuat inisial namaku, aku berpikir sederhana saja: “TB”. Singkatan yang singkat, mudah diingat. Namun, siapa sangka, dua huruf itu membawa masalah baru.
TB, di telinga orang lain, bukan lagi Tammasse Balla. TB adalah penyakit. Virus yang membuat paru-paru sesak dan napas kehilangan iramanya. Aku pun tertawa pahit. Nama yang lahir dari doa tentang kekuatan dan kesehatan, malah disingkat menjadi lambang penyakit. Tuhan benar-benar pandai bercanda, pikirku wĺaktu itu.
Aku tak menyerah, kucoba lagi menambahkan nama kakekku: Colle. Jadilah “TBC. Hal ini lagi-lagi, dunia punya cara bercanda yang lebih sadis. TBC malah lebih parah. Bukan cuma virus, tapi simbol penyakit berbahaya yang melegenda. Aku mulai merasa seperti bahan tertawaan semesta. Orang lain menyingkat nama untuk kepraktisan, aku menyingkat nama dan malah berurusan dengan istilah medis.
Akhirnya aku pasrah, lalu berpikir lebih jernih. Aku bukan hendak menonjolkan siapa-siapa, hanya ingin nama itu selamat dari tafsir yang keliru. Lalu, kutambahkan satu huruf di depan: H. Jadilah HTB — Haji Tammasse Balla. Lengkap, sopan, dan tanpa dosa linguistik. Aku tak bermaksud menjual status sosial, tapi sekadar menyelamatkan nama dari gurauan dunia.
Lucunya, sejak itulah orang-orang mulai memanggilku dengan nada yang berbeda. Ada yang sopan karena melihat gelar “Haji”-nya, ada pula yang tetap bercanda, sepertinya nama itu terlalu panjang untuk dihafal. Namun, kubiarkan saja. Pada akhirnya, nama bukan untuk dikagumi, melainkan untuk dihidupi.
Kini, setiap kali menulis atau menandatangani sesuatu dengan “HTB”, aku selalu tersenyum kecil. Aku teringat ayahku di Pacongkang, yang dulu menatap langit malam sambil berdoa agar anaknya lahir kuat dan sehat. Aku teringat pula kakakku yang hanya sempat hidup tujuh hari—barangkali doa ayahku menjelma dalam namaku, agar aku kuat melanjutkan hidup yang tak sempat dijalani oleh saudaraku itu.
Jadi, ada apa dengan HTB? Tak ada yang istimewa, kecuali perjalanan panjang sebuah nama yang lahir dari cinta, diuji oleh takdir, dan dihidupi oleh ilmu. HTB bukan sekadar huruf. Ia adalah sejarah kecil yang mengingatkan bahwa di balik setiap nama, ada doa, ada air mata, ada tawa, dan ada perjalanan batin yang tak bisa dibaca oleh siapa pun—kecuali oleh mereka yang tahu, bahwa setiap nama adalah takdir yang menyamar jadi bunyi.
Namun seiring perjalanan waktu, aku mulai percaya bahwa nama /Tammasse/ telah membawa keberuntungan tersendiri. Ia bukan sekadar doa yang hidup, tapi juga magnet yang menarik kebaikan. Tahun 1993, Allah mempertemukanku dengan seorang perempuan bijak dan lembut hati, dr. Jumraini. Sejak itu, dua nama bersatu bukan hanya dalam akad, tapi juga dalam makna. Kini ia dikenal dengan inisial “JT” — Jumraini Tammasse, nama lengkapnya Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S., Subsp. N.R.E.(K), dosen FK -Unhas; Dokter Ahli Penyakit Saraf-Stroke. JT, dua huruf yang menjadi cermin kecerdasan, kesetiaan, dan kebersamaan.
Allah kemudian mempercayakan kepada kami dua amanah yang luar biasa: dua putri yang tumbuh dengan cahaya ilmu dan kasih sayang. Mereka adalah dr. Iin Fadhilah Utami Tammasse, S.Ked., MARS, M.Sc. dan dr. (Muda) Gita Fitri Aidini Tammasse, S.Ked.. Dua bunga kehidupan yang membuat taman rumah kami selalu wangi dengan doa dan kebanggaan. Mungkin benar, nama itu membawa berkah, sebab tiga dokter kini memanggul nama yang sama—Tammasse—nama yang dulu lahir dari sebuah doa di kampung kecil bernama Pacongkang.
Setiap kali kusebut nama itu, terasa seolah-olah sedang menyebut silsilah doa. Dari ayahku yang guru sederhana, kepada aku yang menjadi Doktor Neurolinguistik di kampus ternama Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin, hingga kepada istriku dan dua putriku yang kini menjadi dokter. Dari sebuah kampung yang sunyi, Tuhan menumbuhkan cerita tentang ilmu, cinta, dan keberkahan yang berakar pada satu nama: Tammasse. Kini kutahu, nama bukan hanya identitas—ia adalah warisan doa yang akan terus hidup, bahkan ketika pemiliknya telah usai menulis kalimat terakhir di buku kehidupannya. [HTB]
Andorra, 26 Oktober 2025
Pk. 00.42 Waktu Andorra
