Oleh: Juli Harmet

Malam merambat pelan, angin pun menyelinap lewat celah jendela, membawa dingin dan kesunyian yang menusuk. Aku berjalan tanpa arah, menjauh dari rumah yang bagiku hanya berisi suara-suara memekakkan telinga. Suara seorang perempuan tua yang tak pernah berhenti menasihati, mengomel, bahkan memarahiku.

Setiap hari, kata-katanya mengalir seperti hujan yang tak kunjung reda. Tentang hidup, masa depan, pergaulan, dan ibadah. Ah, bagiku semua itu hanya ocehan kosong yang membuatku muak. Kadang, aku ingin menjerit dan berkata, diam! Aku ingin bebas, hidup tanpa aturan, tanpa nasihat yang membelenggu.

Aku menyebutnya “babu”. Seolah-olah ia hanya pelayan tua yang kebetulan tinggal bersamaku. Aku lupa, dulu dialah yang pertama kali menggendongku, menyuapiku, bahkan memelukku di malam-malam ketika aku demam dan menggigil.

Namun bagiku, semua waktu itu tidak penting, yang penting adalah teman-temanku. Mereka tahu caranya bersenang-senang, memahami caranya membuatku tertawa. Kami duduk di warung, tertawa di bawah lampu redup, mengisap rokok sambil membicarakan hal-hal remeh yang terasa begitu besar.
Setiap kali asap rokok menari di udara, aku merasa bebas dari rumah, dari perempuan tua itu. Lepas dari nasihat-nasihat yang membuat telingaku panas.

“Untuk apa pulang? Kataku membatin. Bukankah di rumah hanya ada suara marah dan wajah letih yang menatap penuh kecewa.”

Namun malam itu berbeda. Langit mendung, dan langkahku terasa berat. Di tengah jalan sepi, entah kenapa, bayangan wajahnya muncul dalam benakku. matanya yang mulai rabun, tangan yang gemetar, dan suara yang kini samar-samar kuingat, “Nak, jangan pulang terlalu malam. Ibu cemas.”

Tiba-tiba dadaku sesak. Ada sesuatu yang menekan dari dalam, sesuatu yang selama ini kuabaikan. Bayangan masa kecil melintas begitu jelas, “tangan itu yang dulu menuntunku belajar berjalan, suara itu yang dulu membacakan doa sebelum tidur, pelukan itu yang dulu menenangkan setiap tangisku”. Aku berhenti melangkah. Rokok di tanganku jatuh ke tanah, membakar sedikit ujung sepatuku. Aku menatap api kecil itu padam, seperti padamnya kesadaranku selama ini.
“Dia bukan babu,” bisikku pelan. “Dia ibuku.”

Aku berlari pulang. Napasku tersengal, tapi hatiku memaksa untuk segera sampai. Ketika aku tiba di depan rumah, lampu minyak di ruang tamu masih menyala redup. Di kursi bambu, kulihat ia tertidur dalam posisi duduk, selendang lusuh menutupi bahunya. Aku mendekat pelan. Dalam pangkuannya ada foto kecilku, foto saat aku masih bocah, tersenyum tanpa dosa di pelukannya. Ada noda air mata di sudut foto itu.

Aku berlutut, tanganku menyentuh tangannya yang dingin. “IBU” suaraku bergetar. “Maafkan aku, anakmu yang paling durhaka.”
Perempuan itu membuka matanya perlahan. Matanya sayu, tapi senyum kecil mengembang di bibirnya. “Ibu tidak marah, nak, katanya lirih. Ibu hanya takut kehilangan dirimu.”
Kata-kata itu menamparku lebih keras dari apa pun. Aku menunduk, menangis di pangkuannya, membiarkan air mataku membasahi tangannya yang kasar.

Semua kemarahan, kebencian, dan kebodohan yang selama ini kupelihara luruh seketika. Malam itu aku belajar, cinta sejati seorang ibu tak akan pernah padam, meski dibalas dengan luka.
Ia tetap menyala, bahkan ketika anaknya sendiri menolak cahaya itu.

Pada malam itu pula, aku berjanji dalam hati, takkan pernah lagi memanggilnya babu.
Karena sejatinya, di dunia ini hanya ada satu nama yang pantas untuknya : Ibu. Terimakasih ibu, kutemukan cinta sejati dalam dirimu.

(Visited 61 times, 61 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.