Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Kenapa harus demokrasi? Inilah pertanyaan familiar yang sering mengemuka dalam kuliah-kuliah mahasiswa ilmu politik. Menurut Robert Dahl, paling tidak ada sepuluh alasan kenapa harus demokrasi. Dua diantaranya yang sangat relevan di kedepankan dalam konteks Indonesia kekinian. Pertama, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (hukum tidak boleh tajam ke bawa tumpul ke atas). Kedua, setiap warga negara bebas berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat.

Karena Demokrasi mengembalikan hak-hak alami warga negara setelah dirampas oleh sistem pemerintahan otoriter, maka hampir seluruh negara di muka bumi dilanda “gelombang demokrasi”. Suatu gelombang yang menyapu bersih elemen-elemen otoriter dalam sebuah negara untuk menuju pemerintahan yang demokratis.

Samuel P. Huntington membagi tiga fase gelombang demokrasi. Fase pertama, berlangsung pada tahun 1828-1926 yang berawal dari Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika. Fase kedua, berlangsung pada tahun 1945-1962 setelah Perang Dunia II. Fase ketiga, berlangsung pada tahun 1974 sampai sekarang. Dalam ketiga fase itu beberapa negara mengalami pasang surut demokrasi.

George Sorensen menyebutnya “redemokratisasi”, suatu proses perjalanan panjang menuju zona demokratis setelah melewati periode pemerintah nondemokratis. Namun dalam perjalanannya, beberapa negara yang sudah membangun demokrasi di ketiga fase itu tiba-tiba diserang badai tzunami “gelombang balik demokrasi“. Suatu kondisi di mana terjadi pergeseran menjauhi nilai-nilai demokrasi dan kembali ke bentuk-bentuk tradisional pemerintahan otoriter.

Arus balik ini cenderung terjadi karena lembaga-lembaga demokrasi yang dibentuk cenderung korup. Muncul karena pemerintahan yang dipilih secara demokrasi oleh rakyat dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat, karena lumpuhnya beberapa elemen demokrasi. Diantaranya penyelenggaraan pemilu curang yang bisa memicu konflik horisontal di tengah rakyat akibat ketidakmampuan menghadirkan rasa keadilan. Institusi pemberitaan yang berat sebelah bisa memicu kecemburuan akibat ketidakadilan dalam pemberitaan. Terjadinya kesewenang-wenangan penguasa, serta pendistribusian keadilan hukum dan ekonomi yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

Kondisi ini semua menjadi trigger atau sumbu api pengambilan kekuasaan oleh militer. Jadi dalam kajian literasi proses gelombang balik demokrasi selalu dikomandoi oleh pihak militer, ketika pemerintahan sipil gagal merawat minimal tiga nilai-nilai dasar demokrasi yaitu keadilan, kejujuran, dan kebenaran.

Lalu bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Kalau mengacu pada tiga fase gelombang demokrasi Huntington di atas, Indonesia berawal pada fase kedua dan puncaknya pada fase ketiga ketika Indonesia mengalami gerakan reformasi tahun 1997 yang ditandai dengan semakin menguatnya civil society dalam membangun demokrasi. Seperti pelaksanaan pemilu yang demokratis (pemilihan langsung : Pilkada, Pileg dan Pilpres). Kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara tanpa dihantui ancaman dan penangkapan. Tumbuh suburnya kebebasan pers dalam kehidupan warga negara.

Namun sayang seribu sayang, perkembangan terakhir menunjukkan sudah mulai nampak adanya gelombang balik demokrasi. Arus balik demokrasi mulai menerpa di sana sini khususnya jelang dan sesudah Pemilu 2019, yang ditandai dengan pengontrolan kebebasan berpendapat bagi warga negara dengan penerapan ancaman pasal makar bagi lawan politik penguasa. Pengekangan kebebasan pers (penggiringan pelanggaran nilai-nilai dasar jurnalistik). Artinya, hampir semua pers didesain menjadi pers partisan kepada penguasa, yang berimplikasi kepada pengingkaran nilai-nilai utama demokrasi. Terakhir bahkan media sosial sebagai wadah ekspresi warga negara harus disensor atau dibatasi penggunaannya.

Gelombang balik demokrasi ala Indonesia ini berbeda gelombang balik demokrasi versi Huntington yang banyak melanda negara-negara Amerika Latin. Di beberapa negara Amerika Latin yang mengalami gelombang balik demokrasi, pihak militer yang menjadi tokoh sentralnya menjadi pemimpin. Sementara di Indonesia, gelombang balik demokrasinya dipicu oleh tokoh sipil yang mencoba melumpuhkan beberapa elemen utama demokrasi. Karena itu bisa menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak mengakibatkan kerusuhan sosial. (BERSAMBUNG).

*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku politik

(Visited 451 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.