Oleh : Tammasse Balla

Di ujung perjalanan seorang prajurit, kala seragam mulai dilipat rapi dan tanda pangkat diserahkan kembali kepada negara, Mayor Inf. Drs. Sanusi menatap langit dengan senyum syukur. Pensiun bukanlah akhir, melainkan peralihan dari gelanggang peperangan ke medan kehidupan yang lebih luas. Apa yang gugur dari dirinya, sesungguhnya tengah bertunas pada darah dagingnya sendiri.

Pada saat ia melangkah meninggalkan barisan komando, justru putra sulungnya, Zufar Yoga Indratmo Sanusi, berdiri tegak di Istana Negara, menyambut panggilan tanah air. Di pundaknya bertengger pangkat Letnan Dua, di hatinya berkobar janji suci kepada Indonesia. Sang ayah meletakkan senjata, sang anak mengangkat sumpah di depan Presiden Prabowo di Istana Negara, 23 Juli 2025 lalu. Beginilah hidup, patah tumbuh, hilang berganti.

Yoga, begitu ia disapa di rumah, adalah cahaya yang menyalakan harapan keluarga. Namun, di medan tugas perdananya di Kostrad Divisi III Makassar, nama yang melekat di dadanya adalah Zufar, simbol keberanian yang ditempa di lembah Tidar. Dari ayah yang menapak karier sebagai Bintara, lahirlah anak yang menjejak tanah perwira. Seperti pohon yang berakar sederhana, namun menumbuhkan cabang ke langit.

Mayor Sanusi menatap perjalanan itu dengan mata yang teduh. Ia pernah berlari menembus hutan, menggenggam senjata, dan mencatat pengabdian. Kini ia melihat putranya menapaki jalan serupa, meski dengan cara yang lebih megah. Ia tahu, darahnya mengalir dalam tubuh putranya, dan sumpah yang pernah ia ikrarkan kini diperbarui di suara anaknya.

Namun hidup bukan hanya tentang satu jalan. Arya Sidqi Wiranata Sanusi, adik Zufar, pernah mencoba mengetuk gerbang yang sama di AKMIL Magelang. Namun Allah menunjukkan jalan lain, menuntunnya ke bangku Fakultas Kedokteran. Ia tidak berseragam hijau, tetapi berjubah putih dengan stetoskop, bersiap menyembuhkan luka yang tak terlihat oleh peluru.

Mayor Sanusi pun memahami, bahwa setiap anak lahir dengan cahaya yang berbeda. Satu cahaya ditempa untuk menjaga tanah air dengan senjata, cahaya lain ditempa untuk menyelamatkan kehidupan dengan ilmu. Keduanya adalah pengabdian, sama-sama suci, sama-sama mulia.

Di hadapan peralihan itu, ia berbisik dalam hatinya: “Beginilah rahasia kehidupan, ketika satu pintu ditutup, pintu lain terbuka. Ketika satu jalan berakhir, jalan lain terbentang. Tidak ada yang hilang, karena setiap yang patah akan tumbuh, setiap yang pergi akan terganti.”

Generasi berganti bukan untuk melupakan, melainkan untuk meneruskan. Pensiun bukan berarti kehilangan, melainkan menghadirkan ruang agar yang muda dapat berlari lebih jauh. Ayah meletakkan obor, anak mengambilnya, dan cahaya pengabdian tidak pernah padam. Dalam kebersahajaan seorang ayah dan semangat juang seorang anak, tersusunlah mozaik kehidupan: patah tumbuh, hilang berganti. Tidak ada air mata di dalamnya, hanya doa yang mengalir, agar pengabdian yang diwariskan tetap abadi, dan agar tanah air senantiasa bernaung dalam cahaya ketulusan yang tak pernah redup. Ya Allah, limpahkanlah berkah atas pengabdian seorang ayah yang telah menunaikan tugasnya dengan setia, kuatkanlah langkah sang anak yang kini memikul amanah bangsa, dan tuntunlah setiap generasi agar tidak pernah goyah dalam menjaga negeri ini. Langkah ayahnya terhenti di “Pintu Bunga”, semoga anak akan masuk ke “Gerbang Bintang”. [HTB]

Makassar, 10 September 2025
Pk. 10.20 WITA

(Visited 33 times, 33 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.