Suhu Politik semakin memanas di paro kedua tahun 1965. Suasana diwarnai bakar-membakar emo-si, provokasi dan provokasi silih-berganti. Kelompok kiri tampaknya sedang mendapat angin segar politik, karena “prestasinya” yang menonjol. Anggota PKI tumbuh pesat, dan jaringan internasionalnya semakin menguat. Sementara itu, di dalam negeri, muncul ber-bagai ketidakpuasan akibat kesejahteraan rakyat yang terbengkalai.
Perekonomian yang terus merosot dan pertarung-an laten antara Angkatan Darat bersama kelompok-kelompok pendukungnya melawan PKI dan kaum Soekarnois membuat iklim politik berubah cepat. Ditambah lagi dengan keadaan memburuknya keshatan Bung Karno, yang memunculkan analisis ekstrem bahwa Presiden sedang menghadapi dua nasib yang sama-sama buruk, yaitu meninggal atau lumpuh.
Presiden Soekarno memang pernah menolak anjuran tim dokter di Wina Austria agar ginjalnya diope-rasi, konon karena ia percaya bahwa ajalnya disebab-kan oleh benda tajam seperti pisau. Sebaliknya, ia memilih berkonsultasi dengan tim dokter Cina saja yang metode pengobatannya menggunakan cara tusuk jarum. Pilihan metode pengobatan ini pun menjadi pemicu kontroversi, mengingat afiliasi politik Indonesia yang semakin condong ke kiri.
Perseteruan antara Angkatan Darat dan PKI memang sangat panas pada tahun 1965. Isu Dewan Jenderal berhembus untuk meyakinkan masyarakat bahwa jenderal-jenderal Angkatan Darat (AD) sedang menyusun rencana kudeta menggulingkan Presiden Soekarno yang mereka cintai.
Pada awal bulan Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan setelah berpidato. Saat itu, Aidit sedang berada di Cina. Dua hari setelah Soekarno pingsan, Aidit langsung pulang ke Indonesia. Itulah salah satu yang membuat Victor M. Fic (Kudeta 1 Oktober 1965, 2005) menyusun fantasi pertemuan Aidit dan Mao Tse Tung dan merekayasa dialog di antara keduanya. Da-lam rekayasa dialog itu (Fic menyebutnya “rekonstruksi”), Mao dikatakan Fic menginstruksikan Aidit untuk menebang pucuk pimpinan tentara, mentransformasikan Indonesia menjadi negara sosialis, dan membawa Bung Karno untuk “pensiun” di sebuah tempat di negeri Cina, yang dikenal dengan sebutan Danau Angsa.
Isu dokumen Gilchrist, yang disebarluaskan oleh Dr. Soebandrio, membuat suasana semakin panas. Dokumen palsu itu menyebut-nyebut keterlibatan AD dalam rencana kudeta perebutan kekuasaan
Sementara itu, PKI mengadakan show of force pada ulang tahunnya ke-45 di Senayan, bulan Mei 1965. Perayaan itu meriah sekali. Mereka memajang poster raksasa tokoh-tokoh komunis internasional seperti Karl Marx, Lenin, dan Engels. Tidak ketinggalan pula tokoh-tokoh komunis nasional.
Pada kesempatan tersebut, sekali lagi isu dokumen Gilchrist mengemuka. Selain itu, terdapat sejumlah provokasi yang bernada memecah-belah. Mereka semakin intensif mengkampanyekan angkatan kelima dengan slogan “persenjatai buruh dan tani”. Kampanye ini tentu saja menggerogoti wibawa ABRI, khusus-nya Angkatan Darat.
Di sisi lain, perwira-perwira tinggi AD pada bulan Mei 1965 juga mengadakan konsolidasi untuk menghadapi “bahaya dari utara”. Semakin gencarnya kampanye Bung Karno mengenai poros Jakarta-Peking, ungkapan berulang-ulang mengenai tawaran Perdana Menteri RRT Chou En Lai untuk memberi kan bantuan 100.000 pucuk senjata genggam kepada buruh dan tani Indonesia, dan makin intensifnya kampanye PKI mengenai angkatan kelima merupаkan hal penting yang melandasi kecurigaan para jen-deral AD bahwa PKI sedang mencoba mengintervensi wilayah pertahanan dan keamanan nasional.
Klimaks dari semuanya adalah Gerakan 30 Sep-tember. Faktor-faktor ketegangan di atas, perseteruan yang kian meruncing antara Angkatan Darat dan ko-munis, meledak menjadi suatu tragedi. Pada dinihari 1 Oktober 1965, gerombolan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September menculik dan membunuh para pimpinan teras Angkatan Darat. Peta politik nasional pun langsung berubah, muncul kekuatan politik yang baru yang berpusat di Kostrad, komunis dibantai, dan pudarlah hegemoni Soekarno.
Istilah yang mengacu pada aliansi antara negara-negara yang berhaluan kiri di Asia Timur, yang dimotori oleh Indonesia dan RRT. Soekarno ingin menempatkan diri sebagai pelopor aliansi tersebut. Dalam benak Soekarno, aliansi antara Indone-sia, Vietnam Utara, Korea Utara dan RRT merupakan kekuatan tandingan yang sepadan untuk menahan pengaruh Nekolim (Inggris dan Amerika Serikat) yang semakin menguat setelah berdirinya negara Malaysia. Bagi AS dan Inggris, posisi Indonesia sangatlah strategis. Selain sebagai lini terakhir sebelum Australia, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk kelima terbesar di dunia. Jatuhnya Indonesia ke rezim komunis akan sangat mempersulit upaya Gedung Putih memenangkan perangnya di Vietnam dan mempertahankan pengaruhnya di Asia Pasifik.
AD menolak keras angkatan kelima. Namun di depan Presiden/Pangti ABRI Soekarno, Men/Pangad A. Yani mencoba un-tuk tidak menentang secara frontal. Walaupun sama sekali me-nolak gagasan yang berbahaya ini, Yani pernah mengusulkan agar komando angkatan kelima dikendalikan oleh tentara pro-fesional yang sudah ada. Sementara itu, Men/Pangau Omar Dhani menyetujui gagasan tersebut.*
Supersemar merupakan kelanjutan dari krisis politik pasca Gerakan 30 September. Jadi, peristiwa 1 Oktober 1965 memiliki keberlanjutan hingga tahun 1967, ketika Presiden Soekarno disingkirkan dari pendemi babak. Transisi kekuasaan yang berlangsung tas politik nasional, kekuasaannya digerogoti babak selama dua tahun itu penuh dengan intrik. Tidak jelas siapa kawan dan siapa lawan. Hanya mereka yang cerdik, oportunis, dan beruntung sajalah yang bisa eksis.
Sejarah Indonesia di tahun 1965-1967 memang sangat rumit. Situasi sosial politik dalam kurun waktu tersebut amat kompleks dan membingungkan. Peris-tiwa-peristiwa terjadi silih berganti, dan masing-ma-sing bisa jadi sangat berpengaruh terhadap babak peristiwa berikutnya. Satu ideologi ditumpas, dan ideo-logi yang lain berjaya.
Kehidupan kurun waktu 1965-1967 sangatlah ber-bahaya dan penuh risiko. Nasib orang-orang ditentu-kan bukan saja oleh afiliasi politiknya, tetapi juga kemampuannya untuk menjadi bunglon.
Generasi yang lahir pasca 1965 mungkin tidak bisa membayangkan betapa rumit dan berbahayanya situasi pada saat itu.
Pertanyaan yang sering mengganggu benak kita adalah; apakah semua kekacauan politik itu merupa-kan produk dari grand design yang diciptakan oleh pihak tertentu? Adakah seorang sutradara yang telah mengatur adegan demi adegan, dan menentukan siapa yang akan menjadi korban hari ini dan siapa yang akan mendapat giliran esok hari? Dengan kata lain, adakah seorang dalang di balik berbagai tragedi dan pembunuhan, yang (harus diakui) berhasil meng-alihkan arah ayunan pendulum kiblat politik Indonesia dari haluan kiri ke kanan?
Sumber:
Buku Supersemar Palsu-Kesaksian Tiga Jenderal-Halaman 187.
Penulis: A. Pambudi.
Penerbit: MEDIA PRESSINDO, Yogyakarta.