Oleh: Hamsah*

Aku terlalu gugup untuk mengutarakan semuanya. Pernah kujadikan hadirmu sebagai pengisi keindahan. Hadirmu dengan senyum membuat hari menjadi tak membosankan. Tiada waktu yang terlewat tanpa bait-bait kerinduan. Meskipun kusadari bukan engkau pertama kali memporak porandakan perasaanku. Ini sudah pernah terjadi di masa lampau di saat pandangan hidup masih sebatas melihat waktu adalah untuk bermain. Namun, di setiap kehadiran pasti ada perbedaan rasa yang melampaui cinta yang pernah ada sebelumnya. Inilah keunikan dari cinta, meskipun ia abstrak, tapi ibarat pandangan Emile Durkheim, ia seperti fakta sosial yang turut menentukan pola pikir dan perilaku kita.

Cinta semakin mengikat di celah hujan yang jatuh dalam pelukan. Oleh karenanya, setiap hujan yang turun kubayangkan bukan persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan. Bisa saja akan terjadi banjir hanya saja itu persoalan klasik bagiku. Namun, yang kubayangkan dengan hujan adalah kita pernah saling menggenggam dalam waktu yang tidak terukur. Lama bagi mereka yang berteduh untuk bepergian, tetapi terasa lebih singkat bagi kami yang tanpa tujuan. Karena di setiap hujan kujadikan sebagai petanda dan pengingat rindu.

Aku menyadari bukan sekadar bahasa cinta yang kamu perlukan. Engkau telah paham bahwa tanpa ucapku kau telah mengerti isyarat yang ingin aku sampaikan. Engkau membutuhkan bahasa yang lebih tinggi dan punya esensi untuk melangkah ke depan. Engkau menginginkan bahasa tak bersimbol yang tak sekedar angin penghabis waktu. Tetapi adalah bahasa yang mampu menjadikan waktu sebagai permulaan untuk melangkah.

Kadang aku bingung dengan imajinasiku sendiri. Aku tak paham dengan jalan pikiranku. Apakah mungkin setiap pandangan bisa membuat jatuh cinta. Sehingga aku terlalu banyak jatuh cinta dan tak satu pun yang dapat aku rawat hingga saat ini. Semua yang pernah hadir memberikan keindahan, namun secara perlahan hilang tanpa saling berpamitan. Cinta yang pernah tumbuh mungkin telah mekar dengan bunga-bunga kebencian.

Dalam perjalanan panjang aku selalu merenung dan juga kadang bicara sendiri melalui tulisan dan doa. Wajah dan segala wejangan serta candaan yang pernah membuat kita merasa nyaman lama kelamaan menjadi tiada. Meskipun tiada maksud untuk membungkam dan mematikan perasaan itu. Akhirnya, rasa bersalah terus melintas dalam pikiran. Bersalah karena hanya mampu menumbuhkan cinta tapi tak bisa merawatnya. Aku paham layu dan matinya cinta pasti beriringan dengan rasa sakit. Karenanya aku banyak belajar dari perenungan ini. Aku tak ingin lagi membangunkan cinta di saat aku belum mampu untuk merawatnya.

Satu hal bisa kupastikan bahwa “Jika dalam keterpisahan kita masih merasakan rindu berarti dalam kebersamaan pernah ada cinta. Jika dalam kebersamaan tidak ada rindu maka dalam keterpisahan pasti muncul benci” (H).

*Akademisi Universitas Negeri Manado

(Visited 111 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Hamsah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.