Oleh: HTB

Sakura, hidup tak panjang, tapi bermakna, lalu mati. Penulis berandai-andai, seandainya masyarakat Indonesia memaknai Anggrek seperti halnya Sakura bagi orang Jepang, tentu hidup akan jauh lebih bermakna dan berguna.

Kedatangan penulis ke Negeri Sakura kali ini untuk yang kesekian kalinya. Saat ini bertepatan dengan datangnya musim semi. Kembang-kembang sakura bermekaran beraneka warna. Ada yang putih, pink, merah, dan yang paling banyak adalah warna putih abu-abu. Bunga-bunga ini tumbuh menyeruak hampir di seluruh tempat di Jepang, seperti di taman-taman, pinggir jalan, tepi sungai, depan hotel, dan hutan. Sakura bermekaran menyambut hari membuat kota tampak indah, asri, dan berwarna-warni.

Bukan hanya pendatang seperti penulis yang merasa bahagia menyaksikan sakura itu, melainkan orang-orang Jepang pun sangat antusias melihat dan mencium bunga-bunga Sakura ini. Penulis merasa sangat heran menyaksikan mereka ketika menikmati keindahan dan wangi bunga Sakura. Mereka seperti orang yang baru pertama kali melihat suatu yang indah dan luar biasa. Padahal kenyataannya, tiap musim semi sepanjang tahun hidup mereka selalu dimulai dengan mekarnya bunga-bunga sakura ini.

Sejujurnya penulis ingin katakan di sini, bahwa bunga-bunga Sakura ini tidak lebih indah dibandingkan bunga-bunga yang tumbuh di Indonesia. Bahkan menurut hemat penulis, kembang-kembang kertas yang banyak tumbuh di Indonesia jauh lebih indah dan variatif warnanya dari kembang-kembang sakura ini.

Siapa yang meragukan keindahan ratusan atau bahkan ribuan Anggrek atau bunga melati, raflesia, dll. Bahkan rumput-rumput di ladang-ladang atau di hutan Indonesia tumbuh indah melebihi keindahan pakaian para raja-raja dan permaisurinya. Lalu apa yang istimewa dari bunga Sakura-nya Jepang ini? Ternyata bagi orang Jepang, bunga Sakura bukanlah sekadar bunga yang mekar berwarna-warni. Bunga-bunga Sakura merupakan lambang kehidupan dan kematian, lambang kesementaraan dan kefanaan hidup ini. Bunga sakura indah bermekaran berbatas dua minggu saja, setelah itu dia akan layu berguguran, terbang tertiup angin, mati, lalu hilang. Hal ini melambangkan kehidupan manusia yang begitu singkat, pendek, ringkas. Lahir, hidup berproses, usia produktif, lalu mati.

Di dalam hidup sakura yang amat singkat itu, menyimpan falsafah hidup yang amat dalam. Sakura membawa nuansa keindahan, menebar wewangian dan semerbak hidup bagi yang menikmatinya. Bunga sakura memberikan pelajaran penting bagi manusia. Manusia perlu banyak belajar dari kembang tahunan ini. Hidupnya walaupun amat singkat, tetapi memberi sejuta kebahagiaan dan selaksa makna bagi banyak orang. Hidup yang begitu singkat tetapi berarti. Hal ini mengilhami dan mengkonstruksi orang Jepang untuk membuat yang terbaik di dalam hidup mereka.

Kedatangannya tiap tahun tahun disambut bagai pahlawan. Penerbangan ke Jepang jika musim sakura mekar, amat padat. Minggu lalu sewaktu penulis tiba di Haneda Airport, jumlah penumpang pesawat melebihi hari-hari biasanya. Tiba sekitar magrib, antri masuk imigrasi untuk check in membutuhkan waktu hingga 6 jam baru bisa melewati pintu imigrasi. Padahal kalau waktu biasa, hanya dibutuhkan waktu maksimal 30 menit. Kebetulan juga waktu saat ini bulan Ramadan, memasuki waktu imsak baru selesai check in di imigrasi. Penumpang yang membludak ini semua datang ingin menyaksikan keindahan bunga sakura dari dekat. Datangnya ditunggu-tunggu sekali oleh penikmat keindahan bunga.

Sakura memberikan banyak pelajaran penting bagi masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang memahami bahwa hidup sekali ini, tak ubahnya sebuah pidato, tak perlu panjangnya, lebih utama adalah kedalaman isinya. Sekali hidup tetapi berguna, sebelum mati kelak dan hilang ditelan waktu. Itulah sebabnya dahulu orang Jepang memilih mati dengan bunuh diri (harakiri atau seppuku) daripada hidup tidak berguna atau gagal. Mati seperti ini lebih dihormati daripada hidup dengan tidak bermanfaat.

Seiring perkembangan zaman, sudah jarang orang Jepang melakukan harakiri. Orang Jepang kalau malu atau dipermalukan, ia akan bunuh diri. Beda dengan masyarakat di Indonesia, terutama suku Bugis, jika malu apalagi dipermalukan, ia akan bunuh orang yang mempermalukannya. Namun atas kemajuan pendidikan dewasa ini, hal itu jarang terjadi. Bagi mereka yang gagal, membuat malu, atau korupsi, dll, akan memilih mengundurkan diri dan tidak menampakkan wajahnya ke ranah umum. Sifat ini membuat mereka bekerja keras sepanjang hidup, berkarya dan membuat hidup lebih baik. Tak heran jika mereka menghasilkan karya-karya berkualitas dan fenomenal seperti teknologi yang banyak kita nikmati. Selain itu mereka berusaha menjaga keindahan alam dan memelihara kehidupan.

Sakura, bunga khas yang menjadi ikon negeri matahari terbit. Kedatangan musim semi yang merupakan kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat Jepang setelah menjalani kehidupan yang berat dalam musim dingin. Untuk itu, masyarakat Jepang punya cara tersendiri untuk merayakan datangnya musim semi, yaitu Hanami. Mereka suka menebar tikar dan berkumpul dengan keluarga tercinta makan-minum di bawah pohon sakura. Mereka menikmati aroma sakura sambil merenung bahwa hidup ini tak ubahnya dengan kehidupan sakura. Lahir, memberikan kedamaian, tiba-tiba bisa hilang sekejap diterbangkan angin. Hidup harus punya target. Pantang hidup jika hanya numpang lewat belaka. Prinsipnya, manusia harus punya makna dalam kehidupannya. Mengisi hari-hari dengan setumpuk karya kreatif dan inovatif. Begitu mereka mencintai tiap waktu, tiada kala berlalu dengan sia-sia. Hal ini kelihatan di kereta, tidak ada yang bersuara. Pelajar banyak bekerja dengan laptopnya sepanjang perjalanan. Akankah kita menyaksikan hal demikian di negeri sendiri????
———————————————
*2 April 2023
(Dalam penerbangan bersama VIETNAM AIRLINES, seat 40 D, dari Fukuoka ke Kuala Lumpur (transit di Vietnam), …….

(Visited 101 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.