Bumi takkan sempurna tanpa hadirnya matahari menyinarinya di setap ruang dan waktu, meski di saat tertentu ada rentang waktu bersembunyi di balik putaran waktu juga ada tempat yang tak dapat dijangkau oleh sinarnya, termasuk pada kegelapan malam. Namun esok hari, ia datang kembali menyinari seisi jagad memberi cahaya, penunjuk arah ke mana jalan yang harus ditempuh. Matahari tak pernah lelah bersinar, selalu datang tepat waktu memberi cahaya tanpa harus dibalas. Kehadirannya selalu dinanti oleh semua mahluk, termasuk tumbuhan berfotosintesis karena cahayanya, binatang berkembang biak karena terbantu cahayanya. Begitupun pada manusia, ia mampu melakukan aktifitas karena adanya cahaya matahari yang menjadi penunjuk arah di seiap jengkal jalan kehidupannya.
Bagiku, sosok ibu bagai matahari yang memberi penuntun bagi setiap jengkal langkah menapaki kehidupanku, ke mana arah kaki melangkah, kemana tangan berayun, kemana mata mengarah. Ibu, seperti matahari mengajariku tak ada keluh kesah, tak ada harap balasan, tak akan mendendam, tak akan membenci, semua dijalani seperti planet beredar di atas garis orbitnya, atas perintah tuhannya. Seperti itulah ibuku di sepanjang hidupku, di sepanjang ingatanku selalu menjadi segalanya bagiku. Kadang menjadi penghangat dalam dinginnya tubuhku, kadang menjadi penyejuk kala gerah menimpa tubuhku, kadang pula menjadi penghibur kala ku sedih, pelipur laraku, penawar dahagaku, menjadi awan pelindungku kala panas menyengat tubuhku, penyelamatku kala badai menghempasku. Perekah senyumku kala ku bersedih dan semua terbaik dalam hidupku. Doanyalah yang selalu menembus Arasy untukku, membuatku bertahan menapaki bumi penu liku dan onak, mampu mengarungi Samudra luas dan bertahan dari hempasan badai dan gelombang di atas nahkoda bahtera rumah tanggaku karena ibulah yang menjadi teladanku.
Masih hangat dalam ingatanku kala kami masih kecil, tujuh orang bersaudara dengan jemari lentiknya menari-nari di setiap sudut rumah dan tutur katanya yang lembut di setiap nasehat dan tuntunannya, dengan wajah teduhnya mengatur tidur dan makan kami, mengatur jadwal belajar kami hingga kami beranjak dewasas Tekadnya, kami semua anak-anaknya harus mengenyam pendidikan walau harus pergi jauh meninggalkan desa tempat kami bertumbuh dan berkembang dalam asuhannya. Kami diharuskan hijrah ke kota walau harus numpang di rumah saudaranya agar kami berilmu, karena beliau sangat yakin bahwa dengan ilmu, derajat kehidupan kami akan terangkat sebagaimana janji Allah, bahwa “…..Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang yang berilmu bebearapa derajat. Allah maha teliti terhaadap apa yang kamu kerjkan” (QS: Al Mujadalah :11) Alhamdulillah, kami semua enam orang dari enam bersaudara memiliki gelar akademik kecuali satu orang karena sakit yang tidak memungkinnya untuk mengenyam Pendidikan seperti kami.
Ketika beberapa diantara kami telah berumah tangga, masing-masing telah memiliki anak, perhatian ibu sedikitpun tak berubah. Ketika diantara kami beraktifitas yang mengharuskan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, beliau pula yang selalu siap menjaga anak-anak kami yang jika dalam pengasuhannya jauh lebih baik tampilan fisiknya dibanding jika dalam pengasuhan kami terutama diriku. Masih hangat dalam ingatanku, ketika bulan puasa tiba, kami berkumpul menginap di rumahnya, beliaulah yang bangun lebih awal menyiapkan makan persiapan sahur lalu menjejali setiap kamar lalu mengetuk pintu kamar satu persatu hingga semua terbangun duduk di meja makan agar kami anak-anaknya terutama cucu-cucunya kuat dan tegar melaksanakan ibadah puasa di esok harinya. Karena beliau sungguh yakin bahwa jikalau manusia berpuasa dengan sempurna sesuai sunnahnya, maka kami akan menjadi manusia kuat dan tegar menghadapi tantangan hidup yang penuh dengan cobaan.
Masih hangat di ingatanku ketika minggu-minggu terakhir menapaki perjalanan kehidupannya di punggung bumi ini, saat ibu sakit yang ternyata itulah sakit terakhirnya yang selama hidupnya seingat kami, beliau tidak pernah sakit hingga berbaring lesu, selain flu dan batuk biasa. Namun kala itu, beliau terlihat tidak bergairah sehingga kuajak ke klinik milik salah satu keluarga, untuk berobat. Ketika turun dari mobil yang kami kendarai yang biasanya terlihat lincah namun saat itu beliau berjalan pelan sekali. Begitupun kala pulang di rumah, langsung kutuntun tangannya meski beliau masih sempat menolak memegang tanganku. Berselang beberapa hari kemudian kondisi fisiknya makin lemah tak berdaya, lalu kami anak-anak dan menantunya sepakat membawanya ke rumah sakit setempat untuk mendiagnosa penyakitnya. Dari hasil diagnosa dokter mengatakan bahwa ciri-ciri penyakitnya sama seperti penyakit Covid 19. Namun kami bersikeras untuk membawanya pulang merawatnya di rumah apapun keadaan yang terjadi karena jika dirawat di rumah sakit, kami tak diperbolehkan merawat pasien penderita covid 19. Betapa kami tak ingin itu terjadi, kwatir jangan sampai sakit ini adalah sakit terakhirnya dan kami tidak boleh merawatnya . Dengan harus melewati perbincangan panjang dengan pihak rumah sakit setempat yang tidak mengizinkan membawanya pulang di rumah. Dengan izin Allah, Alhamdiulillah kami berhasil membawa pulang ke rumah dan merawatnya, hingga tibalah saat yang sangat mendebarkan di hari terakhir itu, setelah salat subuh, kondisinya makin melemah walau beliau masih berupaya agar terlihar tegar.
Di hatiku selalu muncul kekwatiran bahkan selama tiga hari saya tidak lagi pernah meninggalkannya di kamar kecuali berurusan dengan makan dan minumnya. Hingga waktu salat duhur tiba, kubersihkan badannya seperti biasanay kala tiba waktu salat, terutama kemungkinan najis-najis yang melekat di tubuhnya agar salatnya tidak batal. Kutuntun dan kuanjurkan salat jama’ takdim duhur asar untuk menjaga kemungkinan kalau toh di sore waktu salat asar tidak bisa ia tunaikan tapi waktu salat tiba. Ternyata, pas waktu salat asar tepatnya sekitar 15.15 beliau menghembuskan nafas terakhir di pangkuanku dkelilingi anak-anaknya, ponakan dan keluarga lainnya. Sunggh kepergiannya begitu tenang di samping kami anak-anaknya dan keluarga lainnya di atas pangkuanku yang selalu menyempatkan membisikkan kata-kata tauhid, syahadat sebagai bekal perjalanan panjangnya menunggu kami di alam barzah hingga perjalanan ke alam akhirat kelak semoga kami dipertemukan di Jannah yang sama. Selamat jalan ibu, amal ibadahmu telah terputus sudah kecuali tiga hal, yakni amal jariahmu, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak-anakmu yang saleh yang akan mengalir sepanjang waktu yang membuat kuburanmu menjadi taman-taman syurga. Seketika bumiku seakan runtuh tak bermatahari lagi karena kepergianmu untuk selama-lamanya meninggalkan kami yang belum sepenuhnya dewasa, kami masih membutuhkanmu terutama doa-doamu di sepertiga malam , di pagi hari sepenggalan matahari bersinar dan di setiap hari puasa sunnahmu bahkan di setiap waktu.