Oleh: Muhammad Sholeh Arshatta
Ibu masih termangu di tungku perapian duka. Sementara hujan masih tangkas, gelas-gelas tak kunjung terisi air panas. Gigil terus mengganas menggilas bibir bekas kecup terakhir ayah yang kini bernasib naas, ditikam deras harga beras, langka langkah bernas hingga tiada pulang, tak berani tunjukkan bangkai bangka, hinggap ke mana entah.
Kini tangki dipenuhi air mata ibu. Semenjak ternak dan tanak nasi tak dapat beranak pinak lega, manisan berubah batu nisan, lisan mengeluarkan lukisan iba berlabel pedas dada.
Awi kasi’na. Ibu kembali merebus keringat, menebus janji-janji buah hati. Mencoba membius diri menjelma ayah paling berani lawan tirani mengupas tuntas dalang dari semua malang. Walau perih mematuk-matuk lubang hati silih berganti tak kunjung pergi.
Ibu kini mengubah diri. Padang ladang tempat pulang meski terpincang-pincang. Terkadang begadang, meraung & meradang menunggu senang datang entah kapan bertandang?
Pekanbaru, 2024
Kasi’na: Kasihan (bahasa Bugis)
Awi: Tambahan pengungkapan seperti oh.
Puitis…bermakna 1001 macam arti…aku kagum terpesona membacanya…mengalir di nadiku…